JURNAL APP

  • Uploaded by: Siska Teurupun
  • Size: 357.1 KB
  • Type: PDF
  • Words: 2,655
  • Pages: 14
Report this file Bookmark

* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.

The preview is currently being created... Please pause for a moment!

Description

FAKTA VERSUS PRAKTIK TENTANG TATALAKSANA NON OPERATIF PADA APENDICITIS AKUT DI EASTERN HEALTH, VICTORIA, AUSTRALIA

Abstrak Pendahuluan: Telah terjadi banyak perkembangan literatur tentang tatalaksana konservatif pada appendicitis akut. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengevaluasi tatalaksana non operatif pada appendicitis akut yang dipraktikan saat ini di Eastern Health, suatu jaringan kesehatan metropolitan di Malbourne.

Metode: Dilakukan sebuah penelitian observasional retrospektif pada semua pasien yang ditangani secara konservatif untuk appendicitis akut di Eastern Health dari Juli 2011 sampai Desember 2016.

Hasil: Terdapat 54 pasien appendicitis akut yang ditangani secara konservatif dan 1516 pasien yang ditangani dengan operasi. Pada kelompok pasien yang ditangani secara konservatif, ditemukan simple appendicitis sebanyak 19 pasien dan appendicitis komplikata ditemukan pada 35 pasien. Periode follow up antara 6 sampai 24 bulan. Angka rekurensi yaitu 20.4% (11 pasien). Jumlah interval appendicectomy yaitu 25.9% (14 pasien). Jumlah interval kolonoskopy yaitu 37% (20 pasien).

Kesimpulan: Appendicectomy masih menjadi terapi utama untuk appendicitia akut pada jaringan kesehatan tersebut. Meskipun demikian, tatalaksana konservatif merupakan alternatif yang aman dan valid. Angka rekurensi appenditis yang ditangani secara konservatif sebanding dengan yang dijumpai dalam literatur. Walaupun banyak bukti yang menentang adanya interval appendicectomy, namun tindakan ini masih ditawarkan pada pasien. Interval appendicectomy dan interval kolonoskopy sebaiknya tidak dipraktikan secara rutin dan sebaiknya harus ditawarkan pada pasien dengan lebih selektif. 1

Kata kunci: Appendicectomy, appendicitis, tatalaksana konservatif, kolonoskopy

PENDAHULUAN Appendicitis akut merupakan penyebab tersering nyeri akut abdomen yang berujung pada perawatan di rumah sakit bahkan operasi. Sekitar 20% kasus berkomplikasi dengan perforasi, peritonitis atau campuran sedangkan mayoritas lainya tanpa komplikasi. Appendicectomy pada appendicitis akut pertama kali dilakukan oleh McBurney pada tahun 1889. Pada pasien-pasien appendicitis dengan komplikasi, tatalaksana yang dipilih kebanyakan konservatif, mengingat adanya bukti kuat yang menunjukan bahwa tatalaksana operatif pada kunjungan awal berdampak pada angka morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi. Appendicectomy telah menjadi pilihan terapi untuk appendicitis tanpa komplikasi sejak abad ke-19. Tindakan ini ditoleransi dengan baik oleh mayoritas pasien dengan angka kesembuhan yang tinggi, namun komplikasi seperti cedera organ intra abdominal yang serius masih terjadi. Dengan munculnya dan semakin meningkatnya penggunaan laparascopy berhubungan dengan meningkatnya jumlah intervensi pembedahan dengan angka appendicectomy negatif dan komplikasi yang timbul untuk pembedahan yang sebenarnya tidak diperlukan. Dalam 2 dekade terakhir, semakin banyak literatur yang mengevaluasi tentang validitas terapi pemberian antibiotik saja untuk tatalaksana appendicitis tanpa komplikasi dan hasilnya cukup menjanjikan. Dengan cenderung berubahnya tatalaksana appendicitis akut, penelitian ini bertujuan untuk meninjau performa dalam menatalaksana appendicitis akut di jaringan kesehatan ini dalam 5 tahun terakhir, dengan berfokus pada kelompok pasien yang ditatalaksana secara konservatif, yaitu pengambilan keputusan dan hasil follow up.

METODE Dilakukan sebuah penelitian observasional retrospektif di rumah sakit Eastern Health yang merupakan sebuah pusat rujukan tersier di Melbourne, Australia. 2

Penelitian ini disetujui oleh Office of Research and Ethics di Eastern Health, yang diakreditasi oleh National Health and Medical Research Council (NHMRC) di Australia. Semua pasien yang datang ke jaringan rumah sakit Eastern Health dengan diagnosa Appendicitis atau kondisi lain yang berhubungan antara Juli 2011 sampai Desember 2016 datanya akan diisolasi oleh Health Information and Records Department menggunakan International Classifiction of Disease, revisi ke-10, Clinical Modifictaion (ICD-10-CM). Kode diagnostik tersebut meliputi K35.2, appendicitis akut dengan peritonitis generalisata; K35.3, appendicitis akut dengan peritonitis lokal; K35.8, appendicitis akut, lainya dan tidak dispesifikan; K35.6, appendicitis lainya; dan K37, appendicitis yang tidak dispesifikan. Untuk kelompok pasien yang diteliti yaitu pasien-pasien yang ditangani secara konservatif (tidak dilakukan operasi appendicectomy) pada kunjungan yang sama akan dievaluasi lebih lanjut. Pasien-pasien yang dimasukan dalam penelitian ini yaitu bila memiliki diagnosis appendicitis yang jelas secara radiologis dan diterapi secara konservatif. Pasien-pasien yang ditransfer dari rumah sakit lain, dan mereka yang datang ke rumah sakit dengan observasi nyeri abdomen tanpa konfirmasi diagnosis appendicitis dengan pencitraan akan diekslusi dari penelitian. Informasi diperoleh dari Electronic Medical Records.

3

Gambar 1. Bagan kriteria inklusi dan ekslusi

Modalitas diagnosis dengan pencitraan diklasifikasi menjadi Computed Tomography (CT) scan, Ultrasonography (US) scan dan lainya. Diagnosa kemudian diklasifikasi menjadi simple appendicitis dan appendicitis komplikata (appendicitis perforasi, tumpukan appendiceal atau abses dan appendiceal phlegmon). Tatalaksana rawat inap menentukan penggunaan antibitok dan apakah pasien membutuhkan intervensi dengan pedoman radiologis atau tidak. Pasien akan di follow up selama lebih dari 24 bulan setelah keluar (periode follow up berkisar antara 6 sampai 24 bulan dengan rata-rata periode follow up yaitu 24 bulan). Dikumpulkan informasi tentang kolonoskopy saat rawat jalan, interval appendicectomy dan episode appendicitis rekuren.

4

Tabel 1. Alasan dilakukanya tatalaksana konservatif pada simple appendicitis Alasan

Jumlah

Ketidakcocokan (komorbiditas medis)

4

Temuan pencitraan adanya patologis lain (selain

3

adanya appendicitis) Menolak pembedahan

1

Perbaikan klinis yang dialami secara cepat dengan

11

antibiotik Total

19

Tabel 2. Follow up setelah kunjungan pertama Ya

Tidak

20 (37%)

34 (63%)

Interval appendicectomy

14 (25.9%)

40 (74.1%)

Episode rekuren

11 (20.4%)

43 (79.6%)

Kolonoskopy

HASIL Terdapat 1986 pasien yang datang dengan kemungkinan diagnosis appendicitis atau kondisi lain yang berhubungan selama periode penelitian. Tercatat sebanyak 1516 pasien yang membutuhkan tatalaksana operatif dan 470 pasien tanpa intervensi operatif. Dari 470 pasien tersebut, mayoritas tidak dilakukan konfirmasi appendicitis dengan pencitraan, beberapa diantaranya ditransfer ke rumah sakit lain saat kunjungan awal dan sejumlah pasien lainya dikonfirmasi terdapat patologi intra abdominal lain selain appendicitis. Totalnya sebanyak 54 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan dipilih untuk penelitian ini (0.04%) (Gambar 1). Terdapat 28

5

pasien perempuan dan 26 laki-laki dengan rata-rata usia yaitu 59.9 tahun (kisaran 894 tahun). Sebanyak 46 pasien (85.2%) memiliki konfirmasi dengan CT scan, 4 pasien (7.4%) hanya menggunakan US scan dan 4 pasien (7.4%) membutuhkan CT scan dan US scan. Sebanyak 19 pasien (35.2%) dikonfirmasi meiliki simple appendicitis menggunakan pencitraan. Sebanyak 4 pasien (7.4%) tidak cocok untuk anestesi umum dengan komorbiditas multipel; 1 pasien menolak terapi pembedahan; 3 pasien memiliki temuan radiologis dengan kecurigaan ke arah kondisi patologis lain (sebagai tambahan selain appendicitis akut) dan 11 pasien membaik secara klinis dengan cepat menggunakan antibiotik intravena (Tabel 1). Sebanyak 35 pasien (64.8%) memiliki hasil pencitraan yang mengkonfirmasi appendicitis komplikata (ruptur appendicitis, abses appendiceal dan phlegmon). Total 54 pasien tersebut mendapatkan terapi antibioti spektrum luas secara intravena (IV) saat rawat inap dan 10 pasien (18.5%) membutuhkan drainase perkutaneus tumpukan appendiceal dengan panduan radiologis. Selama follow up, 20 pasien (37%) dilakukan kolonoskopy saat rawat jalan (Tabel 2); 4 diantaranya memiliki simple appendicitis dan 16 lainya dengan appendicitis komplikata (Gambar 2). Sebanyak 18 pasien dengan hasil kolonoskopy yang normal selama follow up. Satu pasien memiliki kolotis dimana diketahui pasien tersebut memang memiliki riwayat kolitis ulseratif. Satu pasien tidak didapatkan hasil pemeriksaan kolonoskopinya (Gambar 3). Sebanyak 11 pasien (20.4%) mengalami episode appendicitis rekuren melebihi periode waktu follow up (Tabel 2); 3 pasien dengan simple appendicitis dan 8 pasien dengan appendicitis komplikata. Empat dari 11 pasien kembali ditangani secara konservatif dan 7 lainya membutuhkan tatalaksana operatif (4 dengan laparoscopy dan 3 dengan open procedure). Totalnya 21 pasien (38.9%) dilakukan appendicectomy dalam periode follow up, 14 pasien menjalani interval appendicectomy dan 7 pasien membutuhkan appendicectomy emergensi selama kunjungan kedua mereka untuk appendicitis akut (Gambar 4). Dari 14 pasien (25.9%) yang menjalani interval appendicectomy elektif, operasi direkomendasikan untuk 9 pasien aimptomatik oleh ahli bedah yang menangani mereka, 3 pasien ditawarkan untuk melakukan interval appendicectomy 6

setelah tatalaksana konservati pada episode appendicitis kedua dan 2 paien dilaukan interval appendicectomy karena nyeri abdominal yang terus berlangsung (Gambar 5).

7

PEMBAHASAN Tidak mengejutkan bahwa appendicectomy masih menjadi peilihan terapi untuk appendicitis akut pada jaringan rumah sakit, hal ini ditunjukan oleh peserta penelitian ini (54 pasien ditangani secara konservatif versus 1516 pasien ditangani secara operatif), terapi konservatif hanya dilakukan sesekali. Konsep tatalaksana appendicitis akut secara konservatif dibandingkan dengan appendicectomy telah diajukan selama lebih dari 2 dekade. Terdapat sejumlah percobaan acak terkontrol dan tinjauan sistematik multipel yang mencari tentang keamaan dan efikasi penggunaan antibiotik saja versus eppendicectomy dalam tatalaksana appendicitis akut tanpa komplikasi.

8

Beberapa percobaan mendukung tatalaksana konservaif untuk appendicitis tanpa komplikasi. Styrud skk, Hansson dkk serta Erickson dll menilai pasien dengan appendicitis klinis yang diterapi secara konservatif dengan antibiotik versus pasien yang diterapi dengan appendicectomy dan menyimpulkan bahwa terapi antibiotik saja sama efektifnya dengan appendicectomy. Parameter berbeda digunakan untuk penilaian.

Styrud dkk

membandingkan angka komplikasi pada kelompok

appendicectomy sampai angka rekurensi pada kelompok antibiotik dan menemukan bahwa keduanya sama. Hansson dkk menggunakan kriteria yang serupa; mereka mendefinisikan efikasi pada kelompok antibiotik sebagai perbaikan definitif tanpa perlu dilakukan pembedahan selama rata-rata waktu follow up 1 tahun; efikasi pada kelompok appendicectomy akan dikonfirmasi appendicitis saat operasi atau indikasi bedah lainya yang sesuai untuk operasi. Mereka menemukan behwa terdapat efikasi yang serupa pada kedua kelompok tersebut. Erickson dkk membandingkan skor nyeri, kadar sel darah putih (WBC) dan C-reactive protein (CRP) dan menemukan bahwa pasien–pasien yang diterapi dengan antibiotik memiliki signifikansi skor nyeri lebih rendah dan penurunan jumlah WBC yang lebih cepat dibandingkan dengan pasien-pasien yang diterapi dengan appendicectomy. Angka rekurensi selama follow up 1 tahun adalah 35% pada kelompok antibiotik, dan angka appendicectomy negatif yaitu 15%. Sebanyak 2 percobaan menanyakan tentang efikasi tatalaksana konservatif pada appendicitis tanpa komplikasi. Salminen dkk dan Vons dkk menggunakan kriteria non-inferiority dan mengatakan bahwa mereka tidak dapat menunjukan kelemahan terapi antibiotik dibanding pembedahan. Salminen dkk mendefinisikan keberhasilan terapi antibitok sebagai pasien keluar dari rumah sakit tanpa membutuhkan pembedahan dan tidak ada appendicitis rekuren dalam follow up 1 tahun; dan mendefiniskan keberhasilan terapi pembedahan sebagai selesainya appendicectomy. Disamping pelaporan adanya perbedaan 25% efikasi antara kedua kelompok tersebut, namun kelompok antibiotik mencapai 94.2% angka keberhasilan selama perawatan pertama pasien di RS. Vons dkk mendefinisikan hasil akhir primer sebagai terjadinya peritonitis post-intervensi dalam 30 hari setelah dimulainya terapi 9

dan menemukan bahwa hal ini secara signifikan lebih sering terjadi pada kelompok terapi antibiotik dibandingkan pada kelompok appendicectomy (8% vs 2%). Appendicitis komplikata didefinisikan sebagai appendicitis akut dengan adanya abses, perforasi lokal atau massa inflamasi yang terdiri atas appendic dan viscera sekitar yang mengalami inflamasi. Tatalaksana kasus ini biasanya lebih kontroversial. Secara klinis, pasien-pasien tersebut sangat mirip dengan pasien-pasien appendicitis tanpa klomplikasi, namun pada pemeriksaan mungkin ditemukan massa yang dapat dipalpasi pada fossa iliaka kanan. Konsensus umum untuk terapi lini pertama yaitu terapi konservatif antibiotik dengan atau tanpa bantuan drainase abses secara radiologis. Berbeda dengan appendicitis tanpa komplikasi, terapi konservatif diberikan untuk mencegah kemungkinan penyebaran infeksi lokal, cedera pada viscera di sekitarnya dan semua jenis komplikasi yang dapat disebabkan oleh pembedahan. Sebuah penelitian menunjukan bahwa pembedahan segera pada pasienpasien dengan pembentukan phlegmon berhubungan dengan lebih dari 3 kali lipat peningkatkan morbiditas dibandingkan dengan tatalaksana konservatif. Sebuah meta analsis yang dilakukan oleh Simillis dkk menunjukan peningkatan yang signifikan pada jumlah keseluruhan komplikasi, operasi ulang, infeksi luka, ileus atau obstruksi usus dan pembentukan abses abdomen maupun pelvis pada pasien-pasien yang menjalani operasi segera versus tatalaksana konservatif. Hanya sekelompok kecil pasien (19 pasien) dengan simple appendicitis yang mendapat tatalaksana nonoperatif selama periode penelitian pada jaringan kesehatan ini. Mayoritas pasien yang ditangani secara konservatif memiliki appendicitis komplikata (35 pasien). Saat diperiksa lebih lanjut, lebih dari setengah 19 pasien tersebut yang membaik secara klinis dengan nyeri tekan yang minimal, sisanya dengan ketidakcocokan dengan anestesi atau memiliki temuan pencitraan lain yang membuat diagnosa simple appendicitis menjadi komplikata (Tabel 2). Sangat jelas bahwa tatalaksana operatif lebih dipilih untuk menangani simpel appendicitis pada jaringan rumah sakit ini. Sebuah alasan dapat menjadi implementasi pada Acute General Surgical Unit pada 2 jaringan rumah sakit ini, dimana appendicitis akut akan selalu siap ditangani secara 10

operatif. Alasan lainya mungkin kurangnya data dan percobaan berbasis data lokal. Peneliti meyakini bahwa hasil penelitian ini merepresentasikan praktik yang saat ini digunakan di Melbourne, Australia.

Interval appendicectomy Interval appendicectomy didefinisikan sebagai appendicectomy yang dilakukan setelah keberhasilan tatalaksana konservatif untuk mencegah episode rekuren di masa datang. Apakah hal ini sebaiknya dibuat sebagai pendekatan rutin atau tidak, masih kontrversial. Dalam penelitian ini, 14 pasien (24.9% kelompok konservatif) menjalani interval appendicectomy selama waktu periode follow up, 64% (9 pasien) tidak memiliki tanda atau gejala sisa dari episode rekuren dan hanya 36% (5 pasien) yang mengalami episode rekuren atau gejala sisa. Tidak terdapat konsensus di rumah sakit ini yang mengatakan tentang siapa yang sebaiknya mendapat interval appendicectomy dan siapa yang tidak. Penelitian masih mempertanyakan perlunya interval appendicectomy karena angka komplikasinya dapat mencapai 23% dan angka rekurensinya rendah berkisar dari 5-15% pada periode follow up antara 6-48 bulan. Beberapa peneliti beranggapan bahwa pada appendicitis komplikata, terdapat potensi risiko adanya keganasan yang terlibat atau kondisi patologis lain, misalnya penyakit Crohn yang dapat terlewatkan dan interval appendicectomy serta pemeriksaan histopatologi dapat memberikan nilai diagnostik dan terapi yang lebih baik. Peneliti lainya menawarkan CT scan dan kolonskopy alternatif pada kelompok yang dicurigai untuk mendeteksi kondisi patologis yang jarang terjadi. Bukti terbaru dari tinjauan sistematik menentang interval appendicectomy rutin bahkan untuk appendicitis komplikata dan beberapa penelitian menunjukan bahwa rekurensi dapat ditemukan dan ditangani sekali lagi secara konservatif.

11

Prediktor terhadap episode rekuren Episode rekuren appendicitis setelah tatalaksana konservatif membutuhkan perhatian dan terapi. Dapat sangat membantu bila prediktor terjadinya rekurensi dapat ditemukan sehingga populasi pasien dapat ditawarkan untuk melakukan interval appendicectomy atau melakukan follow up yang sesuai. Dari penelitian ini, 20.4% (11 pasien) mengalami episode rekuren selama follow up, sebanding dengan yang dilaporkan dalam literatur yang menemukan sebanyak 3-25%. Mayoritas (8 pasien) dari sejumlah pasien tersebut memiliki appendicitis komplikata pada kunjungan pertama mereka. Sebuah penelitian case-control pada populasi pediatrik menemukan bawha gejala yang persisten setelah resolusi massa inflamasi appendicular dan waktu resolusi lebih dari 6 hari berhubungan kuat dengan rekurensi dan pasien-pasien tersebut sebaiknya ditawarkan melakukan interval appendicectomy. Penelitian tersebut juga menegakan bahwa terdapat korelasi yang signifikan antara appendikolith yang positif secara US dengan rekurensi. Koike dkk juga menilai secara retrospektif populasi pediatrik tentang beberapa faktor yang diidentifikasi menggunakan analisis multivariat bahwa cairan appendiceal intraluminal yang ditemukan pada pencitraan (CT scan atau US scan) merupakan sebuah prediktor independen yang signifikan untuk appendicitis rekuren. Penelitian lainya yang menganalisa temuan radiologis CT scan menemukan bahwa adanya kalsifikasi appendicolith sangat berkaitan erat dengan rekurensi appendicitis.

Interval kolonoskopy Penelitian ini menunjukan bahwa 37% (20 pasien) menjalani interval kolonskopy pada kelompok terapi konservatif. Mayoritas pasien tersebut (16 pasien) memiliki appendicitis komplikata. Selain 1 pasien yang memiliki kolitis saat kolonoskopy dengan adanya riwayat kolitis ulseratif, sisa kolonoskopy lainya tidak mendeteksi adanya proses penyakit lain. Nyatanya, tidak terdapat konsensus dalam sistem kesehatan rumah sakit ini tentang siapa yang sebaiknya melakukan kolonoskopy dan siapa yang tidak. Terdapat lebih dari 12% kemungkinan terjadinya 12

appendicitis komplikata, khususnya bila terdapat massa inflamasi, dapat menjadi tanda awal proses penyakit. Hal tersebut meliputi ruptur divertikulitis caecum, ileitis terminal, tumor mesenterika, karsinoid appendix, mukokel appendix dan kanker caecum. Karsinoid merupakan tumor appendix yang paling sering dijumpai dengan insidensi 0.3-0.7%. terdapat sekitar 1-4% hubungan antara massa appendiceal dengan kanker caecum atau kanker kolon asendens. Kecurigaan sebaiknya ditingkatkan pada kelompok yang berisiko yaitu usia lebh dari 40 tahun, adanya anemia, nyeri rekuren pada fosssa iliaka kanan, dan temuan histologi appendix yang normal setelah appendicectomy. Lai dkk sangat mendukung dilakukanya interval kolonoskopy pada pasien-pasien yang datang dengan massa appendiceal yang telah ditangani secara konservatif. Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan yaitu bersifat retrospektif, sehingga memiliki bias seleksi, mengingat penelitian ini dibatasi oleh kriteria seleksi yang kuat pada pasien konsekutif. Keterbatasan lainya yaitu appendicitis terbatas hanya bila dikonfirmasi dengan pencitraan, hal ini berarti pasien-pasien dengan appendicitis klinis yang ditangani secara konservatif tanpa pencitraan tidak dimasukan dalam penelitian ini. Jadi jumlah pasien sebenarnya mungkin akan lebih banyak daripada 54 pasien yang dilaporkan. Hal ini sengaja dilakukan untuk mencegah memasukan pasien-pasien dengan nyeri abdomen yang tidak spesifik yang didiagnosa dengan appendicitis.

KESIMPULAN Appendicectomy masih menjadi pilihan terapi untuk appendicitis akut pada jaringan kesehatan ini. Tatalaksana konservatif biasanya berhasil dan dapat diadopsi sebagai terapi lini pertama pada simple appendicitis dalam kondisi spesifik, seperti pada pasien usia tua dengan komorbiditas multipel. Tatalaksana konservatif sebaiknya ditawarkan pada pasien-pasien dengan appendicitis rekuren dan pada mereka dengan kemungkinan rekurensi yang tinggi sesuai pemeriksaan dengan pencitraan. Interval kolonoskopy sebaiknya dijadwalkan pada pasien-pasien dengan risiko tinggi adanya keganasan dan proses penyakit lain, misalnya pada pasien usia 13

lebih dari 40 tahun dan pasien-pasien dengan massa fossa iliaka kanan. Peneliti meyakini bahwa hasil penelitian ini merepresentasikan praktik yang saat ini digunakan untuk tatalaksana appendicitis akut di Melbourne, Australia. Namun, akan lebih baik bila melihat dan membandingkan juga hasilnya dengan institusi lainya di Australia.

14

Similar documents

JURNAL APP

Siska Teurupun - 357.1 KB

Tabela App CAIXA Mobile Forte PF

Amanda Nascimento - 122.4 KB

jurnal Zaini

Mas joo - 266.3 KB

JURNAL 2

Risma Regista - 333.8 KB

Cost Jurnal

Warung Makjang - 109.4 KB

Jurnal Asli

Shalsabilillah Defia Putri - 372.2 KB

review Jurnal

김티나 - 328.4 KB

Jurnal Echa

Tiara Widistia - 1.7 MB

Contoh jurnal

Septy Amorrinda - 56.4 KB

jurnal 2

Dha Dina Sevofration - 644.6 KB

jurnal psikolog

Mesti Kajen - 136.8 KB

jurnal paw

ansar - 166.4 KB

© 2024 VDOCS.RO. Our members: VDOCS.TIPS [GLOBAL] | VDOCS.CZ [CZ] | VDOCS.MX [ES] | VDOCS.PL [PL] | VDOCS.RO [RO]