* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.
Description
REFERAT
NEUROPSIKIATRI SISTEMIK LUPUS ERITEMATOSUS
Disusun oleh : Tita Fathia 1102017041
Pembimbing : dr. Kusmardi, Sp.PD
KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI PERIODE 31 Mei – 27 Juni 2021
BAB I PENDAHULUAN Sistemik Lupus Eritematosus (SLE) merupakan penyakit inflamasi autoimun kronis yang belum diketahui etiologinya dengan manifestasi klinis beragam, termasuk manifestasinya neuropsikiatri [1]. Penyakit ini dapat menyebabkan inflamasi dan merusak berbagai organ tubuh, seperti persendian, kulit, ginjal, jantung, paru-paru, pembuluh darah, dan otak [2-3]. Manifestasi klinis SLE sangat beragam, yang salah satunya adalah keterlibatan sistem saraf dan sindrom psikiatri (neuropsikiatri). Manifestasi neuropsychiatric systemic lupus erythematosus (NPSLE) meliputi sindroma psikiatri dan neurologis yang melibatkan sistem saraf pusat, perifer, dan otonom pada pasien LES yang penyebab lain telah disingkirkan [5].
Berdasarkan definisi dari American College of Rheumatology, manifestasi neurologi dan psikiatri pada pasien SLE, mulai dari prevalensi yang paling sering sampai sedikit adalah disfungsi kognitif, sakit kepala, gangguan suasana hati, penyakit cerebrovaskular, kejang, polineuropati, ansietas dan psikosis. Meningkatnya simptom neuropsikiatri ini dikarenakan karena lebih baiknya pemeriksaan dan meningkatnya kewaspadaan dokter. Oleh karena banyaknya manifestasi neuropsikiatri yang dilaporkan pada pasien SLE, tentu tidaklah hanya satu mekanisrne patogenesis yang terjadi. Kejadian NPSLE dapat disebabkan karena manifestasi primer dari lupus, komplikasi sekunder dari penyakit atau pengobatan seperti hipertensi, infeksi, atau kejadian yang bersamaan tetapi tidak ada hubungannya dengan lupus. Manifestasi primer NPSLE rnerupakan campuran dari mekanisrne patogenesis abnormalitas vaskular, autoantibodi dan produksi lokal mediator inflamasi.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi Neuropsikiatri Sistemik Lupus Eritematosus (NPSLE) adalah sindrom neurologi sentral, perifer, sistem saraf autonom dan psikiatri yang terdapat pada pasien SLE dimana penyebab lainnya sudah disingkirkan [1]. 2.2 Epidemiologi Prevalensi SLE bervariasi antar populasi dan sekitar 50 dalam 100.000 [5]. Namun, perkiraan NPSLE menantang karena variasi dalam desain penelitian (prospektif atau retrospektif), periode tindak lanjut, keseragaman definisi kasus, dan populasi usia penyakit yang dievaluasi (pediatrik vs dewasa). Untuk mengatasi kendala ini, definisi kasus ACR-NPSLE 1999 telah banyak digunakan; namun demikian, perkiraan prevalensi NPSLE masih sangat bervariasi [6]. Unterman dkk. [7] melakukan meta-analisis studi menilai prevalensi NPSLE. Menurut 10 studi prospektif berkualitas tinggi, yang mencakup 2.049 pasien SLE, prevalensi manifestasi NPSLE di antara mereka adalah 56%. Di antara ini sekitar 90% adalah manifestasi SSP murni. Manifestasi NPSLE yang paling sering adalah sakit kepala (28,3%), gangguan mood (20,7%), disfungsi kognitif (19,7%), kejang (9,9%), dan penyakit serebrovaskular (8,0%). Studi epidemiologi yang mengecualikan nonspesifik, gejala SSP minor, seperti disfungsi kognitif ringan, sakit kepala, depresi ringan, dan kecemasan, menunjukkan prevalensi NPSLE yang lebih rendah. Dengan demikian, seseorang dapat menyarankan pendekatan baru untuk mendefinisikan manifestasi NPSLE. Pendekatan ini akan membahas manifestasi utama yang dapat berfungsi sebagai kriteria dan yang kecil yang terkait erat dengan SLE tetapi kurang spesifik (misalnya, sakit kepala, kecemasan, kehilangan memori ringan, dll.) [6].
2.3 Etiologi dan Patofisologi Penyebab pasti dari SLE masih tidak diketahui secara pasti, SLE ditandai dengan hilangnya toleransi terhadap antigen nuklear, pembentukan autoantibodi, dan kompleks imun, yang mengakibatkan aktivasi komplementer, dekstruksi sel dan inflamasi. Proses patogenesis ini yang menyebabkan kerusakan organ, dan mengakibatkan perubahan patofisiologis yang pada akhirnya memunculkan manifestasi klinis, tetapi masih belum diketahui secara pasti. Ada beberapa mekanisme yang dihipotesiskan mengarah ke NPSLE : 2.3.1 Autoimun dan atau inflamasi yang ditandai dengan disfungsi otak karena autoantibodi dan atau mediator inflamasi dengan blood–brain barrier (BBB) yang terganggu. Disfungsi neuronal dapat diinduksi langsung oleh mediator ini atau secara tidak langsung melalui aktivasi sel saraf lainnya. Autoantibodi dianggap memainkan peran penting dalam pathogenesis Neuropsikiatrik sistemik lupus erythematosus (NPSLE), Brain tissue-reactive antibodies pada NPSLE dapat disintesis di central nervous system (CNS) atau di organ perifer (kelenjar getah bening dan sumsum tulang). Kemudian autoantibodi ini harus melewati BBB pada SLE untuk memberikan efek pada neuron [7]. 2.3.2 Cedera vascular dari proses trombosis baik yang besar maupun yang kecil (mikroangiopati) dalam pembuluh darah intrakranial yang disebabkan oleh autoantibodi yang dimediasi kompleks imun,endapan komplemen, leukoagglutinasi, dan aterosklerosis. Antibodi antifosfolipid mernpunyai peranan pada beberapa pasien, dimana dihubungkan dengan kejadian sindrorn stroke [7]. 2.3.3 Antibodi anti fosfolipid Antibodi antifosfolipid berhubungan dengan trombosis arteri dan vena, di mana hal ini mungkin melibatkan sirkulasi serebral yang menimbulkan iskemik atau infark otak. Pasien dengan antibodi antifosfolipid dapat terjadi sumbatan pembuluh darah berbagai ukuran akibat thrombosis. kombinasi antibodi anti fosfolipid; anti-kardiolipin/ beta2-gliko-protein I dan antiphosphatidylserine/antibodi prothrombin menghasilkan aktifasi trombosit, dimana dapat berkonstribusi pada keadaan hiperkoagulasi [8].
2.3.4. Antibodi Anti dsDNA merupakan penyebab spesifik aktivitas SLE yang telah dideteksi dalam cairan serebrospinal pada pasien NPSLE dan membuktikan terikat neuron hipocampus. Sebuah subset dari anti dsDNA antibodi menunjukkan interaksi dengan sub unit anti N-metil-Daspartat (NMDA) dan reseptornya. kompleks ini berhubungan dengan gangguan mood, kebingungan akut dan penurunan penurunan kognitif [8]. 2.4 Manifestasi Klinis Sindroma neuropsikiatrik pada SLE yang didefinisikan oleh komite penelitian American College of Rheumatology (ACR) tahun 2012 [9]
Manifestasi SSP yang diklasifikasikan menurut nomenklatur American College of Rheumatology (ACR) dibedakan menjadi gejala berat dan ringan. Yang termasuk gejala berat yaitu meningitis aseptik, defisit neurologik fokal (oleh karena penyakit serebrovaskuler), gangguan gerak, myelopati, gangguan mood dan psikosis. Sedangkan gejala ringan termasuk nyeri kepala, disfungsi kognitif dan gangguan ansietas. Nyeri kepala, kesulitan dalam berkonsentrasi dan pengutaraan alasan (reasoning) termasuk gambaran klinis penyakit neurologis yang paling sering dijumpai pada penderita SLE. Penderita lupus sering mengalami nyeri kepala yang kadang tidak berhubungan dengan penyakit dasarnya. Sekitar 20% penderita SLE mengalami nyeri kepala berat yang berhubungan dengan penyakit dasarnya yang disebut sebagai nyeri kepala lupus [7].
2.5 Penelusuran diagnostik SLE merupakan penyakit autoimun kompleks yang melibatkan beberapa sistem tubuh dengan gambaran manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis beragam. Selain itu, banyak pasien datang dengan manifestasi klinis yang belum cukup untuk menegakkan diagnosis SLE. 2.5.1 Kriteria Kecurigaan terhadap penyakit SLE perlu dipikirkan bila dijumpai dua atau lebih kriteria ini : 1. Usia muda dengan keluhan /manifestasi klinis pada dua orngan atau lebih 2. Gejala konstitusional : kelelahan, demam (tanpa bukti infeksi), penurunan berat badan. 3. Musculoskeletal : artritis, artralgia, miositis 4. Kulit : ruam kupu-kupu (butterfly/malar rush), fotosensitivitas, lesi membran mukosa, alopesia. 5. Ginjal : hematuria, proteinuria. 6. Gastrointestinal : mual, muntah. 7. Paru : lesi parenkim paru (pneumonitis, aveolitis, bronkiektasis, penyakit interstisial paru), 8. Jantung :perikarditis, endokarditis, miokarditis 9. Hematologi : anemia, leukopenia, limfopenia, trombositopenia 10. Neuropsikiatri : kejang, psikosis, neuropati. Penelusuran diagnostik dimulai dengan diagnosis SLE, Kriteria sistemik lupus erythematosus menurut American College of Rheumatology tahun 2019.
2.5.2 Pemeriksaan penunjang pada SLE Pemeriksaan laboratorium dasar : 2.5.2.1 Darah perifer lengkap (DPL) dan laju endap darah (LED) Pemeriksaan DPL ( Hemoglobin, Hematokrit, trombosit, hitung jenis leukosit, jumlah eritrosit, MCV,MCH,MCHC ) bertujuan untuk menilai kelainan hematologi secara umum pada SLE. Kelainan hematologi pada SLE berupa anemia, leukopenia, limfopenia, dan trombositopenia. 2.5.2.2 Urinalisis lengkap Pemeriksaan urine lengkap bertujuan mengetahui kelainan seperti proteinuria, hematuria dan piuria. Jika proteinuria positif, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu pemeriksaan protein urine 24 jam secara kuantitatif 2.5.2.3 Pemeriksaan autoantibodi 2.5.2.3.1 Antibodi antinuklear (ANA) Pemeriksaan ANA merupakan pemeriksaan serologi pertama yang diperlukan bagi setiap pasien dengan kecurigaan SLE. Pemeriksaan ANA dapat dilakukan dengan indirect immunofluorescence (IF). Hasil pemeriksaan ANA positif merupakan temuan penting yang menunjukkan suatu kondisi autoimun. Hasil pemeriksaan positif dapat ditemukan pada 95-100% pasien SLE. Namun, hasil pemeriksaan positif juga dapat ditemukan pada sejumlah penyakit lain, seperti tuberkulosis, artritis reumatoid, dan keganasan dengan persentase mencapai 4-31% pada titer berbeda. Pemeriksaan ANA IF pada SLE memiliki sensitivitas dan spesifisitas berbeda sesuai dengan kenaikan titer,
sensitivitasnya
cenderung meningkat dan spesifisitasnya menurun. Sensitivitas ANA IF pada titer 1:80 97,8%; spesifisitas ANA IF pada titer 1:80 74,7%. 2.5.2.3.2 Antibodi anti-double stranded DNA (anti-dsDNA) Antibodi anti-dsDNA merupakan bagian dari ANA. Hasil pemeriksaan anti-dsDNA positif ditemukan pada 3798% pasien SLE. Pemeriksaan anti-dsDNA memiliki sensitivitas 37-57,3% dan spesifisitas 97,4-100% untuk mendiagnosis SLE. Pemeriksaan antibodi anti-dsDNA bertujuan mengonfirmasi diagnosis SLE. Pemeriksaan antibodi anti-dsDNA secara umum tidak dianjurkan jika pemeriksaan ANA negatif.
2.5.2.3.3 Antibodi anti-Smith (anti-Sm) Antibodi anti-Sm positif dapat mencapai 24,9-40% pada pasien SLE. Antibodi anti-Sm berhubungan dengan sejumlah manifestasi klinis, seperti anemia hemolitik, hipertensi arterial, keterlibatan ginjal,leukopenia, limfopenia, serositis, vaskulitis, dan psikosis. Pemeriksaan antibodi anti-Sm memiliki sensitivitas 7-41% dan spesifisitas 93-100%.Hasil pemeriksaan antibodi anti-Smith positif mampu meningkatkan diagnosis SLE. Oleh karena itu, pemeriksaan antibodi anti-Sm dinilai sangat berguna untuk mendukung diagnosis SLE pada pasien dengan kecurigaan kuat berdasarkan manifestasi klinisnya [9]. 2.5.3 Sistem rujukan SLE :
Setelah terdiagnosis SLE, selanjutnya mendiagnosis NPSLE, Tidak terdapat diagnostik baku emas untuk pemeriksaan manifestasi neuropsikiatri yang terdapat pada SLE. secara umum diagnosis NPSLE menggunakan praduga dari pasien SLE yang terdapat gejala neurologis. Oleh karenanya diagnosis yang betul adalah melalui analisis yang cermat dari klinis, laboratorium, dan pencitraan berdasarkan kasus yang dialami. Penilaian cairan serebrospinal sebaiknya dilakukan terutama untuk menyingkirkan penyebab infeksi. Dalam hal pemeriksaan autoantibodi, antibodi antifosfolipid menunjukkan nilai diagnostik yang paling tinggi pada penyakit serebrovaskular. Pemeriksaan neuroimanging sebaiknya termasuk modalitas penilaian struktur otak dan penilaian fungsi otak [7].
2.5.4 Pemeriksaan penunjang NPSLE Pemeriksaan laboratorium dasar : 2.5.4.1 Darah perifer lengkap (DPL) dan laju endap darah (LED) Pemeriksaan DPL (Hemoglobin,Hematokrit,trombosit,hitung jenis leukosit, jumlah eritrosit) bertujuan untuk menilai kelainan hematologi secara umum pada LES. Kelainan hematologi pada LES berupa anemia,leukopenia, limfopenia, dan trombositopenia. 2.5.4.2 Urine lengkap Pemeriksaan urine lengkap bertujuan mengetahui kelainan seperti proteinuria, hematuria dan piuria. Jika proteinuria positif, perlu dilakukan pemeriksaan tambahan yaitu perhitungan protein urine 24 jam secara kuantitatif. 2.5.4.3 Magnetic resonance imaging (MRI) adalah teknik neuroimaging pilihan dalam NPSLE. Pemeriksaan ini mampu menunjukan kelainan pada otak dan tulang belakang, memungkinkan identifikasi lesi yang terkait dengan NPSLE (misalnya infark atau mielopati) dan banyak gangguan diferensial (misalnya tumor atau infeksi). Suatu teknik baru yang disebut Magnetization Transfer Imaging (MTI) yaitu teknik MRI yang dapat memberikan informasi secara kuantitatif. Alat ini lebih sensitif dari MRI konvensional dalam mendeteksi NPSLE,termasuk mendeteksi kelainan otak pada mereka dengan riwayat NPSLE tanpa gejala aktif NeuroPsikiatri saat pemeriksaan dilakukan. Single photon emission computed tomography (SPECT) sangat sensitif dan dapat memberikan analisis semi-kuantitatif aliran darah regional dan metabolism otak [7]
2.6 Tatalaksana Penatalaksanaan pasien memerlukan penyesuaian tergantung dari keadaan pasien. Bila diagnosis NPSLE sudah ditegakkan, langkah pertama adalah menentukan dan mengobati faktor-faktor yang memperberatnya seperti hipertensi dan infeksi. Pengobatan simptomatik, misalnya untuk kejang dengan antikonvulsan, untuk depresi menggunakan antidepresan, dan pengobatan antipsikotik perlu dipertimbangkan bila diperlukan. Terapi imunosupresan dengan kortikosteroid dosis tinggi, siklofosfamid dan azathioprine telah dipakai banyak untuk pengobatan manifestasi NPSLE [8]. 2.6.1 Gangguan neurologi pada sistemik lupus eritematosus : 2.6.1.1 Sindrom Sroke Stroke dilaporkan pada 15 persen pasien SLE, baik berupa transient ischemic attack (TIA) atau infark otak ischernik. Kebanyakan stroke ini rnuncul dalam lima tahun pertarna penyakit. Didapati stroke berulang Terdapat hubungan yang kuat antara kejadian sindrorn stroke dengan kejadian episodik trornbotik lainnya dan antibodi antifosfolipid. Antibodi Antifosfolipid Suatu laporan di literatur
juga
melaporkan
terdapatnya
hubungan
yang
sangat
bermakna
antara
antibodiantifosfolipid dengan stroke pada pasien SLE. Kehadiran kombinasi antiphospholipid antibodies (aPL), anti-kardiolipin/ beta2-gliko-protein I dan antiphosphatidyl-serine/antibodi protrombin mempunyai hubungan yang sangat kuat dengan infark serebral dibandingkan dengan hanya lupus antikoagulan saja yang positif. Selanjutnya kombinasi dari antibodi ini secara in vitro menghasilkan aktifasi trombosit, dimana dapat berkonstribusi pada keadaan hiperkoagulasi.1 Terapi yang dapat diberikan yaitu antikoagulan jangka panjang dengan warfarin atau aspirin diindikasikan pada sebagian besar pasien dengan sindrom stroke karena antibodi antifosfolipid atau trombosis begitu mereka stabil dan tidak ada bukti hemorrhagik. Terapi antikoagulan jangka panjang dengan warfarin 2-10 mg/hari INR (International Normalized Ratio) 2-3 atau aspirin (asam asetolsalisilat) 80 mg/hari diindikasikan pada sebagian besar pasien
dengan sindrom stroke karena antibodi antifosfolipid atau thrombosis begitu mereka stabil dan tidak ada bukti hemorrhagik.
2.6.1.2 Kejang Kejang terdapat pada 10-20 persen pasien SLE. Kejang yang terjadi dapat berupa kejang umum (primer) dan parsial. kejang parsial kompleks lebih sering ditemukan sebagai manifestasi awal dari SLE dan berkorelasi kuat dengan munculnya psikosis (ditandai dengan ide paranoid) dan fokal elektroensefalografi abnormal, terutama pada lobus temporal. Bermacam-macam pengobatan antikonvulsan bisa diberikan tergantung dari tipe kejang. Kejang umum biasanya ditatalaksana dengan phenitoin 150-300 mg/hari. Kejang parsial komplek dan psikosis berhubungan dengan NPSLE lebih baik diobati dengan karbamazepin 100-200 mg/hari , clonazepam 1mg/hari, asam valproate 500 mg/hari. 2.6.1.3 Sakit Kepala Sakit kepala cukup sering terdapat pada 30-40 persen pasien SLE , tetapi tidak terdapat hubungan sebab akibat. Suatu penelitian yang dilakukan dari data penelitian kontrol dan tidak terkontrol menemukan bahwa 57,1 persen sakit kepala pada pasien SLE (37,1 persen migren, 23,5 persen tension) tetapi prevalensi dari semua tipe sakit kepala tidak berbeda dengan kontrol. Meskipun migren dan sakit kepala tension sering ditemukan, Terapi yang dapat diberikan dalam Pengobatan sakit kepala pada pasien SLE tidak berbeda dengan pasien yang tidak menderita lupus bisa menggunakan paracetamol 0.5-1 gram setiap 6-8 jam ,iburprofen 200-400 mg 3-4 kali sehari. 2.6.1.4 Neuropati Kira-kira 10 sampai 15 persen pasien SLE memiliki neuropati periferal yang diakibatkan vaskulopati pada arteri kecil yang menyuplai saraf terkena. Neuropati periferal karena SLE biasanya asimmetri, ringan, bisa melibatkan lebih dari satu saraf (polineuropati) dan dampak terhadap saraf sensori lebih banyak dari saraf motorik. Presentasi dapat berupa bilateral (tetapi tidak murni simetris) parestesia dan kebas pada jari-jari yang sering memberat pada malam hari. Serabut halus neuropati dapat muncul pada SLE, mengakibatkan perasaan sakit dimana tidak terdapat abnormalitas dari studi konduksi saraf atau perubahan refleks. Terapi yang dapat diberikan dalam pengobatan Neuropati bisanya berespon baik dengan kortikosteroid dalam dosis yang agak tinggi (prednison 30 sampai 60 mg/hari), walaupuan tidak
semua pasien menunjukkan perbaikan. Respons komplit memerlukan waktu berminggu hingga berbulan, oleh karena lambatnya regenerasi saraf. Bila nyeri dan parestesia yang tidak tertahankan lagi, dan konduksi saraf abnormal, glukokortikoid (contohnya prednison 1 mg/kg perhari) dengan gabapentin (dosis awal 100 mg tiga kali sehari) atau dosis rendah antidepresan trisiklik misalnya amitriptilin (dosis awal 25 mg/hari) dapat diberi. 2.6.2 Gangguan Psikiatri Pada Sistemik Lupus Eritematosus 2.6.2.1 Psikosis Muncul kira-kira dalam 5%-10% pasien SLE, dan biasanya terdapat dalam tahun pertama diagnosis. Ward menemukan 61% kejadian psikosis primer pada 36 pasien SLE dengan kejadian psikosis
dalam tahun pertama sejak diagnosis SLE ditegakkan. Psikosis ditandai dengan
terdapatnya gangguan berpikir yang aneh sering muncul dilusi dan halusinasi. Gejala lain yang biasanya menyertai adalah susah untuk memusatkan perhatian, gampang terganggu perhatian, misinterpretasi terhadap sekitarnya, agitasi atau bertingkah laku seperti mau perang. Terapi psikosis pada SLE yang aktif, dapat diberikan prednison (1 sampai 2 mg/kg perhari) diberi dalam beberapa minggu dalam dosis terbagi memberikan hasil yang cukup baik. Bila tidak ada kemajuan dapat diberikan terapi sitotoksik misalnya siklofosfamid oral (1-2 mg/kg/hari) Pengobatan harus diberikan segera untuk mencegah kerusakan yang permanen. Pengobatan dengan obat antipsikotik juga diperlukan misalnya haloperidol 0.5-5 mg, 2-3 kali sehari, dukungan aktif dari keluarga dan paramedis juga diperlukan dalam penatalaksanaannya. 2.6.2.2 Defek Kognitif Adalah sindrom mental organik ditemukan cukup sering pada pasien SLE, dengan insidensi bervariasi dari 21 persen samapai 80 persen yang ditandai oleh kombinasi simptom berikut ini: gangguan daya ingat jangka pendek ataupun jangka panjang, gangguan dalam mengambil keputusan, berpikir abstrak, agnosia, dan perubahan personaliti. Bila hal ini berhubungan dengan antibodi antifosfolipid, pemberian antikoagulan aspirin (asam asetolsalisilat) 80 mg/hari diberikan. Bila berhubungan dengan antibodi antineuronal, maka pemberian (prednisone 0,5 mg/kg untuk beberapa minggu) Latihan kognitif dan dukungan psikososial dapat efektif untuk pasien yang yang memiliki simptom yang menetap.
2.6.2.3 Ansietas Muncul kira-kira 50-70 % pada pasien SLE setelah diagnosis SLE ditegakkan, bebrapa pasien menunjukkan gejala ansietas, atau dapat juga disertai dengan depresi. Pasien dapat menjadi cemas akan konsekuensi yang akan dia hadapi dalam hidupnya, seperti ketidakmampuan , ketergantungan, kehilangan pekerjaan, isolasi sosial atau bahkan kematian. Ansietas dapat bermanifestasi sebagai palpitasi, diare, berkeringat, hiperventilasi, merasa pusing, susah dalam berbicara, mengingat atau berkata, ketakutan menjadi gila, atau sakit kepala. Keadaan ini dapat memburuk menjadi berkelakuan obsessif kompulsif, phobia, gangguan tidur, berkurangnya interaksi dan kontak sosial. Terapi untuk gejala axietas dapat menggunakan psikofarmakologi fluoksetin 1x10-20 mg/hari dan atau lorazepam 1-2 kali x 0,5-1 mg atau alprazolam 2x0,5 mg. intervensi psikososial terapi prilaku, terapi relaksasi, yoga dan dapat juga kombinasi keduanya. 2.6.2.4 Depresi Gejala psikologi yang juga banyak ditemukan pada pasien SLE adalah depresi. Gejala depresi ini biasanya mulai secara akut. Depresi ini merefleksikan reaksi pasien terhadap penyakit kronis dan keterbatasan gaya hidup yang harus dijalani. Terdapat hubungan yang dilaporkan antara depresi yang berat dengan antibodi antiribosomal P, tetapi tidak dengan antibodi lainnya. Peningkayan kadar antibodi antiribosomal P protein ditemukan pada 70 sampai 80 persen pasien ini. Kebanyakan pasien membaik dalam waktu satu tahun dengan bantuan keluarga, teman, dokter dan pofesi lainnya. Banyak pasien yang memasukkan depresi ke dalam personalitinya, akhirnya menimbulkan banyak keluhan psikosomatis, seperti insomnia, anoreksia, konstipasi, dan mialgia. Selanjutnya pasien juga dapat berkembang menjadi psikotik, seperti menjadi putus asa, hilang harapan, bahkan tindakan untuk bunuh diri, intervensi psikiatri perlu segera diberikan pada keadaan seperti ini. Terapi yang dapat diberikan adalah antidepresan dosis rendah, dengan dinaikkan apabila tidak ada perubahan yang signifikan setelah 2-3minggu. contoh anti depresan adalah fluoksetin 1x10-20 mg/hari atau sentralin 1x 25-50 mg/hari atau amitriptilin 1x12,5-50mg/hari atau imipramin 12x10-25mg/hari [8].
2.7 Diagnosis banding •
Rheumatoid Arthritis
•
Sindrom antifosfolipid antibody
•
Fibromyalgia
•
Skeloderma
•
Sindrom Sjogren
2.8 Pengelolaan SLE 2.8.1 Edukasi Edukasi kepada pasien merupakan hal yang tidak terpisah dari tatalaksana SLE. Seluruh pasien yang baru didiagnosis SLE atau baru menjalani pengobatan harus mendapat edukasi dari tenaga kesehatan. Edukasi juga sebaiknya melibatkan keluarga pasien. 2.8.1.1 Pola hidup sehat, Aktivitas fisik dan olahraga. Pada saat aktivitas penyakit lupus tinggi, pasien diminta beristirahat. Jika terdapat perbaikan, pasien SLE direkomendasikan untuk tetap beraktivitas. Aktivitas fisik dan olahraga dapat membantu mengurangi gejala kelelahan,gangguan tidur, dan risiko kardiovaskular pada pasien SLE. Jenis olahraga yang direkomendasikan antara lain berenang, berjalan kaki, bersepeda, dan aerobik. 2.8.1.2 Nutrisi Pasien SLE perlu diberi nutrisi optimal yang terdiri dari kalori, protein, lemak tidak jenuh, dan mikronutrien. Konsumsi nutrisi makanan yang optimal dan kaya akan zat gizi mencakup kacangkacangan, ikan, minyak ikan, minyak zaitun, buah-buahan, sayuran, dan biji-bijian kaya akan fitokimia, asam lemak omega-3, dan antioksidan.
2.8.2 Hal-hal yang harus dihindari 2.8.2.1 Aktivitas merokok dan paparan asap rokok dari orang lain 2.8.2.2 Paparan terhadap sinar matahari berlebih Pasien harus diedukasi menggunakan tabir surya (UV-A dan UV-B, SPF 130) setidaknya 15 menit sebelum beraktivitas di luar ruangan dan mengenakan pakaian yang dapat melindungi dari paparan sinar matahari 2.8.3 Pemantauan ke dokter Pemantauan pasien bergantung pada aktivitas penyakit. Pada pasien dengan penyakit aktif pemantauan dilakukan lebih sering, setidaknya setiap bulan. Pada pasien dengan aktivitas penyakit yang sudah terkendali, waktu pemantauan dapat diperpanjang sampai tiga bulan.
2.8 Prognosis Beberapa studi menyatakan bahwa SLE dengan keterlibatan SSP menunjukkan prognosis yang buruk dan meningkatkan resiko kerusakan sistem saraf atau kematian lebih awal. Dari observasi prospektif penderita SLE selama lebih dari 5 tahun memperlihatkan bahwa riwayat neuropsikiatrik berkaitan dengan outcome klinis yang jelek di mana sekitar 21-47% dari penderita NP-SLE memperlihatkan kejadian rekurensi atau munculnya onset baru sindroma NP-SLE dan 10% dari kematian SLE berkaitan dengan keterlibatan SSP.
DAFTAR PUSTAKA 1. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik. PAPDI [serial online]. 2011 [diunduh 15 Januari 2017];2011:3-41. Tersedia dari: PAPDI. 2. Aly SE, Mohammed FM, Abd-Almageed AS, Ahmed GH. Comparative study for pattern of social support among systemic lupus erythematous patients at out- patient clinics, Assiut University Hospital. Am J Nurs Res. 2018;6(6):500–6. 3. BaiR,LiuS,ZhaoY,ChengY,LiS,LaiA,dkk. Depressive and anxiety disorders in systemic lupus erythematosus patients without major neuropsychiatric manifestations. J Immunol Res. 2016;2016:1–7. 4. Borchers AT, Naguwa SM, Shoenfeld Y, Gershwin ME. The geoepidemiology of systemic lupus erythematosus. Autoimmun Rev. 2010;9:A277–87. 5. Tsokos GC. Lupus eritematosus sistemik. N Engl J Med. 2011;365(22):2110–21. 6. Unterman A, Nolte JE, Boaz M, Abady M, Shoenfeld Y, Zandman-Goddard G. Neuropsychiatric syndromes in systemic lupus erythematosus: a metaanalysis. Semin Arthritis Rheum. 2011;41:1–11. 7. Checa, C. M., Zirkzee, E., Huizinga, T., & Beekman, G. M. (2016). Management of NeuropsychiatricSystemic Lupus Erythematosus:Current Approaches and Future Perspectives. Department of Rheumatology, 460-483. 8. Wijaya LK. Diagnosis dan Tatalaksana Neuro-Psikiatri Sistemik Lupus Eritomatosus. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. 9. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2019, Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik.
DAFTAR PUSTAKA
[1] Wijaya LK. Diagnosis dan Tatalaksana Neuro-Psikiatri Sistemik Lupus Eritomatosus. Buku ajar ilmu penyakit dalam. Edisi ke-6. [2] Checa, C. M., Zirkzee, E., Huizinga, T., & Beekman, G. M. (2016). Management of NeuropsychiatricSystemic Lupus Erythematosus:Current Approaches and Future Perspectives. Department of Rheumatology, 460-483. [3] Perhimpunan reumatologi indoenesia,2019, Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus sistemik
[4] Dessy Nurlita, dkk,2019, Neuropskiatrik Sistemik Lupus Eritematosus. Vol. 9 No 2 [5] Rosani, S., Isbagio, H. 2014. Kapita Selekta Kedokteran : Lupus eritomatosus sistemik .Jakarta : Media Aesculapius. [6] Iqbal, K. M. (2014). Neuropsychiatric systemic lupus erythematosus. The Journal of Medical School, 122-127.