* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.
Description
CARCINOMA CERVIX UTERI 3.1 3.1.1 3.1.1.1
PENENTUAN STADIUM ANATOMI LOKASI PRIMER Cervix terletak pada 1/3 bawah uterus. Cervix berhubungan dengan vagina melalui ostium cervicalis externa. Carcinoma cervix bisa dimulai dari permukaan cervix yang berhubungan langsung dengan dinding vagina atau dalam canalis cervicalis.
3.1.1.2
DRAINASE SALURAN LIMFE Drainase limfe dari cervix adalah melalui rute preureteral, post-ureteral, dan sacrouterina menuju “FIRST STATION NODES” yaitu kelenjar limfe parametrial, internal (obturator-hipogastrika), iliaka externa, presacral dan iliaka komunis. Sedangkan “SECOND STATION NODES” adalah kelenjar limfe para-aorta dan sering mengalami metastasis.
3.1.1.3
LOKASI METASTASE Carcinoma cervix paling sering mengalami metastase jauh pada kelenjar limfe aorta, kelenjar limfe mediastinum, paru dan tulang.
3.1.2 3.1.2.1
KLASIFIKASI CLINICAL DIAGNOSTIC STAGING Penentuan stadium dari carcinoma cervix adalah berdasarkan evaluasi klinis. Oleh sebab itu dalam menentuka stadium klinis harus teliti dan sebaiknya disertai dengan pengaruh obat anestesi. Stadium klinis tidak berubah dengan temuan-temuan berikutnya. Apabila dalam menentuka stadium klinis didapatkan keraguan maka yang dipakai adalah stadium yang lebih rendah.
Pemeriksaan yang dilakukan dalam menentukan stadium carcinoma cervix antara lain: Palpasi Inspeksi Kolposkopi Endocervical curettage Hysteroscopy Cystoscopy Proctoscopy Intravenopus urography Rontgen thorax dan skeletal. Bila kita mencurigai adanya infiltrasi kanker pada vesica urinaria dan rectum maka hal tersebut harus dikonfirmasi dengan melakukan biopsy dan pemeriksaan histopatologi. Konisasi/ amputasi cervix adalah salah satu bagian dari tindakan pemeriksaan klinis untuk carcinoma cervix. Disamping pemeriksaan diatas, masih terdapat modalitas pemeriksaan lain yang dapat dilakukan (optional) yaitu antara lain: Lymphangiography Arteriography Venography Laparoscopy USG CT scan MRI Pemeriksaan yang canggih tersebut diatas tidak semua rumah sakit menyediakan dan memiliki interpretasi yang bermacam-macam serta tidak boleh dijadikan dasar untuk merubah stadium klinis. FNA pada kelenjar limfe yang terdeteksi pada pemeriksaan CT scan dapat membantu dalam perencanaan terapi.
3.1.2.2
PERAWATAN PASCA OPERASI-PATHOLOGIC STAGING Pada kasus carcinoma cervix yang dilakukan operasi, temuan-temuan secara histopathology pada jaringanjaringan yang diangkat selama operasi dapat dijadikan dasar untuk menilai sampai mana penyebaran kanker. Temuan patologis tersebut tidak dapat merubah clinical staging, tetapi dapat dicantumkan sebagai pathologic staging. Seperti kanker ginekologi yang lain, clinical staging ditegakkan pada saat penegakkan diagnosis pertama kali, dan tidak dapat dirubah sekalipun rekurens.
3.1.3 3.1.3.1
STAGING CLASSIFICATION NOTES OF THE STAGING Stage 0 adalah adanya keterlibatan fullthickness jaringan epitel cervix dengan sel-sel yang atypical tetapi tidak ada tanda-tanda invasi pada stroma. Stage IA1 dan IA2 harus berdasarkan pemeriksaan mikroskopis dari jaringan cervix yang diambil (lebih baik dengan cone biopsy) dan harus meliputi seluruh lesi. Kedalaman invasi tidak boleh >5mm (dimulai dari epitel basalis). Sedangkan lebarnya tidak boleh >7mm. LVSI tidak boleh merubah stadium tetapi dapat mempengaruhi terapi yang akan diberikan. Lesi yang lebih besar lagi termasuk dalam stadium IB. Secara klinis sulit dievaluasi adanya penyebaran kanker ke corpus sehingga penyebaran ke corpus dapat diabaikan. Adanya penyebaran ke daerah ke daerah dinding pelvis oleh jaringan parametrium yang mengalami indurasi dapat dimasukkan pada stadium IIB. Tidak dapat dibedakan apakah jaringan parametrium yang mengalami indurasi tersebut adalah benar terinfiltrasi sel kanker atau hanya inflamasi belaka. Oleh sebab itu sebaiknya disebut stadium III apabila jaringan parametrium nodular berkembang sampai ke dinding pelvis. Adanya hidronefrosis atau gangguan ginjal akibat stenosis ureter yang disebabkan kanker dapat dinilai stadium sebagai stadium III walaupun secara
pemeriksaan klinis menunjukkan stadium I atau II. Bila pada hasil sitologi urine mengandung sel ganas maka termasuk stadium IVA. FIGO STAGE
0 I IA IA1 IA2 IB
IB1 IB2 II
IIA IIB III III A III B IVA
Tumor primer tidak bisa didiagnosis. Tidak ada bukti adanya tumor primer. Carcinoma insitu (preinvasive carcinoma) Carcinoma cervix terbatas pada uterus (penyebaran ke corpus uteri diabaikan) Invasive carcinoma hanya dapat didiagnosis secara mikroskopis. Invasi stroma kedalamannya <3mm. Horizontal spread <7mm. Invasi stroma kedalamannya 3-5mm. Horizontal spreadnya <7mm. Secara klinis lesi dapat dilihat (makroskopis) dan terbatas pada cervix. Secara mikroskopis >IA2 Secara klinis lesi dapat dilihat dengan ukuran terbesarnya <4cm. Secara klinis lesi dapat dilihat dengan ukuran terbesarnya >4cm. Tumor menyebar keluar dari uterus tetapi belum mencapai dinding pelvis. Tumor belum menyebar ke 1/3 bawah dinding vagina. Invasi parametrium (-) Invasi parametrium (+) Tumor menyebar ke dinding pelvis dan atau 1/3 vagina bawah dan atau ada hidronefrosis/ gangguan fungsi ginjal. Tumor menyebar ke 1/3 vagina bawah. Tidak ada penyebaran ke dinding pelvis. Penyebaran tumor ke dinding pelvis (+). Terdapat hidronefrosis / gangguan fungsi ginjal. Tumor invasi ke mukosa vesica urinaria/
rectum/ mencapai dinding pelvis. IVB metastase jauh. 3.1.3.2
REGIONAL LYMPH NODES (N) NX-regional lymph nodes tidak bias dinilai. N0-tidak terdapat metastase ke lymph nodes regional. N1-terdapat metastase ke lymph nodes regional.
3.1.3.3
DISTANT METASTASIS (M) MX-metastase jauh tidak bisa dinilai. M0-tidak terdapat metastase jauh. M1-terdapat distant metastase.
3.1.4
HISTOPATHOLOGI Pada pasien dengan terapi operasi maka dapat dilakukan pathologic staging. Pada situasi ini, TNM nomenclature dapat digunakan. Semua tumor harus diperiksa secara mikroskopis.
3.1.4.1
HISTOPATHOLOGIC TYPES Cervical intraepithelial neoplasia, grade III. Squamous cell carcinoma in situ. Squamous cell carcinoma. Keratinizing. Non keratinizing. Verrucous. Adenocarcinoma in situ. Adenocarcinoma in situ, endocervical type. Endometrioid carcinoma. Clear cell adenocarcinoma. Adenosquamous carcinoma. Adenoid cystic carcinoma. Small cell carcinoma. Undifferentiated carcinoma.
3.1.4.2
HISTOPATHOLOGIC GRADES (G) Gx-grade tidak bias dinilai. G1-well differentiated. G2-moderately differentiated. G3-poorly/ undifferentiated.
3.2
PENDAHULUAN Insidens carcinoma cervix menempati posisi ke-2 setelah carcinoma mammae pada kasus keganasan pada wanita. Lebih dari 80% ditemukan pada wanita dengan status ekonomi yang rendah. Squamous carcinoma dan adenocarcinoma adalah histopathologic types yang paling sering.
3.3
CERVICAL SCREENING Skrining dengan menggunakan metode sitologi cervix terbukti bermanfaat menurunkan insidens dan mortalitas akibat carcinoma cervix. SCREENING GUIDELINES 1. Kelompok usia yang harus diskrining. Pada usia <25 tahun jarang ditemukan kasus kematian akibat carcinoma cervix. Bila pada usia >65 tahun dan dalam 10 tahun terakhir memiliki hasil sitologi cervix yang negative maka skrining boleh dihentikan. 2. Frekuensi skrining insidens terjadinya “carcinoma interval” lebih tinggi pada wanita yang tidak melakukan skrining lanjutan lebih dari 3 tahun dari skrining sebelumnya. 3. Tatalaksana hasil sitologi cervix. Bila hasilnya normal maka control rutin lanjutan. Bila didapatkan mild diskaryosis atau borderline nuclear changes maka smear diulangi 6 bulan lagi. Bila didapatkan 3x mild diskaryosis/ borderline nuclear changes maka sebaiknya
dilakukan pemeriksaan kolposkopi. Bila ditemukan moderate/ severe dyskaryosis/ curiga invasive disease/ curiga glandular neoplasia maka sebaiknya dilakukan pemeriksaan kolposkopi. 3.4
PENATALAKSANAAN CARCINOMA CERVIX A. MICROINVASI Diagnosis carcinoma cervix stadium IA1 atau IA2 hanya dapat ditegakkan dengan memeriksa specimen hasil: cone biopsy dengan negative margins atau trachelectomi atau histerektomi. Bila hasil dari cone biopsy ternyata positive margins untuk CIN III atau invasive carcinoma maka dilanjutkan dengan cone biopsy ulang dan pasien dinyatakan sebagai stadium IB1. Kolposkopi sebaiknya dikerjakan untuk menyingkirkan adanya vagina intraepithelial neoplasia (VAIN) sebelum terapi definitive dilakukan. 1. STADIUM IA1 Dekomendasikan TAH atau TVH. Bila ternyata ditemukan VAIN maka vaginal cuff yang terlibat juga dipotong. Bila pasien masih menginginkan fungsi fertilitasnya maka dapat dilakukan cone biopsy dengan follow up ketat dengan pap smear setiap 4 bulan, 10 bulan dan setiap 1 tahun bila 2 kali pemeriksaan sebelumnya dinyatakan normal. LEVEL OF EVIDENCE B. 2. STADIUM IA2 o Sangat potensial terjadinya metastase kenlenjar LNN pelvis pada stadium IA2 sehingga pelvic lymphadenectomy harus dilakukan dalam protocol operasi. o Operasi yang dianjurkan adalah modified radical histerektomi (type 2) dan pelvic lymphadenectomy. Bila ternyata tidak
terdapat LVSI maka dapat dilakukan extrafacial hysterectomy dan pelvic lymphadenectomy. LEVEL EVIDENCE OF C. Bila pasien masih menginginkan fungsi fertilitasnya maka terdapat beberapa pilihan, antara lain: Large cone biopsy + extraperitoneal/ laparoscopy pelvic lymphadenectomy. Radical trachelectomy + extraperitoneal/ laparoscopic pelvic lymphadenectomy. 3. FOLLOW UP Dilakukan pemeriksaan papsmear pada bulan ke-4 dan ke-10. Bila terdapat 2 pemeriksaan papsmear yang normal maka dilakukan setiap 1 tahun sekali. B. INVASIVE CARCINOMA Pasien dengan lesi yang tampak jelas maka sebaiknya dilakukan biopsy untuk menegakkan diagnosis. Evaluasi awal yang dilakukan antara lain: pemeriksaan fisik kolposkopi vagina (untuk mendeteksi VAIN). Pemeriksaan vesica urinaria dan rectum dengan menggunakan cystoscopy dan sigmoidoscopy bila terdapat gejala klinis. Foto thorax Renal evaluation: USG renal IVP CT sacn/ MRI renal CT scan/ MRI untuk evaluasi kelenjar limfe.
1. STADIUM IB1/ IIA DENGAN UKURAN TUMOR <4cm Prognosis baik dan dapat dikontrol dengan operasi maupun radioterapi. Pilihan terapi tergantung pada: Sarana/prasarana yang dimiliki rumah sakit. Ada tidaknya SpOG(K)ONK. Usia dan kondisi kesehatan pasien. Terapi kombinasi antara operasi dan radiasi meningkatkan morbiditas sehingga sebaiknya tidak dilakukan. Standart operasi pada stadium IB1/IIA dengan ukuran tumor <4cm adalah modified radical hysterectomy atau radical abdominal hysterectomy (class II dan III dari klasifikasi Piver Rutledge) disertai pelvic lymphadenectomy. Pada pasien yang masih muda, ovarium dapat ditinggalkan dan digantung diluar regio pelvis bila ternyata dibutuhkan terapi radiasi pasca operasi. Vaginal radical histerectomi dan laparoscopic pelvic lymphadenectomy boleh juga dilakukan pada pasien ini. Standart terapi radiasi pada stadium IB1/IIA dengan ukuran tumor <4cm adalah external pelvic irradiation + brachytherapy. Resiko rekurensi pasca operasi radikal histerektomi adalah tergantung dari: ada tidaknya infiltrasi pada kelenjar limfe infiltrasi pada parametrium positive surgical margins. Ukuran tumor yang besar Invasi pada 1/3 luar stroma cervix. Adjuvant concurrent chemoradiation (menggunakan 5-FU + cisplatin atau hanya cisplatin saja) terbukti meningkatkan survival
daripada terapi radiasi belaka. Terapi adjuvant whole pelvic irradiation mengurangi “local failure rate” dan memperpanjang “progression free survival” daripada terapi operasi saja. 2. STADIUM IB2/ IIA DENGAN UKURAN TUMOR >4cm Pilihan terapi pada stadium IB2/ IIA dengan ukuran tumor>4cm adalah: Chemoradiation Radical hysterectomy + pelvic lymphadenectomy, biasanya dilanjutkan dengan terapi adjuvant radiasi. Neoadjuvant chemotherapy (pemberian secara ketat/ rapat sebanyak 3 seri pemberian kemoterapi yang mengandung platinum) dilanjutkan dengan radical hysterectomy + pelvic lymphadenectomy (kadang-kadang dilanjutkan lagi dengan post-operative radiation/ chemoradiation). Terapi yang paling sering diberikan adalah external radiasi + intracavitary brachytherapy + weekly concurrent platinum chemotherapy. Radical hysterectomy pada pasien stadium IB2/ IIA dengan ukuran tumor >4cm memiliki keuntungan antara lain: Dapat melakukan surgical staging dengan baik. Mengangkat tumor tidak memerlukan brakhytherapi pasca operasi. Melakukan reseksi kelenjar limfe sulit “disterilisasi” dengan pemberian radiasi saja. Pada pasien IB2/ IIA dengan ukuran tumor >4cm atau lebih dikenal dengan bulky tumor lebih baik dilakukan adjuvant radiation terlebih dahulu sebelum operasi.
Bila pada operasi tidak ditemukan infiltrasi pada kelenjar limfe pelvis, maka dapat dilakukan “whole pelvic radiation” atau “small field radiation”. Bila pada operasi ditemukan metastase pada kelenjar limfe parailiaka komunis atau paraaorta maka dapat diberikan terapi “extended field radiation” ± kemoradiasi. Pemberian kemoterapi yang mengandung platinum sebelum dilakukan operasi terbukti jauh lebih baik daripada pemberian radiasi pre-operasi. Pemberian kemoterapi pada penelitian RCT di Buenos Aires menggunakan regimen sebagai berikut: Hari ke 1: o Cisplatin 50mg/m2 IV dalam 15 menit. o Vincristin 1mg/ m2 IV bolus. Hari ke 1-3 bleomycin 25mg/ m2 infus dalam 6 jam. Regimen ini diberikan sebanyak 3 seri dan tiap seri diberi interval diulang 10 hari. 3. ADVANCED CERVICAL CARCINOMA. Termasuk didalamnya antara lain stadium IIB, III dan IVA. Standart terapi pada stadium IIB-III-IVA adalah kombinasi radiasi yaitu external radiasi dan brachytherapy. Pelvic exenteration dapat dilakukan pada pasien stadium IVA (yang tidak menyebar ke dinding pelvis) yang disertai vesicovaginal fistula atau rectovaginal fistula.
4. STADIUM IVB ATAU REKURENS Rekurensi dapat terjadi pada cavum pelvis atau organ diluar cavum pelvis atau keduaduanya. Gejala rekurensi/ metastase antara lain: Nyeri Pembengkakan tungkai. Anorexia. Vaginal bleeding. Kaheksia Perawatan multidisiplin: SpOG(K)-ONK SpR (K)-ONK Dokter ahli palliative Psikolog SpPD Perawat onkologi Terapi pada pasien dengan rekurens setelah terapi primer tergantung dari “physical performance”, lokasi metastase/ rekurensi, jumlah metastase dan terapi sebelumnya. Terapi radiasi dapat diberikan pada pasien yang mengalami local rekurens yang telah mendapatkan terapi radical histerektomi sebelumnya. Pemberian kemoterapi 5FU dan atau cisplatin bersama dengan radiasi dpat memeperbaiki outcome pada pasien yang rekurens. Pada pasien rekurens dimana tidak disertai penyebaran ke dinding pelvis dan terdapat fistula maka dapat dilakukan pelvic exenteration sebagai alternative daripada radical radiotherapy dan concurrent kemoterapy. Pilihan terapi pada pasien dengan relaps local setelah operasi antara lain sebagai berikut: Relaps di cavum pelvis setelah operasi dapat diterapi dengan pemberian radical radiation atau pelvic exenteration.
Bila terdapat rekurens atau metastase di cavum pelvis setelah terapi primer dan ternyata tidak dapat disembuhkan maka dapat diberikan kemoterapi paliatif dan simptomatis. Apabila terdapat rekurens pada pasien yang telah mendapatkan terapi primer radiation maka terapi yang memiliki potensi kuratif yang dapat diberikan adalah pelvic exenteration. Pasien-pasien yang bisa mendapatkan terapi pelvic exenteration antara lain: “Resectable central recurrences” yang meliputi vesica urinaria dan atau rectum dengan tidak didapatkan adanya penyebaran ke intraperitoneal space atau extra pelvic. Adanya “dissectable tumor free space” sepanjang dinding lateral pelvis. Bila terdapat tanda-tanda TRIAS yaitu: unilateral leg edema, nyeri panggul (regio ischiadica) dan obstruksi ureter maka ini suatu tanda adanya “unresectable disease” pada dinding lateral pelvis dan pada hal yang demikian ini sebaiknya diberikan terapi palliative. 5. DISTANT METASTASES Terapi radiasi local diberikan pada daerah yang yang mengalami gejala pada pasien dengan tumor metastase yang bertujuan untuk mengurangi/ menghilangkan gejala. Pembesaran kelenjar limfe para-aorta/ supraclavicular. Pasien dengan gejala tumor metastase otak.