RESUME FIQIH JINAYAH

  • Uploaded by: andriyan dayu pratama
  • Size: 234.5 KB
  • Type: PDF
  • Words: 7,050
  • Pages: 30
Report this file Bookmark

* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.

The preview is currently being created... Please pause for a moment!

Description

RESUME FIQIH JINAYAH

Disusun Oleh :

Nama

: ANDRIYAN DAYU PRATAMA

NIM

: 160201113

Semester

: VI/C

Dosen Pengampu: Fitriyah, M.Ag.

JURUSAN MUAMALAH FAKULTAS SYARIAH UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM MATARAM 2019

KELOMPOK I FIQIH JINAYAH & JARIMAH A. PENGERTIAN JINAYAH Fikih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa (etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham. Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum- hukum syara’ praktis yang diambil dari dalil- dalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang diusahakan. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya. B. DASAR HUKUM JINAYAH/JARIMAH DALAM ISLAM Dalam islam dijelaskan berbagai norma/atura/rambu-rambu yang mesti ditaati oleh setiap mukalaf, hal itu telah termaktup dalam sumber fundamental Islam, termasuk juga mengenai perkara jarima atau tindak pidana dalam Islam, berikut kami akan memaparkan beberapa dalil tentang HPI dan kewajiban menaati hukum Allah SWT. “Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orangorang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (Al-Baqarah 179) “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhatihatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosadosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik”. (QS. Al-Maidah 49)

“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya”. (QS. An-Nisa’ 65). C. UNSUR JINAYAH 1. Unsur Formal Adanya nash, yang melarang perbuatan-perbuatan tertentu yang disertai ancaman hukuman atas perbuatan-perbuatan diatas.unsur ini dikenal dengan (al ruknu alsyar’i). 2. Unsur Moriel Adanya perbuatan yang membentuk jinayah, baik melakukan

perbuatan yang

dilarang atau meniggalkan perbuatan yang diharuskan. Unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-madi). 3. Unsur Material Pelaku kejahatan adalah orang yang dapat menerima khithab atau dapat memahami taklif..unsur ini dikenal dengan (al-ruknu al-adabi).

D. MACAM-MACAM JARIMAH Para ulama membagi jarimah berdasarkan aspek berat dan ringannya hukuman serta ditegaskan atau tidaknya oleh al-quran dal al-hadits, atas dasar ini mereka membagi menjadi tiga macam, yaitu : 1. Jarimah hudud, yang meliputi: Hudud, jamaknya “had”. Arti menurut bahasa ialah : menahan (menghukum). Menurut istilah hudud berarti: sanksi bagi orang yang melanggar hukum syara’ dengan cara didera/ dipukul (dijilid) atau dilempari dengan batu hingga mati (rajam). Sanksi

tersebut dapat pula berupa dipotong tangan lalu sebelah atau kedua-duanya atau kaki dan tangan keduanya, tergantung kepada kesalahan yang dilakukan. Hukum had ini merupakan hukuman yang maksimal bagi suatu pelanggaran tertentu bagi setiap hukum. Jarimah hudud ini dalam beberapa kasus di jelaskan dalam al-Qur’an surah An-Nur ayat 2, surah an-Nur: 4, surah al-Maidah ayat 33, surat al-Maidah ayat 38. a. Perzinaan b. Qadzaf (menuduh berbuat zina) c. Meminum minuman keras d. Pencurian e. Perampokan f. Pemberontakan g. Murtad 2. Jarimah qishas/diyat, yang meliputi : Hukum qisos adalah pembalasan yang setimpal (sama) atas pelanggaran yang bersifat pengerusakan badan.

Atau menghilangkan jiwa, seperti dalam firman

Allah SWT. Surah al-Maidah : 45, surah al-Baqarah : 178 Diat adalah denda yang wajib harus dikeluarkan baik berupa barang maupun uang oleh seseorang yang terkena hukum diad sebab membunuh atau melukai seseorang karena ada pengampunan, keringanan hukuman, dan hal lain. Pembunuhan yang terjadi bisa dikarenakan pembunuhan dengan

tidak

disengaja

atau

pembunuhan

dijelaskan dalam al-Quraan surah an-Nisa’ : 92. a. Pembunuhan sengaja. b. Pembunuhan semi sengaja.

karena

kesalahan (khoto’). Hal ini

c. Pembunuhan tersalah. d. Pelukan sengaja. e. Pelukan semi sengaja. 3. Jarimah Jarimah ta’zir Hukum ta’zir adalah hukuman atas pelanggaran yang tidak di tetapkan hukumannya dalam

al-Quran

dan

Hadist

yang

bentuknya

sebagai

hukuman

ringan.menurut hukum islam, pelaksanaan hukum ta’zir diserahkan sepenuhnya kepada hakim islam hukum ta’zir diperuntukkan bagi seseorang yang melakukan jinayah/ kejahatan yang tidak atau belum memenuhi syarat untuk dihukum had atau tidak memenuhi syarat membayar diyat sebagai hukum ringan untuk menebus dosanya akibat dari perbuatannya. ta’zir ini dibagi menjadi tiga bagian : a. Jarimah hudud atau qishah/diyat yang syubhat atau tidak memenuhi syarat, namun

sudah

merupakan

maksiat,

misalnya

percobaan

pencurian,

percobaan

pembunuhan, pencurian dikalangan keluarga, dan pencurian aliran listrik. b. Jarimah-jarimah yang ditentukan al-quran dan al-hadits, namun tidak ditentukan sanksinya, misalnya penghinaan, saksi palsu, tidak melaksanakan amanat dan menghina agama. c. Jarimah-jarimah yang ditentukan oleh ulul amri untuk kemashlahatan umum. Dalam hal ini, nilai ajaran islam di jadikan pertimbangan penentuan kemashlahatan umum. persyartan kemaslahatan ini secara terinci diuraikan dalm bidang studi Ushul Fiqh, misalnya, pelanggaran atas peraturan lalu-lintas. Sedangkan jarimah berdasarkan niat pelakunya dibagi menjadi menjadi dua, yaitu: 1. Jarimah yang disengaja (al-jarimah al-maqsudah). 2. Jarimah karena kesalahan (al-jarimah ghayr al-maqsudah/jarimah al-khatha’).

KELOMPOK II BENTUK – BENTUK JARIMAH A. Jarimah Qishash 1. Pengertian Jarimah Qishash Secara etimologis ‫ ﻗﺼﺎص‬dari kata Qashosho- Yaqushu- Qoshan yang berarti

‫( ﺗﺘﺒﻌﺘﻪ‬mengikuti), menelusuri jejak atau langkah (‫ )اﻷﺛﺮ ﺗﺘﺒﻊ‬seperti ‫اﻷﺛﺮ ﻗﺼﺼﺖ‬ berarti: “aku mengikuti jejaknya”. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: Artinya: Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Qs. Al-Kahfi: 64) Adapun arti Qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). Sementara itu dalam Al-Mu’jam Al-Wasit, Qishash diartikan dengan menjatuhkan sanki hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh. Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaya korban. 2. Dasar Hukum Qishash Allah berfirman Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (Diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih (Qs. Al-Baqarah: 178)

3. Macam-macam Qishash Dalam Fiqih Jinayah, sanksi Qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut : a) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan. b) Qishash karena melakukan jarimah penganiyaan. Maksud dari macam-macam Qishash adalah jenis-jenis dari kejahatan yang dihukum dengan cara Qishash. Syaikh ‘Abdul Qadir ‘Awdah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum Qishash, yaitu : a) Pembunuhan sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ اﻟﻘﺘﻞ‬ b) Pembunuhan seperti sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ ﺷﺒﻪ اﻟﻘﺘﻞ‬ c) Pembunuhan tersalah ( ‫)اﻟﺨﻄﺄ اﻟﻘﺘﻞ‬ d) Penganiyaan sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ اﻟﺠﺮح‬ e) Penganiyaan tersalah ‫)اﻟﺨﻄﺄ) اﻟﺠﺮح‬ Sanksi hukum Qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah yag artinya : Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (Qs. Al-Baqarah:178) Ayat ini berisi tentang hukuman Qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban tidak memaafkan pelaku, maka sanksi Qishash tidak berlaku dan beralih menjadi hukuman Diyat. Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanki Qishash. Segala sesuatunya harus diteliti secara mendalam mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis ketika melakukan jarimah pembunuhan ini. Ulama fiqih membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga katagori, yaitu sebagai berikut: a) Pembunuhan Sengaja b) Pembunuhan Semi Sengaja c) Pembunuhan Tersalah. Ketiga macam pembunuhan di atas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. Mengenal hal ini, Abdul Qadir Audah mengatakan, perbedaan pendapat yang mendasar bahwa Imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya di dalam Al-Quran hanya ada jenis pembunuhan

sengaja dan tersalah. Barang siapa menambah satu macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash. Dari tiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi hukuman Qishash hanya berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja. Nash yang mewajibkan hukuman Qishash ini tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an, tetapi juga hadis Nabi dan tindakan para sahabat. Pernyataan diatas mewajibkan hukuman Qishash terhadap pelaku jarimah pembunuhan secara sengaja. Adapun dua jenis pembunuhan lainnya, sanksi hukumannya berupa Diyat. Demikian juga pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban, sanksi hukumannya berupa Diyat. Adapun sebuah jarimah dikatagorikan sengaja, diantaranya dijelaskan oleh Abu Ya’la sebagai berikut. Jika pelaku sengaja membubuh jiwa dengan benda tajam, seperti besi, atau sesuatu yang dapat melukai daging, seperti melukainya dengan besi atau dengan benda keras yang biasanya dapat dipakai membunuh itu disebut sebagai pembunuhan sengaja yang pelakunya harus di Qishash. Selain itu, pendapat lain yang dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Awdah sebagai berikut : Jika pelaku tidak sengaja membunuh tetapi ia sekedar bermaksud menganiaya, maka tindakannya tidak termasuk pembunuhan sengaja, walaupun tindakannya itu mengakibatkan kematian korban. Dalam kondisi demikian, pembunuhan itu termasuk kedalam katagori pembunuhan sengaja sebagaimana dikemukakan oleh ulama fiqih. 4. Penerapan Hukuman Qishash Bagi pembunuhan sengaja (‫ )اﻟﻌﻤﺪ اﻟﻘﺘﻞ‬maka sanksinya ada 3 yaitu : a) Hukuman Pokok (al-‘uqubat al-ashliyah ) b) Hukuman Pengganti (al-‘uqubat al-badaliyah) c) Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al-thaba’iyah) Secara global pembunuh dengan sengaja wajib terkena 3 perkara : a) Dosa besar. b) Diqishash karena ada ayat Qishash. c) Terhalang menerima warisan karena ada hadis “orang yang membunuh tidak mendapat waris apapun”.

Hukuman pokok (uqubat ashliyah) untuk pembunuhan sengaja adalah Qishash. Qishash di sini adalah hukum bunuh. Ketika Mustahiq Al-qishash memaafkan dengan tanpa meminta Diyat, maka menurut mazhab Hanafi, Maliki, dan Syafi’i dalam sebuah pendapat, maka tidak wajib bagi pembunuh tadi membayar Diyat secara paksa. Hanya saja baginya ia boleh memberinya sebagai gantian dari pemaafan dari Mustahiq Al-qishâsh tadi. Secara hukum si Mustahiq Al-qishash berhak untuk memaafkan secara gratis tanpa ada tuntutan Diyat. Mustahiq Al-qishâsh juga berhak untuk memberi kemaafan dengan tuntutan Diyat, banyak dan sedikitnya sesuai dengan kesepakatan pembunuh. Diyat di sini dianggap sebagai gantian dari Qishash. Dalam hal ini, hakim tidak boleh menetapkan hukuman pokok dengan gantiannya secara bersamaan bagi sebuah pekerjaan. Dalam arti, ia tidak boleh diqishash dan sekaligus membayar Diyat. Sedangkan cara Qishash pula terjadi khilaf. Menurut Madzhab Hanafi, Qishash hanya boleh dilaksanakan menggunakan senjata seperti pedang. Maksudnya, hukuman Qishash dilaksanakan hanya dengan senjata, tidak dengan membalas seperti cara pembunuh tersebut membunuh atau lainnya. Hukum ini juga ditetapkan menurut sebuah riwayat yang paling shahih menurut Madzhab Hambali. Hukuman Pengganti (al-uqubat badaliyah) adalah membayar Diyat mughalladzah. Menurut Imam al-Syafi’i sebagai qaul jadîd Diyat tersebut adalah 100 unta bagi pembunuh lelaki yang merdeka. Jumlah 100 itu dibagi 3: 30 berupa unta hiqqah, 30 unta jadza’ah, dan 40 unta khalifah. Ketika tidak dapat ditemukan maka berpindah pada harga unta-unta tersebut. Sedangkan menurut qaul qadîm jika tidak ada maka boleh membayar 100 dinar atau 12000 dirham. Seumpama pembunuhnya perempuan merdeka maka ia adalah separuhnya Diyat lelaki; yaitu 50 unta. 15 berupa unta hiqqah, 15 unta jadza’ah, dan 20 unta khalifah. Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al-thaba’iyah) kejahatan pembunuhan adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat. Dalam hal waris ulama sepakat, sedangkan untuk wasiat masih terjadi perbedaan pendapat. Bagi Pembunuhan yang seperti sengaja (‫ )اﻟﻌﻤﺪ ﺷﺒﻪ اﻟﻘﺘﻞ‬maka sanksinya ada 3 yaitu : a) Hukuman Pokok (al-‘uqubat ashliyah) b) Hukuman Pengganti (al-‘uqubat badaliyah) c) Hukuman Tambahan (al-‘uqubat al Thaba’iyah).

Hukuman Pokok (al-‘uqubat ashliyah) bagi pembunuhan yang seperti sengaja adalah membayar Diyat mughalladzah. Diyat ini sama dengan membunuh dengan sengaja. Hanya saja bedanya berada pada penangung jawab dan waktu membayarnya. Hukuman pengganti (al-‘uqubat badaliyah) bagi pembunuhan seperti sengaja ini adalah ta’zir. dan hukuman tambahan (al-‘uqubat al-thaba’iyah) pembunuhan yang menyamai sengaja adalah terhalang untuk menerima waris dan wasiat seperti yang telah lewat.

KELOMPOK III UNSUR – UNSUR JARIMAH a. Unsur Formal (‫ )الركن الشرعي‬yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman. Dalam unsur ini terdapat lima masalah pokok : 

Asas legalitas dalam hukum pidana islam.



Sumber-sumber aturan-aturan pidana islam.



Masa berlakunya aturan-aturan pidana islam.



Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana islam.



Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan hukum pidana islam.

b.

Unsur Material (‫ )الركن المادي‬yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif) yang bersifat melawan hukum. Unsur materiil ini mencakup antara lain: 1) Jarimah yang belum selesai atau percobaan. 2) Turut serta melakukan jarimah.

c.

Unsur Moral (‫ )الركن االدبي‬yaitu bahwa pelaku adalah orang yang mukallaf, yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan. Pemahasan mengenai unsur pertanggungawaban ini berkisar dua masalah pokok : 1) Pertanggungjawaban pidana. 2) Hapusnya pertanggungjawaban pidana. Unsur-unsur diatas merupakan unsur-unsur yang bersifat umum. Artinya unsurunsur tersebut adalah unsur yang sama dan berlaku bagi setiap macam jarimah (tindak pidana/delik). Jadi pada jarimah apapun ketiga unsur tersebut harus terpenuhi. Untuk unsur yang secara khusus bisa dipelajari pada tiap masing-masing jarimah.

KELOMPOK IV HUKUMAN A. Pengertian dan tujuan hukuman 

Pengertian Hukuman

Hukuman dalam bahasa Arab disebut ‘uqubah’. Lafaz ‘uqubah’ menurut bahasa berasal dari ‘aqaba’ yang sinonimnya khalafahu wajaa’a bi’ aqabihi, yaitu mengiringya dan datang di belakanya. Dalam pengertian agak mirip dan mendekati pengertian istilah, barangkali lafaz tersebut bisa diambil dari lafaz ‘aqaba yang sinonimya jadzaa husawa ‘anbimaa fa’ala, yang artinya membalas sesuai dengan apa yang dilakukanya. Dari pengertian yang pertama dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karna ia mengiringi sesuatu perbuatan dan dilaksanakan sesudah perbuatan dilakukan. Sedangjkan dari pengertian yang kedua dapat dipahami bahwa sesuatu disebut hukuman karna ia merupakan balasan terhadap hukuman yang telah dilakukan. Menurut kamus besar bahasa indonesia (KBBI), hukuma berarti siksaan atau pembalasan kejahatan (kesalahan dosa. Sedangkan menurut Abdur Qadir Audah, hukuman adalah pembalsan yang ditetpakan untuk memelihara kepentingan masyarakat, karna ada pelanggarsn atas ketentuan-ketentuan syar’. Dari definisi tersebut dapatlah dipahami bahwa hukuman adalah salah satu tindakan yang diberikan oleh syara’ sebagai pembalasan atas perbautan yang melanggar ketentuan syara’ dengan tujuan untuk memelihara ketertiban dan kepentingan masyarakat, sekaligus juga melindungi kepentingan individu.



Tujuan hukuman

Segala sesuatu yang tercipta di dunia ini memiliki tujuan masing-masing. Begitu juga dengan hukuman, penjatuhan hukuman bagi ornag yang telah melakukan kejahtan memiliki tujuan tertentu. Esensi pemberian hukuman bagi pelaku pidana menurut islam adalah: a. Pembalasan Pelaku kejahatan akan mendapatkan balsan atasa perbuatan yang dilakukanya. Pada dasarnya, sudah menjadi sesuatu sepantasnya setiap perbuatan harus dibalas dengan perbuatan yang sepadan., baik yang dibalas dengan perbuatan baik dan kejahatan di balas dengan kejahatan pula, dan itu adalah sesuatu yang adil. b. Prevebtif (pencegahan), yang terdiri atasa preventif umum dan perventif khusus;  Preventif umum Hukuman itu pada hakikatnya adlah obat yang digunakan untuk menyembuhkan penyakit yang diderita si pelaku kejahatan agar masyarakat terhindar dari penyebaranya, atau dengan kata lain hukuman bertujuan untuk pencegahan yang ditunjukkan kepada khalayak ramai (semua orang),agar tidak melakukan pelanggaran terhadap kepentingan umum. Tujuan ini dimaksudkan agar pelaku menjadi jera dan takut. Oeh karena itu, pelaksanaan dilakukan di hadapan umum agar berdampak sugestif pada orang lain.  Prevetif khusus Preventif khusus merupakan upaya pencegahan bagi pelaku. Apabila sesorang melakukan tindak pidana, dia akan menerima balasan sesuai dengan perbuatanya. Dengan balasan tersebut, pelaku diharapkan menjadi jera karena balasan yang ia terima, sehingga ia tidak akan mengulangi perbuatan yang sama di masa yang akan datang.

KELOMPOK V JARIMAH ZINA DAN QADZAF A. Pengertian Jarimah Zina Menurut bahasa kata jarimah berasal dari kata "jarama" kemudian menjadi bentuk masdar "jaramatan" yang artinya: perbuatan dosa, perbuatan salah atau kejahatan. Pelakunya dinamakan dengan "jarim", dan yang dikenai perbuatan itu adalah "mujaram 'alaihi". Menurut istilah para fuqaha', yang dinamakan jarimah adalah : "Segala larangan syara' (melakukan hal-hal yang dilarang dan atau meninggalkan hal-hal yang diwajibkan) yang diancam dengan hukuman had atau ta'zir". Pengertian jarimah juga sama dengan peristiwa pidana, atau sama dengan tindak pidana atau delik dalam hukum positif. Hanya bedanya hukum positif membedakan antara kejahatan dan pelanggaran mengingat berat ringannya hukuman, sedangkan syari'at Islam tidak membedakannya, semuanya disebut jarimah atau jinayat mengingat sifat pidananya. Zina secara harfiah berarti fahisyah, yaitu perbuatan keji. Zina dalam pengertian istilah adalah hubungan kelamin antara seorang lelaki dengan seorang perempuan yang satu sama lain tidak terikat dalam hubungan perkawinan. Para fuqaha (ahli hukum islam) mengartikan zina, yaitu melakukan hubungan seksual dalam atri memasukkan zakar (klamin peria) kedalam vagina wanita yang dinyatakan haram, bukan karena syubhat, dan atas dasar syahwat. Zina didalam pandangan Hukum Islam memandang setiap hubungan kelamin diluar nikah sebagai zina dan mengancamnya dengan hukuman, baik pelaku sudah kawin maupun belum, dilakukan dengan suka sama suka atau tidak. Abdul Qadir Audah berpendapat bahwa zina ialah hubungan badan yang diharamkan dan disengaja oleh pelakunya. Mengenai kajian jarimah zina ini, Muhammad Al-Khatib AlSyarbini mengatakan, zina termasuk dosa-dosa besar yang paling keji, tidak satu agamapun

yang menghalalkannya. Oleh sebab itu sanksinya juga sangat berat, karena mengancam kehormatan dan hubngan nasab. Ada dua jenis jarimah zina, yaitu zina muhsan dan ghairu muhsan. Zina muhsan ialah zina yang pelakunya berstatus suami, istri, duda, atau janda. Artinya pelaku adalah orang yang masih dalam status pernik ahan atau pernah menikah secara sah. Adapun zina Ghairu Muhsan ialah zina yang pelakunya masih berstatus perjaka atau gadis. Artinya pelaku belum pernah menikah secara sah dan tidak sedang berada dalam ikatan pernikahan. Terhadap kedua jenis jarimah zina di atas, syariat Islam memberlakukan dua sanksi yang berlainan. Sanksi bagi pelaku zina muhsan adalah hukuman dicambuk sebanyak seratus kali dan dirajam, yaitu pelaku dilempari batu hingga meninggal. Adapun sanksi bagi pelaku zina ghairu muhsan dicambuk sebanyak seratus kali, dan pengasingan selama satu tahun. B. Pengertian Qadzaf Qadzaf dalam arti bahsa adalah “ Arromyu bil hijaaroti wanahwihaa” artinya melempar dengan batu dan lainnya. Jadi dapat diartikan bahwa Qadzf ialah menuduh orang lain berzina. Misalnya seseorang mengatakan, “Wahai orang yang berzina,” atau lain sebagainya yang dari pernyataan tersebut difaham bahwa seseorang telah menuduh orang lain berzina. Hukuman Untuk Jarimah Qadzaf Hukuman untuk jarimah qadzaf ada dua macam, yaitu sebagai berikut. Hukuman Pokok, yaitu jilid atau dera sebanyak-banyaknya delapan puluh kali. Hukuman ini adalah merupakan hukuman had yang telah ditentukan oleh syara’, sehingga ulil amri tidak mempunyai hak untuk memberikan pengampunan.

KELOMPOK VI JARIMAH MINUMAN KERAS A. Pengertian Para ulama berbeda pendapat mengenai pengertian Asy-Syurbu (meminum).menurut Imam malik,Imam Malik,imam Syafi’I,dan Imam Ahmad,sebagaimana dikutip oleh abdul Qadir Audah bhawa pegertian Asy-syurbu (meminum) adalah sebagai berikut. ….Pengertian minum ini adalah…minum minuman yang memabukan baik minuman tersebut dinamakan khmr maupun bukan khamr,berasal dari person anggur maupun berasal dari bahan bahan yang lain. Sedangkan pngertian Asy-syurbu menurut imam abu khanifah adalah sebagai berikut. ….Meminum mnurut abu hanfah adalah meminum minuman khmar baik yang diminum itu banyak maupun sedikit B. Pembuktian Untuk Jarimah Syurbu Khamr Pembuktan untuk jarimah minuman khamr dapat dilakukan dengan tiga cara sebagai berikut: 1. Dengan Saksi Jumalahh minimal saksi yag diperlukan untuk pembuktian jarimah minum khamr adalah dua orang yang memenui syarat-syarat persaksian,sebagaimana yang telah diuraikan dalam jarimah jina dan kadjaf.disamping itu,imam abu khanifah dan imam abu yusuf mensyaratkan masih terdafatnya bau minuman pada waktu yang dilaksakannya persaksian dengan demikian,kedua imam ini mengaitkan persaksian dengan bau minuman keras (khamr).akan tetapi,imam Muhammad ibnu hasan tidak mensyaratkan hal ini. Syarat lain yang dikemukakan oleh imam abu khanifah dan murid-muridnya adalah persaksian atau peristiwa minum khamr itu belum kadaluwarsa.batas kadarluwarsa abu khanifah dan imam abu yusuf adalah hilangnya bau minuman.adapun m enurut imamimam yang lain,tidak ada kekdaluwarsaan dalam persaksian untuk membuktikan jarimah minum khmar itu. 2. Dengan pengakuan Jarimah minuman khamr dapat dibutikan dengan adanya pengakuan pelaku.pengakuan ini cukup satu kali dan tidak perku diulang-ulang sampai emapat kali.ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk pengakuan dalam jarimah jina.juga berlaku untuk jarimah minuman khamr ini.imam abu khanifah dan imam abu yusuf menyaratkan pengakuan tersebut belum kadaluwarsa.akan tetapi,imam imam yang lain tidak menyaratkannya. 3. Dengan Qarinah

Jarimah minuman khamr juga bisa dibuktikan dengan qarinah bisa dibuktikan dengan qarinah atau tanda qarinah tersebut adalah antara lain sebagai berikut a. Bau minuman Imam malik berpendapat bahwa bau minum keras dari mulut orang yang meminum merupakan suatu bukti dilakukannya perbuatan minum kharm, meskipun tidak ada saksi. Akan tetapi Imam Abu Hanifah, Imam Abu Hanifah, Imam Syafi’I, dan pendapat yang rajah dari Imam ahmad berpendapat bau minuman semata-mata tidak bisa dijadikan sebagai alat bukti, karena mungkin saja ia sebenarnya tidak minum, melainkan hanya berkumur-kumur, atau ia menyangka apa yang diminumnya itu adalah air bukan khamr. b. Mabuk Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa mabuknya seseorang sudah merupakan bukti bahwa ia melakukan perbuatan meminum khamr. Apabila dua orang atau lebih menemukan seseorang dalam keadaan mabuk dan dari mulutnya keluar bau minuman keras maka orang yang mabuk itu harus dikenai hukuman had, yaitu dera empat puluh kali. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik. Akan tetapi, Imam Syafi’I dan salah satu pendapat Imam Ahmad tidak menganggap mabuk semata-mata sebagai alat bukti tanpa ditunjang dengan bukti yang lain. Sebabnya adalah adanya kemungkinan minumnya itu dipaksa atau karena kesalahan. c. Muntah Imam Malik berpendapat bahwa muntah merupakan alat bukti yang lebih kuat daripada sekadar bau minuman, karena pelaku tidak akan muntah kecuali setelah meminum minuman keras. Akan tetapi Imam Abu Halifah, Imam Syaf’I, dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya tidak menganggap muntah sebagai alat bukti, kecuali apabila ditunjang dengan bukti-bukti yang lain, misalnya terdapatnya bau minuman keras dalam muntahnya.

KELOMPOK VII JARIMAH PERAMPOKAN & PENCURIAN A. JARIMAH SARIQAH (PENCURIAN) 1. Pengertian Sariqah (pencurian) Sariqah adalah bentuk mashdar dari kata ‫سرقا‬-‫يسرق‬-‫ سرق‬dan secara etimologis berarti ‫ اخذملةخفيةوحيلة‬mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya. Sementara itu, secara terminologis definisi sariqah dikemukakan oleh beberapa ahli berikut.

a. Ali bin Muhammad Al-Jurjani Sariqah dalam syariat Islam yang pelakunya harus diberi hukuman potong tangan adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku, disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga dan dilakukan oleh seorang mukhallaf secara sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur syubhat, sehingga kalau barang itu kurang dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dapat dikategorikan sebagai pencurian yang pelakunya diancam hukuman potong tangan. b. Muhammad Al-Khatib Al-Syarbini (ulama mazhab Syafi’i) Sariqah secara bahasa berarti mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan secara istilah syara’ adalah mengambil harta (orang lain) secara sembunyi-sembunyi dan zalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat. Kesimpulan dari beberapa pendapat diatas bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut. Pencurian dalam syariat Islam ada dua macam, yaitu sebagai berikut 1) Pencurian yang hukumnya had, terbagi menjadi dua : a. Pencurian ringan Pencurian ringan menurut rumusan yang dikemukakan oleh Abdul Qadir Audah ialah : ‫فاماالسرقةالصغرىفهي اخذمال الغيرخفية اي على سبيل االستخفاء‬ Pencurian ringan adalah mengambil harta milik orang lain dengan cara diam-diam, yaitu dengan jalan sembunyi-sembunyi. b. Pencurian berat ‫اماالسرقةالكبرىفهى اخذمال الغير على سبيل المغا لبة‬ Pencurian berat ialah mengambil harta milik orang lain dengan cara kekerasan. 2. Unsur-unsur pencurian a. Pengambilan secara diam-diam

Pengambilan secara diam-diam terjadi apabila pemilik (korban) tidak mengetahui terjadinya pengambilan barang tersebut dan ia tidak merelaknnya. Contohnya seperti mengambil barang-barang milik orang lain dari dalam rumahnya pada malam hari ketika pemilik sedang tidur. Namun, apabila pengambilan itu atas sepengetahuan pemiliknya dan terjadi tanpa kekerasan maka perbuatan tersebut bukan pencurian melainkan perampasan (ikhtilas). b. Barang yang diambil berupa harta Salah satu unsur yang penting untuk dikenakannya hukuman potong tangan adalah bahwa barang yang dicuri itu harus barang yang bernilai mal (harta). Apabila barang yang dicuri itu bukan mal (harta), seperti hamba sahaya, atau anak kecil yang belum tamyiz maka pencuri tidak dikenai hukuman had. Akan tetapi, Imam Malik dan Zhahiriyah berpendapat bahwa anak kecil yang belum tamyiz bisa menjadi objek pencurian, walaupun bukan hamba sahaya, dan pelakunya bisa dikenai hukuman had. c. Harta tersebut milik orang lain Terwujudnya tindak pidana pencurian yang pelakunya dapat dikenai hukuman had, disyaratkan barang yang dicuri itu merupakan hak milik orang lain. d. Adanya niat yang melawan hukum Unsur keempat dari pencurian yang dikenai hukuman had adalah niat yang melawan hukum. Unsur ini terpenuhi apabila pelaku pencurian mengambil suatu barang padahal ia tahu bahwa barang tersebut bukan miliknya, dan karena haram untuk diambil. 3. Pembuktian untuk tindak pidana pencurian a. Dengan saksi Saksi yang diperlukan untuk membuktikan tindak pidana pencurian, minimal

dua

orang

laki-laki

atau

seorang

laki-laki

dan

dua

orang

perempuan.Apabila saksi kurang dari dua orang maka pencuri tidak dikenai hukuman. b. Dengan pengakuan

Pengakuan merupakan salah satu alat bukti untuk tindak pidana pencurian. Menurut Zahiriyah, pengakuan cukup dinyatakan satu kali dan tidak perlu diulang-ulang. Demikian pula, pendapat Imam Malik, Imam Abu Hanifah, dan Imam Syafi’I. Akan tetapi, Imam Abu Yusuf, Imam Ahmad, dan Syi’ah Zaidiyah berpendapat bahwa pengakuan harus dinyatakan sebanyak dua kali. c. Dengan sumpah Syafi’iyah berpendapat bahwa pencurian bisa dibuktikan dengan sumpah yang dikembalikan. Apabila dalam suatu peristiwa pencurian tidak ada saksi dan tersangka tidak mengakui perbuatannya maka korban (milik barang) dapat meminta kepada tersangka untuk bersumpah bahwa ia tidak melakukan pencurian. 4. Hukuman untuk tindak pidana pencurian a. Penggantian kerugian (Dhaman) Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya mengatakan bahwa penggantian kerugian dikenakan terhadap pencuri apabila ia tidak dikenai hukuman potong tangan. Akan tetapi, apabila hukuman potong tangan dilaksanakan maka pencuri tidak dikenakan penggantian kerugian. b. Hukuman potong tangan Hukuman potong tangan merupakan hukuman pokok untuk tindak pidana pencurian. Ketentuan ini didasarkan kepada firman Allah dalam surah Al-Ma’idah ayat 38 : ‫والسارق والسارقةفاقطعواايديهماجزاء بماكسبانكاالمن هللا وهللا عزيزحكيم‬ Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya, sebagai pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Hukum potong tangan merupakan hak Allah yang tidak bisa digugurkan, baik oleh korban maupun ulil amri, kecuali menurut Syi’ah Zaidiyah. Menurut mereka, hukum potong tangan bisa gugur apabila dimaafkan oleh korban (pemilik barang). Mengenai batas yang menyebabkan dijatuhkannya hokum potong tangan, terjadi perbedaan diantara ulama. Hal tersebut disebabkan keumuman ayat 83 surah Al-Ma’idah.Diantara ulama ada yang meniadakan nishab pencurian, artinya

sedikit apalagi banyak, sama-sama dihukum potong tangan.Adapun Jumhur fuqaha mensyaratkan adanya nishab (batas tertentu) sehingga seorang pencuri dapat dikenai hukum potong tangan. Imam Syafi’i dan Imam Maliki mengatakan seperempat dinar, sedangkan Imam Abu Hanifah mengatakan sepuluh dirham atau satu dinar. Imam Asy-Syafi’i, Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Ahmad, dan Imam Abu Daud Azh-Zhahiri sepakat bahwa batas tangan yang dipotong adalah dari pergelangan tangan ke bawah. Mengenai status barang yang dicuri, sebagian ulama, seperti Imam Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad, mengatakan bahwa barang yang dicuri harus dikembalikan seandainya masih ada dan menggantinya kalau telah hilang walaupun pelakunya telah mengalami hukuman.Adapun Imam Abu Hanifah mengatakan sanksi hudud yang telah dijatuhkan tidak harus diikuti dengan ganti rugi barang yang hilang. 5. Hal-hal yang menggugurkan hukuman a. Karena orang yang barangnya dicuri tidak mempercayai pengakuan pencuri atau tidak mempercayai para saksi. Ini menurut Imam Abu Hanifah, tetapi menurut ulama lain tidak demikian; b. Karena adanya pengampunan dari pihak korban, tetapi pendapat ini hanya dikemukakan oleh Syi’ah Zaidiyah; c. Karena pencurian tersebut menarik kembali pengakuannya. Ini berlaku apabila pembuktiannya hanya dengan pengakuan; d. Karena pencurian tersebut berusaha memiliki barang yang dicuri, sebelum adanya keputusan pengadilan; e. Karena pencurian tersebut mengaku bahwa barang yang dicurinya adalah miliknya. B. JARIMAH HIRABAH (PERAMPOKAN) 1. Pengertian Hirabah (perampokan) Hirabah adalah bentuk mashdar dari kata ‫ حرابة‬- ‫ حارب – يحارب – محاربة‬yang secara etimologis berarti ‫ قاتله‬memerangi atau dalam kalimat ‫ حارب هللا‬berarti seseorang bermaksiat kepada Allah. Sehingga hirabah ialah tindak kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah, untuk menguasai harta orang lain atau membunuh korban untuk menakut-

nakuti. Adapun menakut-nakuti dalam bahasa Arab, Al-Syarbini menyebutkan dengan ir’ab dan Al-Ramli menyebutkan dengan irhab. Keduanya berarti menakutnakuti. Dalam hal ini, pelaku menakut-nakuti korban dengan gertakan, ancaman, kecaman, dan kekerasan. 2. Pelaku Hirabah dan Syarat-Syaratnya Hirabah atau perampokan dapat dilakukan baik oleh kelompok, maupun perorangan (individu) yang mempunyai kemampuan untuk melakukannya. Untuk menunjukkan kemampuan ini, Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad mensyaratkan bahwa pelaku tersebut harus memiliki dan menggunakan senjata atau alat lain yang disamakan dengan senjata seperti tongkat, kayu, atau batu. Menurut Hanafiyah, pelaku hirabah adalah setiap orang yang melakukan secara langsung atau tidak langsung perbuatan tersebut. Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang dianggap sebagai pelaku perampokan adalah orang yang secara langsung melakukan perampokan. Sedangkan orang yang tidak ikut terjun melakukan perbuatan, walaupun ia hadir ditempat kejadian, tidak dianggap sebagai pelaku perampokan, melainkan hanya sebagai pembantu yang diancam dengan hukuman ta’zir. Untuk dapat dikenakan hukuman had, pelaku hirabah disyaratkan harus mukalaf yaitu balig dan berakal. Persyaratan lain yang menyangkut jarimah hirabah ini adalah persyaratan tentang harta yang diambil. Pada prinsipnya persyaratan untuk harta dalam jarimah hirabah, sama dengan persyaratan yang berlaku dalam jarimah pencurian.Secara global syarat tersebut adalah barang yang diambil harus tersimpan (muhraz), mutaqawwim, milik orang lain, tidak ada subhat, dan memenuhi nishab. 3. Unsur-unsur Hirabah dan Hukumnya Unsur-unsur hirabah yang utama adalah dilakukan di jalan umum atau di luar pemukiman korban, dilakukan secara terang-terangan , serta adanya unsur kekerasan atau ancaman kekerasan. Hukuman jarimah ini di sebutkan dalam surah Al-Ma’idah ayat 33 terdiri atas empat macam hukuman sanksi hirabah yang empat macam itu tidak seluruhnya dijatuhkan kepada muhrib (julukan bagi pembuat hirabah) namun hukuman tersebut merupakan hukuman alternatef yang dijatuhkan sesuai dengan macam jarimah yang dilakukan.Keempat macam hukuman yang berkaitan dengan

jarimah hirabah atau tindak pidana perampokan ini. Keempat bentuk hukuman tersebut ialah hukuman mati, hukuman mati dan di salib, pemotongan kaki secara bersilang, dan pengasingan ke luar wilayah.

4. Jenis-jenis hirabah dan penerapan hukumnya a. Hukuman mati dan salib Hukuman mati dan salib dijatuhkan bagi pelaku pembunuhan dan pencurian yang dilakukan pada saat bersamaan.Dalam kasus seperti ini, ada dua bentuk jarimah yang dilakukan, yaitu membunuh dengan sengaja dan dengan sengaja pula dia mengambil hartanya.Pembunuhan dengan sengaja diancam dengan hukuman mati, namun karena pembunuhan tersebut berkaitan dengan keinginan untuk mendapatkan harta, maka hukuman baginya tidak sekedar hokum mati.Dalam hokum positif, perbuatan yang mirip dengan jarimah hirabah ini diancam dengan hukuman mati atau penjara paling lama dua puluh tahun (pasal 365 ayat 4). b. Hukuman mati Hukuman mati ini hanya dijatuhkan bagi pelaku gangguan keamanan yang membunuh korban tanpa disertai dengan pengambilan harta korban. c. Hukuman potong tangan dan kaki bersilang Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku kejahatan perampokan yang dilakukan dijalan umum.Dalam hal ini, si pelaku hanya mengambil harta tanpa berusaha membunuh korban. Dalam hukum positif pasal 362 KUH Pidana menyebutkan : Barang siapa yang mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum, diancam karena pencuria, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah. Hukuman penjara paling lama lima tahun yang diancam bagi pelaku pencurian tersebut dalam pasal 362 KUH Pidana dilipat gandakan sampai lima

belas

tahun

apabila

perbuatan

tersebut

mengakibatkan

kematian

atau

mengakibatkan luka berat (pasal 365 ayat 3). Bahkan hukuman penjara itu dapat bertambah lagi menjadi lebih lama sehingga mencapai dua puluh tahun apabila perbuatan tersebut dilakukan secara kelompok, seperti yang tertera pada pasal 365 ayat 4.

d. Hukuman pengasingan Hukuman ini dijatuhkan bagi pelaku hirabah yang sengaja membuat onar dijalan umum atau tempat keramaian umum, menakut-nakuti, mengacaukan situsi sehingga membuat suasana menjadi kacau. 5. Pembuktian untuk jarimah hirabah a. Pembuktian dengan saksi Saksi untuk jarimah hirabah minimal dua orang saksi laki-laki yang memenuhi syarat-syarat persaksian, yang rinciannya sudah diuraikan. Saksi tersebut bisa diambil dari para korban, dan bisa juga dari orang-orang yang ikut terlibat dalam tindak pidana perampokan tersebut. Apabila saksi laki-laki tidak ada maka bisa juga digunakan seorang saksi laki-laki dan dua orang perempuan, atau empat orang saksi perempuan. b. Pembuktian dengan pengakuan Pengakuan seorang pelaku perampokan daoat digunakan sebagai alat bukti. Persyaratan untuk pengakuan ini sama dengan persyaratan pengakuan dalam tindak pidana pencurian. Jumhur Ulama menyatakan pengakuan itu cukup satu kali saja, tanpa diulang-ulang. Akan tetapi menurut Hanabilah dan Imam Abu Yusuf, pengakuan itu harus dinyatakan minimal dua kali. 6. Hal-hal yang menggugurkan hukuman had a. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai pengakuan pelaku perampokan atas perbuatan perampokannya; b. Para pelaku perampokan mencabut kembali pengakuaannya; c. Orang-orang yang menjadi korban perampokan tidak mempercayai para saksi;

d. Pelaku perampokan berupaya memiliki barang yang dirampoknya secara sah sebelum perkaranya dibawa ke pengadilan. Pendapat ini dikemukakan kebanyakan ulama Hanafiyah. Sedangkan menurut ulama-ulama yang lain, upaya tersebut tidak dapat mengubah status hukuman pelaku, sehingga ia tidak harus dikenakan hukuman had; e. Karena tobatnya pelaku perampokan sebelum mereka ditangkap oleh penguasa.

KELOMPOK VIII PEMBERONTAKAN A. Pengertian Al-Baghyu Baghyu yang berasal dari akar kata bagha secara arti kata berarti “menuntut sesuatu”. Dalam penggunaan sehari- hari berbahasa dan demikian juga dalam al-Quran terdapat beberapa kali kata tersebut ditemukan dengan arti yang disebutkan di atas. Hubungan arti kata ini dengan pemberontakan karena pemberontakan itu mengandung maksud menuntut sesuatu dengan cara tertentu kepada sasaran tertentu. Dalam Bahasa Nusantara disebut makar atau pemberontakan. Secara terminologi terdapat perbedaan rumusan di kalangan ulama yang perbedaan tersebut terletak pada kríteria tindakan yang dinamakan baghyu itu. Al-baghyu yang pelakunya disebut al-baghiy yang jamaknya albughat di kalangan ulama Syafiyah diartikan dengan: “Sekelompok orang Islam yang menggunakan ideologi tertentu, terorganisir di bawah pimpinan yang dipatuhi, dengan menggunakan kekuatan melawan Imam (penguasa yang sah) dengan cara keluar dari kekuasaannya dan meninggalkan kepatuhan kepadanya atau menolak memberikan hakhaknya”. Definisi yang lebih sederhana, namun mengandung unsur- unsur pokok dalam suatu definisi dan dapat diterima semua pihak adalah: "Perlawanan terhadap imam (penguasa) yang sah dengan menggunakan kekuatan”. B. Dasar Hukum Al-Baghyu Dasar hukum yang menjadi acuan sanksi hukum bughah dalam Aiquran di antaranya Surah Al-Hujuraat ayat 9 dan Surah Al-Maidah ayat 33 sebagai berikut:

ْ ‫طٓائِفَ ٰت ِن ِمنَ ْال ُم ْؤ ِمنِ ْينَ ا ْقتَتَلُوْ ا فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَهُ َما ۚ فَاِ ۢ ْن بَغ‬ َ ‫َواِ ْن‬ ‫َت اِحْ ٰدٮهُ َما َعلَى ااْل ُ ْخ‘ ٰرى فَقَ‘‘اتِلُوا الَّتِ ْي تَ ْب ِغ ْي َح ٰتّى‬ ۤ ْ ‫تَفِ ْٓي َء اِ ٰلى اَ ْم ِر هّٰللا ِ ۚ فَاِ ْن فَٓا َء‬ َ‫ت فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَهُ َما بِ ْال َع ْد ِل َواَ ْق ِسطُوْ ا ۗ اِ َّن هّٰللا َ ي ُِحبُّ ْال ُم ْق ِس ِط ْين‬

“Dan apabila ada dua golongan orang mukmin berperang, maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah satu dari keduanya berbuat zalim terhadap (golongan) yang lain, maka perangilah (golongan) yang berbuat zalim itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah. Jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah), maka damaikanlah antara keduanya dengan adil, dan berlakulah adil. Sungguh, Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil.

KELOMPOK IX JARIMAH PEMBUNUHAN QISHAS, DAN DIAT A. Jarimah Qishash a. Pengertian Jarimah Qishash Secara etimologis ‫ ﻗﺼﺎص‬dari kata Qashosho- Yaqushu- Qoshan yang berarti

‫( ﺗﺘﺒﻌﺘﻪ‬mengikuti), menelusuri jejak atau langkah (‫ )اﻷﺛﺮ ﺗﺘﺒﻊ‬seperti ‫اﻷﺛﺮ ﻗﺼﺼﺖ‬ berarti: “aku mengikuti jejaknya”. Hal ini sebagaimana firman Allah yang artinya: Artinya: Musa berkata: "Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti jejak mereka semula. (Qs. Al-Kahfi: 64) Adapun arti Qishash secara terminologi yang dikemukakan oleh Al- Jurnani adalah yang mengenakan sebuah tindakan (sanki hukum) kepada pelaku persis seperti tindakan yang dilakukan oleh pelaku tersebut (terhadap korban). Sementara itu dalam Al-Mu’jam Al-Wasit, Qishash diartikan dengan menjatuhkan sanki hukum kepada pelaku tindak pidana sama persis dengan tindak pidana yang dilakukan, nyawa dengan nyawa dan anggota tubuh dibalas dengan anggota tubuh. Dengan demikian, nyawa pelaku pembunuhan dapat dihilangkan karena ia pernah menghilangkan nyawa korban atau pelaku penganiyaan boleh dianiaya karena ia pernah menganiaya korban. B. Dasar Hukum Qishash Allah berfirman yang artinya:

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (Diyat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih (Qs. Al-Baqarah: 178)

C. Macam-macam Qishash Dalam Fiqih Jinayah, sanksi Qishash ada dua macam, yaitu sebagai berikut : c) Qishash karena melakukan jarimah pembunuhan. d) Qishash karena melakukan jarimah penganiyaan. Maksud dari macam-macam Qishash adalah jenis-jenis dari kejahatan yang dihukum dengan cara Qishash. Syaikh ‘Abdul Qadir ‘Awdah menjelaskan secara global ada 5 jenis kejahatan yang masuk di dalam akibat hukum Qishash, yaitu : f) Pembunuhan sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ اﻟﻘﺘﻞ‬ g) Pembunuhan seperti sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ ﺷﺒﻪ اﻟﻘﺘﻞ‬ h) Pembunuhan tersalah ( ‫)اﻟﺨﻄﺄ اﻟﻘﺘﻞ‬ i) Penganiyaan sengaja (‫)اﻟﻌﻤﺪ اﻟﺠﺮح‬ j) Penganiyaan tersalah ‫)اﻟﺨﻄﺄ) اﻟﺠﺮح‬ Sanksi hukum Qishash yang diberlakukan terhadap pelaku pembunuhan sengaja (terencana) terdapat dalam firman Allah yang artinya :

Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh….” (Qs. Al-Baqarah:178) Ayat ini berisi tentang hukuman Qishash bagi pembunuh yang melakukan kejahatannya secara sengaja dan pihak keluarga korban tidak memaafkan pelaku. Kalau keluarga korban tidak memaafkan pelaku, maka sanksi Qishash tidak

berlaku dan beralih menjadi hukuman Diyat. Dengan demikian, tidak setiap pelaku tindak pidana pembunuhan pasti diancam sanki Qishash. Segala sesuatunya harus diteliti secara mendalam mengenai motivasi, cara, faktor pendorong, dan teknis ketika melakukan jarimah pembunuhan ini. Ulama fiqih membedakan jarimah pembunuhan menjadi tiga katagori, yaitu sebagai berikut: d) Pembunuhan Sengaja e) Pembunuhan Semi Sengaja f) Pembunuhan Tersalah.

Ketiga macam pembunuhan di atas disepakati oleh jumhur ulama, kecuali Imam Malik. Mengenal hal ini, Abdul Qadir Audah mengatakan, perbedaan pendapat yang mendasar bahwa Imam Malik tidak mengenal jenis pembunuhan semi sengaja, karena menurutnya di dalam Al-Quran hanya ada jenis pembunuhan sengaja dan tersalah. Barang siapa menambah satu macam lagi, berarti ia menambah ketentuan nash. Dari tiga jenis tindak pidana pembunuhan tersebut, sanksi hukuman Qishash hanya berlaku pada pembunuhan jenis pertama, yaitu jenis pembunuhan sengaja. Nash yang mewajibkan hukuman Qishash ini tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an, tetapi juga hadis Nabi dan tindakan para sahabat. Pernyataan diatas mewajibkan hukuman Qishash terhadap pelaku jarimah pembunuhan secara sengaja. Adapun dua jenis pembunuhan lainnya, sanksi hukumannya berupa Diyat. Demikian juga pembunuhan sengaja yang dimaafkan oleh pihak keluarga korban, sanksi hukumannya berupa Diyat. Adapun sebuah jarimah dikatagorikan sengaja, diantaranya dijelaskan oleh Abu Ya’la sebagai berikut. Jika pelaku sengaja membubuh jiwa dengan benda tajam, seperti besi, atau sesuatu yang dapat melukai daging, seperti melukainya dengan besi atau dengan benda keras yang biasanya dapat dipakai membunuh itu disebut sebagai pembunuhan sengaja yang pelakunya harus di Qishash. Selain itu, pendapat lain yang dikemukakan oleh Abdul Qadir ‘Awdah sebagai berikut : Jika pelaku tidak sengaja membunuh tetapi ia sekedar bermaksud menganiaya, maka tindakannya tidak termasuk pembunuhan sengaja, walaupun tindakannya itu mengakibatkan kematian korban. Dalam kondisi demikian, pembunuhan itu termasuk kedalam katagori pembunuhan sengaja sebagaimana dikemukakan oleh ulama fiqih

KELOMPOK X JARIMAH TA’ZIR DAN PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA A. Jarimah Ta’zir 1. Pengertian Jarimah Ta’zir Ta’zir secara etimologis berarti menilah atau mencegah. Dalam dunia pesantren, istilah ta’zir diartikan sebagai suatu pelajaran atu pendidikan dalam bentuk hukuman tetentu terhadap santru yang karena suatu sebab, misalnya kesiangan shalat subuh atau tidak ikut mengaji tanpa ada alasan yang benar. Pengertian secara terminologis, yang dikehendaki dalam konteks Fiqih Jinayah seperti yang artinya ”Ta’zir adalah bentuk hukuman yangtidak disebutkan ketentuan kadar hukumannya oleh syara’ dan menjadi kekuasaan waliyyul amri atau hakim”. Sebagian ulama mengartikan ta’zir sebagai hukuman yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap hak Allah dan hak hamba yang tidak ditentukan Al-Qur’an Hadis ta’zir berfungsi memberikan pelajaran keapada si terhukum dan sekaligus mencegahnya untuk tidak megulangi perbuatan serupa. Sebagian lain mengaakan sebagai sebuah hukuman terhadap perbuatan maksiat yang tidak dihukum dengan hukuman had atau kifarat. Ada beberapa definisi ta’zir dari kalangan ulama seperti : a. Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam Al-Sultaniyyah. ta’zir adalah pengajaran terhadap pelaku dosa-dosa yang tidak diatur oleh hudud. Status hukumnya berbbeda-beda sesuai dengan keadaan dosa dan pelakunya. Ta’zir sama dengan hudud dan satu sisi, yaitu sebagai pengajaran untuk menciptakan kesejahteraan dan nutk melaksankan ancaman yang jenisnya berbeda-beda sesuai dengan dosa yang dikerjakan. b. Abdullah bin Abdul Muhsin Al-Thariqi dalam Jarimah Al-Risywah fi Al-Syari’ah AlIslamiyyah Ta’zir ialah sanksi hukum yang wajib diberlakukan sebagai hak Allah atau hak manusia kaerena melakukankemaksiatan yang tidak ada sansi dan kafaratnya. c. Abdul Qadir Audah dalam Tasyri’ Al-Jina’i Al-islami Muqaranan bi Al-Qanun AlWad’i. Ta’zir ialah pengajaran yang tidak diatur oleh hudud dan merupakan jenis sanksi yang diberlakukan karena melakukan beberapa tindak pidana yang oleh syariat tidak ditentukan dengan sebuah sanksi hukuman tertentu. Dari uraian diatas, dapat di simpulkan bahwa ta’zir ta ialah sanksi yang diberlakukan kepada pelaku jarimah yang melakukan pelanggaran-baik berkaitan dengan hak Allah

maupun hak manusia dan tidak termasuk dalam kategori hukuman hudud atau kifarat. Karena ta’zir tidak ditentukan secara langsung oleh Al-Qur’an dan Hadis, maka ini menjadi kompetensi penguasa setempat. Dalam memutuskan jenis dan ukuran sanksi ta’zir, harus tetap memperhatikan petunjuk nash secara teliti karena menyangkut kemashlahatan umum. Jarimah ta’zir dibagi kepada tiga bagian : a. ta’zir karena melakukan perbuatan maksiat. b. ta’zir karena melakukan perbuatan yang membahayakan kepentingan umum. c. ta’zir karena melakukan pelanggaran (mukhalafah). Disamping dilihat dari segi hak yang dilanggarnya, jarimah ta’zir dapat dibagi kepada dua bagian, yaitu : a. jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah. Adapun yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak Allah adalah semua perbuatan yang berkaitan dengan kepentingan dan kemaslahatan umum.misalnya membuat kerusakan di muka bumi, pencurian yang tidak memenuhi syarat, penimbunan bahan-bahan pokok, penyelundupan, dan lain-lain. b. Jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan (individu). Sedangkan yang dimaksud dengan jarimah ta’zir yang menyinggung hak perorangan adalah setiap perbuatan yang mengakibatkan kerugian kepada orang tertentu, bukan orang banyak. Contohnya seperti penghinaan, penipuan, pemukulan, dan lain-lain. 2.

Dasar Hukum disyariatkannya Ta’zir Terdapat beberapa hadis Nabi Saw, dan tindakan sahabat. Hadis-hadis tersebut antara lain sebagai berikut : 2. Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Bahz ibn Hakim

3.

Yang artinya “dari Bahz ibn Hakim dari ayahnya dari kakeknya, bahwa nabi saw, menahan seseorang karena disangka melakukan kejahatan.(Hadis diriwayatkan oleh Abu Dawud, Turmudzi, Nasa’I, dan Baihaqi, serta disahihkan oleh Hakim). Hadis yang diriwayatkan oleh Abi Burdah

4.

Yang artinya ” dari Abi Birdah Al-Anshari ra. Bahwa ia mendengar Rasulullah saw. Bersabda : tidak boleh dijilid di atas sepuluh cambuk kecuali did ala hukuman yang telah ditentukan oleh Allah ta’ala. (Muttafaq alaih). Hadis Nabi yang diriwayatkan oleh Aisyah Yang artinya “dari Aisyah ra. Bahwa nabi saw. Bersabda : “Ringankanlah hukuman bagi orangorang yang tidak pernah melakukan kejahatan atas perbuatan mereka, kecuali dalam jarimah-jarimah hudud. (diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Dawud, Nasa’I dan Baihaqi)

Secara umum ketiga hadis tersebut menjelaskan tentang eksistensi ta’zir dalam syariat islam. hadis pertama menjelaskan tentang tindakan Nabi yang menahan seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dengan tujuan untuk memudahkan penyelidikan. Hadis kedua menjelaskan tentang batas hukuman ta’zir yang tidak boleh lebih dari sepuluh kali cambukan, untuk membedakan dengan jarimah hudud. Dengan batas hukuman ini dapatlah diketahui mana yang termasuk jarimah hudud dan mana yang termasuk jarimah ta’zir. Menurut Al-Kahlani, para ulama sepakat bahwa yang termasuk jarimah hudud adalah zina, pencurian, minum khamr, hirabah, qadzaf, murtad dan pembunuhan. Selain dari jarimahjarimah tersebut, termasuk jarimah ta’zir, meskipun ada beberapa jarimah yang diperselisihkan oleh para fuqaha, seperti liwath (homoseksual), lesbian, dan lain-lain. Sedangkan hadis antara satu pelaku dengan pelaku lainya, tergantung kepada status mereka dan kondisi-kondisi lain yang menyertainya.

Similar documents

RESUME FIQIH JINAYAH

andriyan dayu pratama - 234.5 KB

RESUME JURNAL

smpn4 timpeh - 95.5 KB

Naresh Resume

GEEKAY HR-UNIT 3 - 139.1 KB

Resume jurnal

Saibah Herniati - 97.2 KB

RESUME JURNAL

Yati Nurul Hashfi - 84.9 KB

Resume Jurnal

Vina M - 109.5 KB

Resume Nurul Afni

D3KEPERAWATAN POLTEKKES - 1.6 MB

Resume Jurnal Nasional

Bima Tegar - 481.9 KB

01 Final Resume

ABBY LIEW MAY XING - 865.1 KB

Resume jurnal penyakit

fransisca - 4.7 MB

© 2024 VDOCS.RO. Our members: VDOCS.TIPS [GLOBAL] | VDOCS.CZ [CZ] | VDOCS.MX [ES] | VDOCS.PL [PL] | VDOCS.RO [RO]