Jurnal Repository Vol. 2 No. 1 (2019)
Jurnal Repository jurnal.manajemen.upb.ac.id
PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI KEUANGAN SYARIAH DALAM PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN BAITUL MAAL WA TAMWIL DI PONTIANAK RENNY WULANDARI
[email protected] Fakultas Ekonomi Universitas Panca Bhakti Abstrak
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana penerapan PSAK pada laporan keuangan yang ada di Baitul Maal wa Tamwil di Kota Pontianak. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Data yang digunakan adalah laporan keuangan yang dibuat oleh Baitul Maal wa Tamwil. Hasil penelitian Baitul Maal wa Tamwil belum spenuhnya menerapkan PSAk Syariah, hal ini dikarenakan BMT belum mampu menyusun dan menyajikan laporan keuangan syariah sesuai dengan PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah secara menyeluruh. Penyebab terjadinya belum diterapkannya laporan keuangan tersebut dikarenakan sumber daya manusia yang masih terbatas. Kata Kunci: Baitul Maal wa Tamwil, PSAK 101 1.1. Pendahuluan Perkembangan praktik Lembaga Keuangan Syariah (LKS) baik di level nasional maupun internasional telah memberikan gambaran bahwa Sistem Ekonomi Islam mampu beradaptasi dengan perekonomian konvensional yang telah berabad-abad menguasai kehidupan masyarakat dunia dan juga terjadi di Indonesia. Perkembangan Ekonomi Islam di Indonesia juga demikian cepat, khususnya perbankan, asuransi dan pasar modal. Jika pada tahun 1990 an jumlah kantor layanan perbankan Syariah masih belasan maka menjelang tahun 2019 telah terdapat 478 bank umum Syariah (BUS), dan 153 Unit Usaha Syariah (UUS) Lembaga keuangan Syariah lain seperti obligasi Syariah, pasar modal Syariah, reksadana Syariah, pegadaian Syariah, Lembaga keuangan mikro Syariah seperti BMT (Baitul Maal wa Tamwil), Badan Amil Zakat (BAZ), Lembaga Amil Zakat (LAZ), dan Badan Waqaf juga turut mewarnai perkembangan praktik Lembaga keuangan Syariah di Indonesia. Muhammd (2010) menjelaskan hampir semua Lembaga keuangan tersebut membutuhkan informasi keuangan dalam menjalankan usahanya untuk pengambilan keputusan serta membandingkan kinerja satu Lembaga keuangan Syariah dengan Lembaga keuangan Syariah yang lain. Informasi keuangan diperoleh dari suatu proses akuntansi yang berdasarkan standar tertentu dan prosedur-prosedur baku yang diatur secara baik agar proses Akuntansi tersebut menghasilkan informasi keuangan yang valid dan dapat diandalkan. Sampai saat ini, baru Perbankan Syariah saja memiliki standar Akuntansi maupun Pedoman Akuntansi yang cukup lengkap dan baik Muhammad (2010). LKS lain yang mulai menerapkan standar akuntansi keuangan adalah Asuransi Syariah dengan PSAK 108 yang diterapkan mulai tahun 2010 dan kemunculan akuntansi Syariah di Indonesia ditandai dengan masuknya Bank Muamalat Indonesia (BMI) pada tahun 1991 sampai dengan peristiwa dilahirkannya pernyataan standar akuntansi Syariah (PSAKS) terakhir yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) pada tahun 2016 dan telah mengalami perkembangan yang cepat dalam mengadopsi setiap perubahan dalam lingkungan bisnis Syariah yang dihadapi masyarakat Indonesia. Hadi (2018) menyatakan bahwa teori akuntansi Syariah merupakan teori akuntansi yang ditujukan untuk mempertanggungjawabkan perbuatan manusia dalam bidang pengelolaan harta yang diamanahkan terhadapnya kepada pihak yang memberi tanggung jawab dalam cara yang sesuai dan mematuhi Syariah Allah SWT. Syariah Allah SWT terdiri atas aturan-aturan yang meliputi aspek
akidah, hukum amaliah, dan akhlak. Akuntansi Syariah dengan demikian harus pula mengandung ketiga unsur tersebut. Aspek akidah menjadikan akuntansi Syariah harus mengandung tauhid kepada Allah SWT. Aspek hukum amaliah menjadikan akuntansi Syariah dilandasi oleh pemahaman untuk menjadikan perilaku berakuntansi memiliki nilai hak dan kewajiban, sanksi dan pahala yang ditafsirkan dari ‘urf syaari’di dalam Alquran dan as sunnah. Akuntansi Syariah dengan demikian harus mendorong perilaku yang bertauhid dan dijalankan atas dasar hukum amaliah yang diwakili oleh Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) yang berada di bawah Majelis Ulama Indonesia (MUI). Hukum amaliah ini dilaksanakan untuk mewujudkan maqashid Syariah. Perilaku seperti ini adalah sesuai Syariah yaitu aspek akhlak. Perilaku berakuntansi dengan demikian memiliki aspek akhlak. Pembuatan laporan keuangan tersebut harus dilakukan dengan akhlak Syariah yang sebelumnya telah diuraikan yang kemudian prinsip-prinsipnya dikodifikasikan dalam sebuah standar akuntansi Syariah. Standar akuntansi Syariah kemudian menjadi prinsip dalam perilaku berakuntansi. Perilaku berakuntansi dengan demikian berkembang sesuai dengan pengolahan akal manusia dan ketika menetap dalam jiwa dan diterima oleh watak yang baik maka praktik tersebut dipandang sebagai praktik akuntansi Syariah secara akhlak untuk kemudian disahkan menjadi hukum amaliah. Akuntansi Syariah dengan demikian adalah akuntansi yang syar’i yang menjaga Syariah Allah SWT dan menyebarkan pengaplikasian Syariah dalam akuntansi. Dengan adanya akuntansi keuangan yang terstandar dengan mengacu pada PSAKS bertujuan menyediakan, melalui laporan keuangan, informasi yang berguna bagi para pengguna laporan keuangan, dan memungkinkan mereka untuk membuat keputusan yang berdasar berkaitan dengan aktivitas yang berhubungan dengan perbankan Syariah (Muhammad, 2010). Di dalam perkembangan Lembaga keuangan Syariah yang tidak terlepas dari PSAK Syariah salah satu yang paling kecil adalah Koperasi Jasa Keuangan Syariah yaitu Baitul Maal Wa Tamwil. Baitul Maal Wa Tamwil di Indonesia dikenal masyarakat sebagai sebuah Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Tidak salah kalau kemudian masyarakat Indonesia lebih mengenal BMT sebagai Bank Mikro Syariah yang beroperasi di sekitar lingkungan masyarakat seperti di pasar-pasar, Kawasan pedesaan, pinggiran kota, atau bahkan ada yang berkantor di sebuah masjid (Muhammad, 2010). Azis dan Amin dalam Muhammad (2010) menjelaskan bahwa Baitul Maal Wa Tamwil memiliki dua fungsi yaitu 1) sebagai yang menerima titipan dana zakat, infaq, dan shodaqoh serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya; 2) melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan ekonomi pengusaha dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonominya. Dalam prakteknya fungsi Baitul Maal yang diamanahkan dalam penjelasan belum berfungsi dengan baik karena masih berkonsentrasi untuk mengembangkan Baitut Tamwil. Hal ini dimaklumi mengingat dalam menjalankan kedua fungsi tersebut tidaklah mudah. Dari keberadaan BMT di Indonesia, Pontianak juga memiliki Baitul Maal Wa Tamwil sebanyak 22 BMT. Berikut nama-nama BMT yang ada di Kota Pontianak: Tabel 1.1. Baitul Maal wa Tamwil Pontianak No 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Nama Baitul Maal Wa Tamwil KSU BMT Ikhwanul Mukminin KSU BMT Khatulistiwa KSU BMT Darul Falah KSU BMT Al-Hikmah KSU BMT Khairunisa KSU BMT Mitra Sejahtera KSU BMT Basmallah KSU BMT Madinah KSU BMT Al-Asyraf Madani KSU BMT Aisyiyah Syariah AtTaqwa
11 KSU BMT Baiturrahman Sumber: Dinas Koperasi 2019
No 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.
22
Nama Baitul Maal Wa Tamwil KSU BMT Bina Insani KSU BMT Insan Cita KSU BMT Syariah STAIN KSU BMT Amanah KSU BMT Al-Ikhlas KSU BMT Al-Falah KSU BMT Nurul Jannah Koperasi BMT Bina Potensi Ummat KSU BMT Al-Mudarris KJKS Komunitas Usaha MIkro Muamalat Berbasis Syariah BMT AlAmin KSU BMT Al-Jihad
Dari nama-nama Baitul Maal wa Tamwil diatas juga masih banyak Baitul Maal wa Tamwil kecil yang menginduk di mesjid-mesjid. Baitul Maal wa Tamwil tersebut kebanyakan diduga belum menggunakan PSAK Syariah didalam membuat pelaporan keuangannya, hal ini dikarenakan: 1. Ketidaktahuan karena kurangnya informasi maupun pelatihan 2. Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki 3. Latar belakang ilmu yang dimiliki oleh sumber daya manusianya tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya. 4. Persepsi bahwa laporan keuangan yang dibutuhkan bersifat sederhana. Karena belum terlaksananya laporan keuangan yang terstandar dengan baik membuat Baitul Maal wa Tamwil menghadapi kendala dalam melakukan operasionalnya yaitu 1) kesulitan dalam mengajukan pinjaman untuk tambahan modal kerja kepada pihak lain; 2) tidak dapat menyerahkan Laporan keuangan sesuai kebutuhan pihak eksternal biasanya RAT karena Baitul Maal wa Tamwil berbadan hukum koperasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Ibrahim dan Handayani (2011), ada yang harus disempurnakan atau yang dilakukan Baitul Maal dalam penyajian laporan posisi keuangan yakni : 1. Laporan dibuat hanya untuk kepentingan pihak intern khususnya untuk kepentingan sendiri oleh bendaharawan Baitul Maal dan belum digunakan oleh pihak luar (eksternal) karena belum ada persetujuan pembuatan oleh pimpinan Baitul Maal Provinsi NAD dan belum dilaporkan kepada pihak yang terkait yaitu pemerintah daerah sehingga laporan posisi keuangan pada Baitul Maal belum konsisten untuk digunakan. 2. Informasi pembatasan permanen (hibah atau wakaf), pembatasan temporer (sumbangan berupa aktivitas operasi tertentu), pembatasan tidak terikat (pendapatan dari jasa dan sumbangan) tidak disajikan. 3. Pengklasifikasian (penegasan) aktiva ke dalam aktiva lancar dan aktiva tetap. Berdasarkan hal tersebut diatas, maka informasi laporan posisi keuangan pada Baitul Maal belum didapatkan secara lengkap. Dalam Mawarid (2014) menemukan bahwa KJKS Kalbar Madani Pontianak telah melaksanakan kebijakan tentang penyaluran pembiayaan mudharabah sesuai dengan SAK 105, namun untuk penyusunan laporan keuangan secara keseluruhan masih memiliki kekurangan. Hal ini karena didalam laporan keuangannya hanya neraca yang telah sesuai dengan pedoman penyusunan laporan keuangan KJKS. Hasil penelitian, Latifah dkk, (2016) menemukan bahwa perlakuan Akuntansi Pembiayaan Mudharabah yang diterapkan oleh KJKS BMT Bina Ummat Sejahtera dapat dikatakan sesuai dengan PSAK 105, kesesuaian tersebut terdapat pada pengakuan, pengukuran, dan penyajian, tetapi dalam pengungkapan akuntansi belum sesuai karena tidak adanya pengungkapan penyisihan kerugian, dan pengakuan keuntungan masih dihitung dengan hasil proyeksi akibat kendala anggota pembiayaan yang tidak mampu menyajikan pembukuan kepada pihak pemilik dana. Siebel (2008) hasil penelitiannya mengemukakan bahwa koperasi merupakan ancaman bagi anggota koperasi, jika tidak dikelola dengan syariat Islam maka tabungan para anggota koperasi terancam hilang. Ada dua cara untuk mempromosikan keuangan mikro Syariah yaitu 1) membantu bank komersial Islam untuk mempromosikan produk keuangan mikro Syariah, 2) menilai kembali proses tantangan partisipasi dan peluang realistis dari bank dan koperasi pedesaan Islam dengan fokus pada pengendalian internal yang efektif, pengawasan eksternal, dan pembentukan asosiasi dengan layanan puncak kepada anggota koperasi. Saat ini Indonesia menjadi negara dengan jumlah industri keuangan syariah terbanyak di dunia. antara lain, terdapat 5000 institusi lembaga keuangan syariah, meliputi 34 perbankan syariah, 58 operator Takaful/Asuransi syariah, 7 perusahaan modal ventura syariah, 163 BPR syariah, 4500 BMT dan 1 institusi pegadaian syariah. Upaya pengembangan perbankan syariah di Indonesia didukung secara intensif oleh tiga lembaga, yaitu BI, Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN_MUI), dan Komite Akuntansi Syariah-Ikatan akuntan Indonesia (KAS-IAI). Bank syariah sering bekerja sama dengan BMT dalam menyalurkan pembiayaan kepada masyarakat. kerjasama ini dilakukan mengingat BMT memiliki kemampuan akses kepada masyarakat berpenghasilan rendah yang memerlukan pembiayaan dalam skala kecil atau mikro. Tidak hanya bank syariah, tahun 2018 Menteri Koperasi dan UKM meminta Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) KUMKM ingin segera merealisasikan akad kredit dana bergulir bagi BMT diseluruh Indonesia.Hal ini
dipandang perlu karena BMT sudah terukur dan jelas, selain itu juga aman karena sudah ada lembaga penjamin. Salah satu piranti yang sangat diperlukan dalam mendukung kegiatan BMT dalam mempertanggungjawabkan pengelolaan dana yang di terima baik itu dari bank syariah ataupun dari LPDB KUMKM adalah akuntansi. Akuntansi yang dapat memberikan sumbangan dalam pertanggungjawaban dan penyediaan informasi yang terkait dengan operasional yang dijalankan oleh BMT dan selalu berjalan dalam rangka meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Dimana secara fungsional akuntansi merupakan sarana pertanggungjawaban dan media informasi sehingga akuntansi menjadi hal yang sangat penting keberadaannya dalam sebuah institusi keuangan. Adapun produk dari akuntansi adalah laporan keuangan, berdasarkan paragraf 30 KDPPLKS dinyatakan bahwa tujuan laporan keuangan adalah menyediakan informasi yang menyangkut posisi keuangan, kinerja, perubahan posisi keuangan suatu entitas syariah yang bermanfaat bagi sejumlah besar pemakai dalam pengambilan keputusan ekonomi. Laporan keuangan yang di sajikan oleh Baitul Maal wa Tamwil sebagai bentuk pertanggungjawaban yaitu terdiri dari Neraca, Laporan laba/rugi/ laporan arus kas, laporan SHU, laporan perubahan investasi, laporan zakat, laporan dana Qard, dan catatan atas laporan keuangan. Di Tangerang Selatan, komposisi penyediaan laporan keuangan syariah dari 8 laporan keuangan syariah menurut PSAK No. 101 dari 17 BMT diantaranya Neraca (82,4%), laporan laba/rugi (76,5%), laporan arus kas (70,6%), Laporan SHU (64,7%), laporan sumber dan penggunaan dana zakat serta dana sosial (58,8%), catatan atas laporan keuangan (64,7%), sedangkan laporan sumber dan penggunaan dana dalam Qard (47,1%), laporan perubahan dalam investasi (17,6%) baru sebagian kecil BMT di Tangerang Selatan yang menyediakan dua laporan tersebut. Berdasarkan latar belakang di atas sehingga peneliti ingin mengkaji bagaimana implementasi penyajian laporan keuangan untuk kebutuhan pihak internal dan eksternal pada Baitul Maal wa Tamwil yang ada di Kota Pontianak. 1.2. Rumusan Masalahan Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana penyajian laporan keuangan pada BMT Kota Pontianak. 2. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi penyajian laporan keuangan pada BMT Kota Pontianak. 1.3. Tujuan Penelitian 2. Untuk menganalisis penyajian laporan keuangan pada BMT Kota Pontianak 3. Untuk menganalisis faktor – faktor yang mempengaruhi penyajian laporan keuangan pada BMT Kota Pontianak.
BAB II KAJIAN PUSTAKA 1.1. Konsep Baitul Maal Wa Tamwil Baitul Maal Wa Tamwil di Indonesia mulai dikenal masyarakat sebagai sebuah Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Tidak salah kalau kemudian masyarakat Indonesia lebih mengenal “BMT” sebagai Bank Mikro Syariah yang beroperasi di sekitar lingkungan masyarakat seperti di pasar-pasar, Kawasan pedesaan, pinggiran kota atau bahkan ada yang berkantor di sebuah masjid. Rifqi, 2008 tidak bermaksud untuk menyatakan hal tersebut salah, namun sebenarnya Baitul Maal Wa Tamwil itu adalah konsep Industri Perbankan Syariah yang menekankan adanya konsentrasi usaha perbankan yang tidak hanya mengelola unit bisnis saja, namun juga mengelola unit sosial yang memiliki fungsi intermediary unit antara pihak yang kelebihan dana dan pihak yang kekurangan dana. Aziz dan Amin (2004:1) dalam Muhammad (2010) menjelaskan tentang konsepsi Baitul Maal Wa Tamwil sebagai Lembaga keuangan yang didirikan dengan landasan ekonomi yang salaam; keselamatan (berintikan keadilan), kedamaian, dan kesejahteraan. Lebih lanjut Aziz dan Amin (2004:1)
dalam Muhammad (2010) menjelaskan bahwa Baitul Maal Wa Tamwil memiliki dua fungsi, yaitu:Baitul Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) yaitu menerima titipan dana zakat, infaq, dan shodaqoh serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan dan amanahnya. Baitut Tamwil (Bait = Rumah, at-Tamwil = Pengembangan Harta) yaitu melakukan kegiatan pengembangan usaha-usaha produkti dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi pengusaha dengan mendorong kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan ekonominya. Dalam menjalankan usahanya, Baitut Tamwil menggunakan akad-akad (perjanjian) transaksi bisnis yang berbasis Syariah seperti model jual beli (Murabahah, Salam, dan Istishna), bagi hasil (Mudharabah dan Musyarakah), maupun sewa (Ijarah). 1.2. Konsep Operasional Baitut Tamwil Pada bagian pembukaan Standar Akuntansi Keuangan yang dikeluarkan oleh AAOIFI dijelaskan bahwa fungsi dari Perbankan Syariah adalah sebagai manajer investasi, investor, dan penyedia jasa layanan perbankan lainnya. dalam kegiatan operasionalnya pun tidak lepas dari upaya untuk melaksanakan penghimpunan dana, pengelolaan dana, dan penyaluran dana ke sektor-sektor investasi yang menguntungkan melalui produk-produk pembiayaan. Di Indonesia, kegiatan Baitut Tamwil ini bisa dijalankan oleh Industri Perbankan Syariah maupun Lembaga Keuangan Mikro Syariah. Kedua jenis Lembaga keuangan ini pada prinsipnya memiliki kesamaan konsep operasional, perbedaannya terletak pada badan hukum serta konsekuensi yang mengikutinya sebagai badan hukum. Lembaga Keuangan Mikro Syariah merupakan Lembaga keuangan yang kegiatan operasionalnya berdasarkan prinsip Syariah namun bukan bank. Di masyarakat lebih dikenal sebagai BMT atau Koperasi Syariah. BMT yang berkembang di Indonesia ada yang berbentuk koperasi, namun ada juga yang berbentuk Yayasan. Saat ini yang lebih banyak berkembang adalah BMT dengan badan hukum koperasi karena Kementerian Koperasi dan UKM Nomor: 91/Kep/M.UKM/IX/2004 tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah. Dengan adanya SK tersebut, koperasi yang ingin menjalankan kegiatan operasional dengan prinsip Syariah bisa memilih bentuk badan hukumnya apakah berbentuk koperasi Simpan Pinjam berdasarkan prinsip Syariah dengan bentuk Koperasi Jasa Keuangan Syariah (KJKS) atau Koperasi Serba Usaha yang membuka Unit Jasa Keuangan Syariah (UJKS). 1.3. Penyajian Laporan Keuangan Syariah PSAK 101 PSAK 101 tentang penyajian Laporan Keuangan Syariah ini memiliki motivasi untuk mengatur tujuan umum laporan keuangan untuk entitas Syariah seperti yang termuat pada paragraf 1. Pernyataan ini bertujuan untuk mengatur penyajian dan pengungkapan laporan keuangan untuk tujuan umum (general purpose financial statements) untuk entitas Syariah yang selanjutnya disebut “laporan keuangan”, agar dapat dibandingkan baik dengan laporan keuangan entitas Syariah periode sebelumnya maupun dengan laporan keuangan entitas Syariah lain. Pengakuan,pengukuran, penyajian, dan pengungkapan transaksi dan peristiwa tertentu diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) terkait. Berkaitan dengan paragraf 1, ruang lingkup penerapan PSAK Syariah ini juga termuat pada paragraph 2 dan 3 yang menyatakan: 2. Pernyataan ini diterapkan dalam penyajian laporan keuangan entitas Syariah untuk tujuan umum yang disusun dan disajikan sesuai dengan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan. 3. Entitas Syariah yang dimaksud di PSAK ini adalah entitas yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip-prinsip Syariah yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya. Berbeda dengan PSAK 59 yang secara konkret menjelaskan ruang lingkup penerapan PSAK 59 secara tegas yaitu diterapkan pada Bank Umum Syariah, Unit Usaha Syariah dan Bank Perkreditan Rakyat
Syariah. Kedua paragraph di atas telah berhasil melakukan generalisasi laporan keuangan Syariah yang diterapkan pada entitas yang melaksanakan kegiatan usaha menurut prinsip Syariah sesuai dengan yang dinyatakan dalam anggaran dasarnya . sehingga memang tidak semua entitas baik Syariah maupun konvensional perlu menyatakan dengan jelas dalam anggaran dasarnya tentang transaksi-transaksi apa yang dilakukan dengan dasar akad-akad Syariah sehingga perlakuan akuntansi dan penyusutan laporan keuangan perlu disesuaikan dengan PSAK Syariah ini. Mencermati lebih lanjut, PSAK 01 ini memuat adanya solusi bagi entitas nirlaba, seperti telah diutarakan pada bagian KDPPLKS, memang PSAK 101 lebih sesuai bagi entitas Syariah komersial. Hal ini ditegaskan pada paragraph 6: Pernyataan ini menggunakan terminology yang cocok bagi entitas Syariah yang berorientasi profit, termasuk entitas bisnis sektor publik. Entitas nirlaba Syariah, entitas sektor publik, pemerintah dan entitas Syariah lainnya yang akan menerapkan standar ini mungkin perlu melakukan penyesuaian-penyesuaian terhadap deskripsi beberapa pos yang terdapat dalam laporan keuangan dan istilah laporan keuangan itu sendiri serta dapat pula menyajikan komponen-komponen tambahan dalam laporan keuangannya. Seharusnya, PSAK Syariah ini juga mengatur secara konkret ruang lingkup berlakunya PSAK Syariah ini agar pemakai laporan keuangan serta entitas Syariah yang dimaksud tidak mengalami kebingungan. PSAK Syariah ini seolah-olah sangat umum sekali penerapannya sehingga dikhawatirkan entitas Syariah kesulitan menerapkan ketentuan PSAK Syariah ini. 2.4. Konsep Dasar Teoritis Akuntansi Syariah Berbasis Shari’ate Enterprise Theory Mulawarman (2011), berdasarkan penjelasan konse dasar akuntansi konvensional dapat ditarik kesimpulan bahwa ternyata enterprise theory masih dibayangi oleh agency theory dan politisasi akuntansi. Watts (1992,8) bahkan menegaskan laporan keuangan perusahaan secara empiris sangat dipengaruhi oleh kepentingan pasar dan politik. Realitas harus selalu beradaptasi dengan lingkungannya, tidak tetap (tetapi relatif), sebagai hasil interaksi antara keinginan dan egoism individu (self-interest) yang rasional. Interaksi tersebut merupakan bentuk hubungan agensi di dalam market processi maupun political process. Singkatnya bangunan teori dan realitas akuntansi di atas menurut watts (1992) memiliki tiga substansi, yaitu self-interest, power and politics, serta relativity. Tiga substansi tersebut mirip dengan apa yang biasa disebut sekularisasi. Sekularisasi menurut Al-attas (1993,17) didefinisikan sebagai pembebasan akal dan Bahasa manusia dari kendali religi dan berlanjut pada kendali metafisika. Sekularisasi seperti itu menurutnya merupakan hilangnya dunia dari pemahaman religi dan kuasi religi itu sendiri, hilangnya semua yang berkenaan pandangan dunia yang khas, menghancurkan semua mitor supernatural dan suci. Penghancuran nilai-nilai tersebut berlaku di seluruh kehidupan sosial, politik maupun budaya, serta aspek kehidupan kemanusiaan. 2.5. Tujuan AKuntansi Syariah Pembebasan dan pencerahan menurut Habermas (Held1980, 249-259) adalah melakukan pertalian antara teori dan praxis. Memahami praxis emansipatoris sebagai dialog-dialog dan tindakantindakan komunikatif yang menghasilkan pencerahan. Habermas menempuh jalan consensus dengan sasaran terciptanya hubungan-hubungan sosial dalam lingkup komunikasi bebas penguasaan. Pembebasan dan pencerahan disini mempertemukan dua dimensi praxis menuju pencerahan dan perubahan pemahaman mempertautkan materialitas sesuatu dengan komunikasi untuk membentuk makna baru. Emansipasi disini adalah melakukan redefinisi makna dan ekstensi makna baru dengan nilai-nilai etis, batin dan spiritual. Ekstensi emansipasi dilakukan dengan cara penyucian batin dan spiritual. Dalam tradisi Islam penyucian biasanya disebut Tazkiyah. 2.6. Menuju Shari’ate Enterprise Theory Enterprise Theory sepenuhnya sesuai nilai-nilai Islam dan tujuan Syariah. Oleh karena itu Enterprise Theory menurut Triyuwono (2004) perlu dilakukan modifikasi, sehingga sejalan dengan nilai-nilai Syariah, dengan mendasarkan pada nilai-nilai keadilan, kejujuran, amanah dan tanggung jawab. Mudahnya Enterprise Theory memerlukan internalisasi Nilai, yaitu Tauhid (Triyuwono, 2001).
(Triyowono, 2011) mengusulkan apa yang disebut dengan shari’ate enterprise theory. Aksioma terpenting yang harus mendasari dalam setiap penetapan konsep shari’ate enterprise theory adalah Allah sebagai pencipta dan pemilik tunggal dari seluruh sumberdaya yang ada di dunia ini. Allah sebagai sumber amanah utama dan sumber daya yang dimiliki para stakeholders. Dalam sumber daya tersebut melekat suatu tanggung jawab dalam penggunaan, cara dan tujuan yang ditetapkan Sang Pemberi Amanah. Bentuk amanah akuntansi Syariah mewujud pada akuntabilitas. Triyowono (2002b) dalam Mulawarman (2011) merupakan spritualis akuntansi Syariah. Konsep akuntabilitas sangat terkait dengan tradisi pemahaman Islam tentang Tuhan, manusia dan alam semesta. Dalam Tradisi Islam, manusia adalah khalifatullah fil ardh (wakil Allah di Bumi) dengan misi khusus menyebarkan rahmat bagi seluruh alam sebagai amanah untuk mengelola bumi berdasarkan keinginan Tuhan. Artinya manusia berkewajiban mengelola bumi berdasarkan etika Syariah, konsekuensinya harus dipertanggungjawabkan kepada Tuhan. Akuntabilitas seperti ini disebut Triyowono (2002b) dalam Mulawarman (2011) sebagai premis utama dari akuntabilitas, yaitu akuntabilitas vertical. Namun harus diakui bahwa tugas manusia adalah tugas yang membumi, yang dalam konteks mikro dapat diartikan bahwa sebuah entitas bisnis telah melakukan kontrak sosial dengan masyarakat dan alam. Sebagai konsekuensi dari kontrak tersebut, seorang agen harus bertanggung jawab kepada masyarakat (stakeholdersi) dan alam (universe). Ini yang disebut sebagai akuntabilias horizontal. Akuntabilitas merupakan akuntabilitas yang berpusat padaa tugas kemanusiaan di alam semesta milik Tuhan, sebagai khalifatullah fil ardh. 2.7. Kebijakan Regulasi Baitul Maal Wa Tamwil di Indonesia Baitul Maal wa Tamwil (BMT) merupakan sebuah Lembaga keuangan yang memiliki fungsi ganda. Sebagai Baitul maal maka ia berfungsi sebagai pengumpulan dana dan mentasyarufkan untuk kepentingan sosial, sedangkan sebagai Baitul tamwil maka ia merupakan Lembaga bisnis yang bermotif keuangan (laba). Jadi dalam Baitul maal wa tamwil adalah Lembaga yang bergerak di bidang sosial, sekaligus juga bisnis yang mencari keuntungan (Abdul Manan, 2012;353) dalam Mursid (2018). Tetapi perlu dipahami bahwa antara fungsinya sebagai pengumpul dana dan mentasyarufkan untuk kepentingan sosial dengan fungsi BMT sebagai Baitul tamwil yang merupakan Lembaga bisnis yang bermotif keuangan tidaklah saling bertolak belakang dan berjalan sendiri-sendiri. Melainkan kedua fungsi tersebut berjalan beriringan dan saling mendukung. Dengan demikian Mursid (2018) dapat ditarik konklusi bahwa Baitul maal wa tamwil (BMT) merupakan Lembaga keuangan yang dalam dirinya melekat dua fungsi sekaligus. Tidak seperti kebanyakan, dimana biasanya suatu Lembaga hanya mempunyai atau menitik beratkan pada satu fungsi yang melekat pada dirinya, apakah Lembaga tersebut berfungsi sebagai Lembaga sosial atau berfungsi sebagai Lembaga komersial. Institusi ekonomi yang selama ini telah di Indonesia pada umumnya hanya menitik beratkan pada satu fungsi, misalnya Yayasan dan koperasi yang lebih menitiberatkan pada fungsi sosial sedangkan Perseroan Terbatas (PT) dan CV yang lebih memiliki fungsi komersial (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2001 (16/2001). Sejak awal keberadaan BMT pada awal tahun 1990an, problem hokum yang dihadapi oleh BMt selaku LKM yang tidak memiliki kejelasa status badan hokum berimplikasi pula terhadap masalah legalitasnya untuk melakukan kegiatan penghimpunan dana simpanan masyarakat. Hal ini dikarenakan adanya ketentuan dalam pasal 16 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan UndangUndang Perbankan yang menentukan bahwa Lembaga keuangan selain bank dilarang menghimpun dana simpanan masyarakat, kecuali ada undang-undang tersendiri yang mengaturnya. Maka berdasarkan dari ketentuan pasal 16 tersebut, pemerintah mengeluarkan sebuah kebijakan yang mengatur mengenai regulasi BMT. Berikut beberapa kebijakan yang dianggap menjadi regulasi BMT sejak awal keberadaannya sampai saat ini. 1. Analisis Terhadap Regulasi BMT dalam Peraturan Perundang-Undangan Perkoperasian. BMT di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat signifikan sejak awal keberadaannya. Selama ini BMT di sandarkan pada kelembagaan koperasi, hal ini karena beberapa aspek di antaranya adalah Pertama, bahwa BMT di dirikan mengusung semangat yang sama dengan semangat koperasi, yaitu semangat kekeluargaan untuk meningkatkan kualitas masyarakat di sekitar lokasi itu sendiri. Semangat kekeluargaan ini merupakan semangat sistem ekonomi yang
di amanahkan oleh konstitusi bangsa Indonesia sebagaimana yang tertuang dalam pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 bahwa Perekonomian disusun sebagai usahabersamaberdasar atas asas kekeluargaan. Kedua, BMT akan dapat lebih menyebar ke akar rumput. Ketiga, para pendiri BMT menyadari bahwa pendirian BMT dilandasi oleh semangat kemandirian untuk memperkuat Lembaga keuangan milik masyarakat itu sendiri di akar rumput (M. Amin Aziz, Prospek BMT Berbadan Hukum Koperasi, dalam Baihaqi Abd Madjid dan Saifuddin A Rasyid, ed, Paradigma Baru Ekonomi Kerakyatan Sistem Syariah: Perjalanan Gagasan Dan Gerakan BMT Di Indonesia, (Jakarta: PINBUK, 2000: 191) Alasan-alasan bahwa BMT di sandarkan pada kelembagaan koperasi dengan alasan spirit, mengusung semangat dan tujuan yang sama sebenarnya adalah faktor non yuridis. Namun Jika dikaji berdasarkan sejarah kenapa BMT identik dikaitkan dengan badan hukum koperasi tidak lain karena adanya ketentuan Pasal16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatakan sebagai berikut: Setiap pihak yang melakukan kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan wajib terlebih dahulu memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau Bank Perkreditan Rakyat dari Pimpinan Bank Indonesia, kecuali apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Kegiatan menghimpun dana dari masyarakat oleh siapapun pada dasarnya merupakan kegiatan yang perlu diawasi, mengingat dalam kegiatan itu terkait kepentingan masyarakat yang dananya disimpan pada pihak yang menghimpun dana tersebut. Sehubungan dengan itu dalam ayat ini ditegaskan bahwa kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan hanya dapat dilakukan oleh pihak yang telah memperoleh izin usaha sebagai Bank Umum atau sebagai Bank Perkreditan Rakyat. Berdasarkan ketentuan tersebut, BMT selaku lembaga yang salah satu kegiatan usahanya adalah melakukan usaha simpan pinjam kepada masyarakat tentu harus memiliki landasan yuridis yang jelas, hal ini berkaitan dengan jaminan hukum bagi masyarakat. Karena pada saat itu keberadaan BMT tidak memiliki paying hukum yang jelas. Banyaknya BMT berbadan hukum koperasi selain mengacu pada beberapa alasan non yuridis sebagaimana yang telah di jelaskan di atas, Secara yuridis hal ini mengacu pada Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri RI c.q Dirjen Pembangunan Daerah Nomor 538/PKKN/IV/1997 tanggal 14 April 1997 tentang Status Badan Hukum untuk Lembaga Keuangan Syariah. Menurut ketentuan ini, status Badan Hukum BMT dapat memilih dari beberapa alternatif di antara berbadan hukum koperasi apabila kelayakan kelembagaan dan kelayakan ekonomi memenuhi syarat. Menurut Mursid (2018), langkah pemerintah mengeluarkan Surat keputusan melalui Menteri Dalam Negeri adalah kebijakan yang di ambil untuk mengisi kekosongan payung hukum BMT yang semakin masih perkembangannya. Kebijakan pemerintah yang memberikan anjuran agar BMT bisa memilih untuk berbadan hukum koperasi adalah dikarenakan ketentuan Pasal 44 Undang-Undang Perkoperasian nomor 25 tahun 1992 mengatakan bahwa: Koperasi dapat menghimpun dana dan menyalurkan melalui kegiatan usaha simpan pinjam dari dan untuk: a. Anggota Koperasi yang bersangkutan b. Koperasi lain dan/atau anggotanya. Ketentuan Pasal 44 inilah kemudian yang menjembatani BMT selaku lembaga keuangan Syariah non bank dapat melakukan satu unik kegiatan usahanya yang berupa usaha simpan pinjam. Namun demikian menurut Neni Sri Imaniyati, jika ditelaah keputusan Menteri dalam Negeri tersebut tidak menetapkan BMT harus berbadan hukum koperasi (imperatif), tetapi hanya bersifat anjuran, yaitu memberikan alternatif koperasi sebagai salah satu bentuk badan hukum yang dapat dipilih oleh BMT jika ingin melakukan usaha simpan pinjam. Dengan demikian, jika dipahami cara a contrario maka landasan atau dasar BMT untuk berbadan hukum Koperasi hanyalah sementara sepanjang belum di atur dalam suatu ketentuan peraturan perundang-undngan tersendiri. Kenapa demikian, karena amanah Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 mengatakan bahwa kebolehan suatu pihak atau instansi selain bank diperbolehkan melakukan kegiatan penghimpunan dana dari masyarakat dikecualikan apabila kegiatan menghimpun dana dari masyarakat dimaksud diatur dengan undang-undang tersendiri. Sehingga jika di kemudian hari pemerintah mengeluarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut, maka ketentuan BMT untuk berbadan hukum koperasi menjadi tidak
berlaku seiring adanya ketentuan perundangan yang secara spesifik telah mengaturnya. Pemahaman secara a contrario di atas setelah Mursid (2018) lakukan kajian memiliki relevansi yang rasional. Kenapa demikian, karena sebenarnya pencantolan legalitas BMT pada kelembagaan dan pengaturan koperasi hanya sebagai upaya yang dilakukan pemerintah atas ketidaksiapannya mengatur perkembangan BMT yang begitu pesat yang pada saat itu realitasnya bertentangan dengan ketentuan Pasal 16 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan UndangUndang Nomor 10 Tahun 1998. Sehingga jika tidak dengan segera diambil langka demikian akan mengakibatkan banyaknya lembaga atau pihak-pihak yang dapat dijerat sanksi pidana karena melanggar ketentuan pasal tersebut sebagaimana ketentuan Pasal 46 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 yang mengatakan bahwa: Barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan tanpa izin usaha dari Pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16, diancam dengan pidana penjara sekurangkurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (limabelas) tahun serta denda sekurang-kurangnya Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Namun demikian, apabila ditelaah lebih mendalam, eksistensi kelembagaan atas status badan hukum BMT sebagai Koperasi yang tunduk kepada UU No. 25 Tahun 1992 tentang Perkoperasian masih belum mampu mengakomodir keberadaan BMT sebagai salah satu lembaga keuangan yang melayani kebutuhan masyarakat. Hal ini disebabkan, BMT berbeda dengan koperasi jenis koperasi pada umumnya, karena BMT dilaksanakan dengan prinsip syariah yang berbeda dengan koperasi konvensional dan dalam BMT terdapat misi sosial sebagai Baitul Maal yang tidak bisa dipaksakan tunduk sepenuhnya pada undang-undang koperasi. Dengan adanya undang-undang koperasi yang baru, yaitu Undang-Undang No. 17 Tahun 2012 tentang Perkoperasian, eksistensi kelembagaan BMT sebenarnya telah diakomodir. Dalam undang-undang ini disebutkan adanya pengelolaan koperasi dengan menggunakan prinsip syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 87 Ayat (3), bahwa “Koperasi dapat menjalankan usaha atas dasar prinsip ekonomi syariah”, selanjutnya dalam Pasal 87 Ayat (4), bahwa “Ketentuan mengenai Koperasi berdasarkan prinsip ekonomi syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dengan Peraturan Pemerintah”. Namun karena berjiwa korporasi, UU Perkoperasian yang baru telah menghilangkan asas kekeluargaan dan gotong-royong yang menjadi ciri khas koperasi. Sehingga Undang-Undang nomor 17 tahun 2012 tentang Perkoperasian bertentangan dengan UUD 1945, dan menjadi tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat setelah putusan ini. Untuk menghindari kekosongan hukum, Mahkamah menyatakan berlaku kembali UU Perkoperasian 1992 (Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 28/PUU-XI/2013, hlm. 252) Maka dengan dibatalkannya Undang-Undang perkoperasian yang baru maka, BMT harus kembali tunduk pada Undang-Undang perkoperasian yang lama, yang belum mengatur mengenai koperasi yang menjalankan kegiatan usaha dengan prinsip Syariah (Undang-Undang perkoperasian tahun 1992 nomor 25, Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, Undang-Undang Otoritas Jasa Keuangan dan lain sebagainya). 2. Analisis terhadap Regulasi BMT dalam Undang-Undang Yayasan Berdasarkan realitas yang ada dalam masyarakat mengenai status hokum BMT, dapat ditemukan BMT berbadan hukum Yayasan. Menurut Neni Sri Imaniyati dalam penelitiannya menunjukkan terdapat sekitar lebih dari 105 untuk BMT yang berbadan hokum Yayasan. Elemen utama dari Yayasan adalah harta kekayaan yang dipisahkan dari kekayaan pendirinya. Perbuatan hukum memisahkan mengandung makna ada kesukarelaan dari pendiri untuk melepaskan suatu kekayaan. Dengan perbuatan itu, pendiri demikian ahli warisnya tidak lagi berhak atas kekayaan yang dipisahkan dan dilepas itu. Dalam pasal 8 UU No.16/2001 disebutkan bahwa kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain, hak asasi manusia, kesenian, olahraga, perlindungan konsumen, Pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian Yayasan dapat melakukan kegiatan apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku (jurnal Rechhtsvinding, volume 1 nomor 2, agustus 2012;176 dalam mursid 2018). Jika BMT secara kelembagaan tetap bernaung pada hukum Yayasan maka sebenarnya BMT yang bersangkutan hanya boleh beroperasi pasa spek sosial saja dan tidak diperbolehkan
melakukan kegiatan usaha simpan pinjam sebagaimana kebanyakan BMT di masyarakat. Hal ini dikarenakan untuk dapat melakukan kegiatan usaha simpan pinjam harus memiliki dasar yuridis yang jelas, dengan demikian BMT tidak relevan jika berbadan hukum Yayasan. 3. Analisis Terhadap Regulasi BMT dalam Undang-Undang Lembaga Keuangann Mikro Pada tahun 2013 Pemerintah telah mengeluarkan kbijakan di bidang hukum terkait Lembaga keuangan mikro dengan mengundangkan undang-undang nomor 1 tahun 2013 tentang Lembaga keuangan Mikro (LKM). Kebijakan regulasi pasca diundangkannya Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro, persoalan mengenai penjaminan dana nasabah sudah memiliki legalitas untuk pembentukan Lembaga penjamin simpanan. Hal ini sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 19 Undang-Undang Lembaga Keuangan Mikro bahwa untuk menjamin Simpanan masyarakat pada LKM, pemerintah daerahdan/atau LKM dapat membentuk Lembaga penjamin simpanan LKM. Sedangkan dalam ayat (2) dijelaskan dalam hal diperlukan, pemerintah Bersama Pemerintah Daerah dan LKM dapat mendirikan Lembaga penjamin simpanan LKM. Dalam ketentuan tersebut meskipun secara materi telah memberikan pijakan terhadap pembentukan Lembaga penjamin simpanan LKM, tetapi sampai saat ini belum ada Peraturan Pemerintah yang mengatur hal tersebut. Padahal jelas Pasal 19 mengamanatkan pengaturannya dalam suatu Peraturan Pemerintah. Terlepas dari ketentuan-ketentuan yang sudah ada, dalam ketentuan Undang-Undang No.1 tahun 2013 tentang LKM, BMT masih di identikkan dengan koperasi secara kelembagaan, namun secara operasional UU LKM tersebut lebih mirip kepada perbankan secara konseptual, lebih tepatnya bisa disebut sebagai bank mini dalam kegiatan operasionalnya. Menurut Mursid (2018) langkah pemerintah dengan tetap melembagakan BMT sebagai koperasi namun justru operasionalnya lebih mirip kepada sektor perbankan ini disebabkan tidak adanya pemahaman secara komprehensif oleh pemerintah terkait tentang konsep awal BMT. Sehingga yang terjadi saat ini adalah bahwa BMT yang pada prinsipnya memiliki konsep yang bagus yakni sebagai kegiatan sosial namun berdampak pada perekonomian umat justru menjadi Lembaga keuangan yang lebih mengedepankan progfit oriented. Maka, seharusnya kebijakan pemerintah dalam mengeluarkan regulasi harus mengacu pada gagasan awal perancangan dan pencanangan bMT. Tidak hanya sekedar untuk upaya alternative dalam menjawab permasalahan umat di bidang ekonomi. Tetapi lebih berat dan mulia yaitu pemberdayaan umat (bangsa) kita secara totalitas dari lembah kemiskinan dengan mengoptimalkan danan zakat, infak, dan sedekah. 3. Kerangka Berpikir 1. Ketidaktahuan karena kurangnya informasi maupun pelatihan 2. Keterbatasan sumber daya manusia yang dimiliki 3. Latar belakang ilmu yang dimiliki oleh sumber daya manusianya tidak sesuai dengan bidang pekerjaannya. 4. Persepsi bahwa laporan keuangan yang dibutuhkan bersifat sederhana.
Gambar 1.1. Kerangka Berpikir
Memastikan keadaan yang terjadi dengan : 1. Observasi 2. Wawancara
Analisis Temuan
BAB III METODE PENELITIAN
3.1. Pendekatan dan Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode kualitatif. Alasan penelitian ini menggunakan metode kualitatif karena permasalahan belum jelas, holistik, kompleks, dinamis dan penuh makna sehingga tidak mungkin data pada situasi sosial tersebut dijaring dengan metode penelitian kuantitatif dengan instrument seperti test, kuesioner, pedoman wawancara, selain itu peneliti bermaksud memahami situasi sosial secara mendalam, menemukan pola, hipotesis dan teori (Sugiyono, 2013). 3.2.
Lokasi Penelitian Dalam hal ini perlu dikemukakan tempat dimana situasi sosial tersebut akan diteliti. Misalnya di sekolah, di perusahaan, di Lembaga pemerintah, di jalan, di rumah dan lain-lain (Sugiyono, 2013). Adapun lokasi penelitian ini di lakukan di Pontianak.
3.3.
Sampel Sumber Data Dalam penelitian kualitatif, sampel sumber data dipilih secara purposive dan bersifat snowball sampling. Penentuan sampel sumber data pada proposal masih bersifat sementara, dan akan berkembang kemudian setelah peneliti di lapangan. Sampel sumber data pada tahap awal memasuki lapangan di pilih orang yang memiliki power dan otoritas pada situasi sosial atau obyek yang diteliti, sehingga mampu “membuka pintu” kemana saja peneliti akan melakukan pengumpulan data (Sugiyono, 2013).
3.4.
Teknik Pengumpulan Data Terdapat empat Teknik pengumpulan data, yaitu observasi, wawancara, dokumentasi, dan gabungan/triangulasi. 3.4.1. Observasi dengan partisipasi pasif. a. Observasi deskriptif b. Observasi terfokus c. Observasi terseleksi 3.4.2. Wawancara a. Wawancara semiterstruktur Langkah-langkah wawancara: Lincoln and Guba dalam Sugiyono (2013), mengemukakan ada tujuh langkah dalam penggunaan wawancara untuk mengumpulkan data dalam penelitian kualitatif, yaitu: 3.4.2.1. Menetapkan kepada siapa wawancara itu akan dilakukan 3.4.2.2. Menyiapkan pokok-pokok masalah yang akan menjadi bahan pembicaraan 3.4.2.3. Mengawali atau membuka alur wawancara 3.4.2.4. Melangsungkan alur wawancara 3.4.2.5. Mengkonfirmasikan ikhtisar hasil wawancara dan mengakhirinya 3.4.2.6. Menuliskan hasil wawancara ke dalam catatan lapangan 3.4.2.7. Mengidentifikasi tindak lanjut hasil wawancara yang telah diperoleh Alat; buku catatan, tape recorder, camera 3.4.3. Dokumentasi Dokumentasi merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan, gambar, atau karya-karya monumental dari seseorang. 3.4.4. Gabungan/triangulasi Triangulasi Teknik berarti peneliti menggunakan Teknik pengumpulan data yang berbeda-beda untuk mendapatkan data dari sumber yang sama. Susan Stainback (1988) dalam Sugiyono (2013) menyatakan bahwa tujuan dari triangulasi bukan untuk mencari kebenaran tentang beberapa fenomena, tetapi lebih pada peningkatan pemahaman peneliti terhadap apa yang telah ditemukan.
3.5. Teknik Analisis Data 3.5.1. Proses Analisis sebelum di Lapangan 3.5.2. Analisis data di lapangan Model Spradley 3.5.3. Rencana Pengujian Keabsahan data Uji keabsahan data meliputi a. Uji kredibilitas data (validitas internal); perpanjangan pengamatan, meningkatkan ketekunan, triangulasi, diskusi dengan rekan sejawat, membercheck, dan analisis kasus negatif. b. Uji depenabilitas (reliabilitas) data c. Uji transferabilitas (validitas eksternal/generalisasi d. Uji konfirmanilitas (obyektifivas) 3.6.
Pengecekan Temuan Penelitian
No 1
Nama Peneliti Seibel,H. D. (2008)
Tabel. 3.1. Pengecekan Temuan Penelitian Judul Penelitian Variabel Penelitian Islamic Microfinance in Indonesia: The Challenge of Institutional Diversity, Regulation, and Supervision.
-
2
Hadi, D. A. (2018)
Pengembangan Teori Akuntansi Syariah di Indonesia
-
3
Rustiana, S.H. (2016)
The Development Of Syariah Accounting In Indonesia
-
Hasil Penelitian
Ada dua pilihan dalam mempromosikan keuangan Mikro Syariah: 3.4.1. Membantu Bank Komersial Islam untuk mempromosikan produk keuangan Mikro Islam. 3.4.2. Menilai kembali dalam proses tantangan partisipasi dan peluang realistis dari bank dan koperasi pedesaan Islam dengan focus pada pengendalian internal yang efektif, pengawasan eksternal, dan pembentukan asosiasi dengan layanan puncak untuk anggota koperasi. Akuntansi Syariah Teori akuntansi Syariah Akhlak idealnya terdiri dari aturanLaporan Keuangan aturan yang meliputi aspek Syariah akidah, hukum amaliah, dan akhlak - salah satu peran utama lembaga keuangan Islam bertanggung jawab untuk memastikan bahwa kode IFIs dalam melakukan bisnis harus sesuai dengan prinsip syari'ah (S). - Indonesia mengadopsi sistem akuntansi ganda yang memisahkan antara akuntansi konvensional dan Islam. Melihat sejarah, Indonesia mengacu pada standar AAOIFI untuk
4
Alim, M. N. Akuntansi Syariah - Paradigma berpikir (2011) Esensi, Konsepsi, tauhid Epistimologi dan - Konsepsi Metodelogi Maqashid Syariah - Epistimologi Istimbath
5.
Himawati, S dan Agung Subono (2009)
Praktik Akuntansi dan Perkembangan Akuntansi Syariah di Indonesia
Teori Akuntansi dan Akuntansi Syariah
Triyowono Iwan (2012)
So, What Is Syaria Accounting?
Syaria Accounting Khalifatullahfilardh Prayer Remembering God God Conciousness
6.
Perkembangan dan Praktek Akuntansi Syariah di Indonesia
mengembangkan standar akuntansi Islam. Setelah lebih dari sepuluh tahun akuntansi Islam di Indonesia, bukan mengadopsi atau mengadaptasi lebih banyak standar AAOIFI, sekarang klaim untuk menerapkan akuntansi Islam nasional tidak didasarkan pada AAOIFI FAS Dengan 3 motodelogi tersebut, akuntansi Syariah menghadapi tantangan untuk menggali konsep-konsep Syariah yang bermuara pada maqashid Syariah (konsep zakat, ma’isyah/rizki, amanah, etika, dll) untuk rekonstruksi akuntansi keuangan, akuntansi manajemen, akuntansi sosial, akuntansi keprilakuan serta merespon berkembangnya moneter Syariah, fiskal Syariah, revitalisasi wakaf produktif dan tunai, regulasi zakat serta perkembangan ekonomi Syariah yang lain. Tiap insan dikaruniai Alloh raga, akal, nafsu dan hati (jiwa). Hanya tauhid ilalloh yang mampu menjembatani keempatnya. Wallohua’lamu bishshowab. Akuntansi Syariah akan semakin kondusif berkembang ketika berada pada wilayah atau negara yang mempraktikkan paham Syariah atau islam secara penuh. Based on the perspective of khalifatulllahfilardh, the function and objective of sharia accounting go beyond the worldly life. Sharia accounting functions as an instrument ofdoa (prayer) and dzikr (remembering God) for awakening God consciousness.
7.
Mawarid Husnul (2014)
Analisis Penerapan PSAK 105 Standar Akuntansi Akuntansi Keuangan (SAK) 105 Mudharabah tentang Pembiayaan Mudharabah pada Laporan Keuangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Kalbar Madani Pontianak
8.
Latifah, Eny Kajian Kesesuaian dkk. (2016) Perlakuan Akuntansi Mudharabah dengan PSAK 105 pada Koperasi Syariah Lamongan.
Kesesuaian Akuntansi Mudharabah PSAK 105
KJKS Kalbar Madani Pontianak telah melaksanakan kebijakan tentang penyaluran pembiayaan mudharabah sesuai dengan SAK 105, namun untuk penyusunan laporan keuangan secara keseluruhan masih memiliki kekurangan. Hal ini karena didalam laporan keuangannya hanya neraca dan yang telah sesuai dengan pedoman penyusunan laporan keuangan KJKS. perlakuan Akuntansi Pembiayaan Mudharabah yang diterapkan oleh KJKS BMT Bina Ummat Sejahtera dapat dikatakan sesuai dengan PSAK 105, kesesuaian tersebut terdapat pada pengakuan, pengukuran, dan penyajian, tetapi dalam pengungkapan akuntansi belum sesuai karena tidak adanya pengungkapan penyisihan kerugian, dan pengakuan keuntungan masih dihitung dengan hasil proyeksi akibat kendala anggota pembiayaan yang tidak mampu menyajikan pembukuan kepada pihak pemilik dana.
BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN
4.1. Gambaran Umum Koperasi Syariah Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Peraturan Deputi Bidang Pengawasan, 2018) Penumbuhkembangan koperasi di masyarakat membutuhkan kehadiran Pemerintah, karena koperasi merupakan amanat Undang-Undang Dasar 1945, dalam hal ini koperasi ditempatkan sebagai gerakan ekonomi rakyat, yang harus mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat. Oleh karena itu menjadi kewajiban Pemerintah dalam menjalankan tugas dan fungsi pembinaan dan pengawasan koperasi harus dilaksanakan dengan baik dan benar. Makna baik
adalah koperasi dapat memberikan manfaat kepada anggota dan masyarakat luas, yang didirikan dengan kemampuan koperasi dalam meningkatkan kesejahteraan anggota dan masyarakat. Sedangkan makna benar adalah dalam menjalankan kegiatan operasional organisasi dan usaha koperasi, harus berlandaskan pada jatidiri koperasi, yang terdiri atas definisi koperasi sebagaimana dicantumkan dalam Undang-Undang nomor 25 tahun 2992, prinsip dan nilai koperasi (Peraturan Deputi Bidang Pengawasan, 2018). 4.2. Hasil dan Diskusi 4.2.1. Penerapan PSAK 101 pada BMT Kota Pontianak Transaksi-transaksi yang terjadi pada sebuah entitas jika dikumpulkan dan dicatat kedalam kategori dapat menghasilkan sebuah informasi keuangan yang memadai dan dapat memenuhi kebutuhan bagi pemilik entitas. Dalam pelaksanaan memenuhi kebutuhan pengguna laporan keuangan, laporan keuangan dibuat dengan memiliki standar yang telah ditetapkan oleh badan pembuat standar yaitu Ikatan Akuntan Indonesia, adapun standar yang digunakan dalam membuat laporan keuangan syariah adalah PSAK Syariah. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penerapan PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah pada BMT di Kota Pontianak. Penyajian laporan keuangan untuk entitas syariah mengacu pada ED PSAK 101 (2011:101.6) terdiri dari laporan posisi keuangan, laoran laba rugi, laporan perubahan equitas, laporan arus kas, laporan sumber dan penyaluran dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan, dan catatan atas laporan keuangan. Berdasarkan keputusan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Dan Menengah Republik Indonesia Nomor: 91/Kep/M.KUKM/IX/2004 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan Usaha Koperasi Jasa Keuangan Syariah bahwa laporan perhitungan hasil usaha adalah laporan yang memberikan informasi tentang perhitungan penghasilan dan beban. Oleh karena itu pada Baitul Maal wa Tamwil (BMT) menyajikannya dalam sebutan Laporan Sisa Hasil Usaha. 1.2.2. Pembahasan a. Laporan Keuangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Karya Permata Laporan yang dibuat pada tahun 2016 yang disajikan oleh Koperasi Jasa Keuangan Syariah Karya Permata 1. Neraca Komponen neraca terdiri dari Aktiva lancar, Aktiva Tetap, Kewajiban dan Modal dengan rincian sebagai berikut: a. Aktiva Lancar; Kas dan Bank, Piutang. b. Aktiva Tetap; Inventaris dan Penyusutan dan rupa-rupa c. Pasiva ; untuk Kolom Kewajiban tidak tertera adanya hutang. d. Modal; terdiri dari Simpanan Anggota, Cadangan Koperasi, SHU yang belum dibagikan, laba/rugi ditahan. 2. Laporan Rugi/Laba Dalam laporan Rugi/laba terdapat dua kelompok yakni Pendapatan dan biaya, adapun unsur dalam Pendapatan adalah operasional, pendapatan non operasional, pendapatan denda, sedangkan untuk beban terdiri dari biaya bunga, biaya gaji, lembur dan THR, Pajak (bukan pph), biaya pemeliharaan dan perbaikan, biaya penyusutan, biaya utilitas, dan biaya lainnya.
b. Laporan Keuangan Puskopsyah Mitra Kalbar 1. Neraca Dalam neraca terdiri Aktiva terbagi aktiva lancar dan aktiva tetap.
a. Aktiva lancar terdiri atas kas ditangan (Petty Cash), Bank Syariah Mandiri, Giro BSM, Piutang Pembiayaan. b. Aktiva tetap terdiri dari tanah/Bangungan dan Inventaris. c. Pasiva terdiri dari Hutang yakni Simpanan anggota dan Hutang Jangka Panjang. d. Modal terdiri dari Simpanan Pokok, Simpanan Wajib, dan laba berjalan. e. Laporan Rugi Laba, terdiri atas pendapatan dan Beban: Pendapatan terdiri dari Pendapatan Operasiona dan Non Operasional, Pendapatan Operasional terdiri dari Pendapatan Margin Mudharabah, Pendapatan administrasi dan Pendapatan lain-lain. Beban terdiri dari beban operasional dan non operasional, beban operasional terdiri dari Beban halal bihalal Puskopsyah dan beban acara sosialisasi Inkopsyah. c. Laporan Keuangan Koperasi Serba Usaha Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Al Mudarris 1. Laporan Sisa Hasil Usaha, rincian sisa hasil usaha dan setelah dikurangi dengan zakat, adapun rincian sisa hasil usaha terdiri dari jasa pinjaman, pengurus, cadangan, dana pendidikan, dana sosial, anggota, dana pengem. Daerah kerja, dan kesejahteraan pegawai. 2. Laporan Laba Rugi, terdiri dari pendapatan anggota dan non anggota, sisa hasil usaha, biaya perkoperasian, biaya lain-lain. 3. Neraca, terdiri dari aset, aset tetap, kewajiban dan hutang, serta modal. d. Kesesuaian Laporan Keuangan Baitul Maal wa Tamwil dengan PSAK 101. Penyajian laporan keuangan untuk entitas syariah terdiri dari laporan posisi keuangan, laoran laba rugi, laporan perubahan equitas, laporan arus kas, laporan sumber dan penyaluran dana zakat, laporan sumber dan penggunaan dana kebajikan, dan catatan atas laporan keuangan. Namun secara keseluruhan laporan yang dibuat oleh Baitul Maal wa Tamwil masih berupa 3 komponen laporan keuangan yakni Laporan Sisa Hasil Usaha, Laporan Laba Rugi, dan Neraca. BAB V Kesimpulan dan Saran 5.1.Kesimpulan Dari pembahasan bab sebelumnya maka peneliti menyimpulkan hal-hal sebagai berikut: 1. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) belum sepenuhnya menerapkan PSAk Syariah, hal ini dikarenakan Baitul Maal wa Tamwil (BMT) belum mampu menyusun dan menyajikan laporan keuangan syariah sesuai dengan PSAK 101 tentang penyajian laporan keuangan syariah secara menyeluruh. 2. Penyebab terjadinya belum diterapkannya laporan keuangan tersebut dikarenakan Sumber daya manusia yang masih terbatas dan kurangnya sosialisasi maupun pelatihan yang diberikan oleh Dinas terkait. 5.2.Saran 1. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) sebaiknya dapat mengevaluasi laporan keuangan yang telah disajikan. 2. Baitul Maal wa Tamwil (BMT) dapat bekerjasama dengan dinas terkait dan dengan civitas akademika perguruan tinggi negeri maupun swasta untuk membuat laporan keuangan sesuai dengan PSAK Syariah. 3. Keterbatasan penelitian ini hanya menganalisis hasil laporan keuangan yang ada, belum melihat sejauh mana proses akuntansi yang telah dilakukan oleh orang perorang dan laporan keuangan pada tahun 2015-2017.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad Rifqi, 2010. Akuntansi Keuangan Syariah; Konsep dan Implementasi Keuangan Syariah. Edisi 2. P3EI Press. Yogyakarta. Mulawarwan, AD, 2011. Akuntansi Syariah Teori, Konsep, dan Laporan Keuangan. Bani Hasyim Press. Malang. Sugoiyono, 2013. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Alfabeta. Bandung SAK Syariah. Efektif per 1 Januari 2017. Ikatan Akuntan Indonesia. Alim, M. N. (2011). Akuntansi Syariah; Esensi, Konsepsi, Epistimologi, dan Metodelogi. Jurnal Investasi Universitas Trunojoyo Madura. Vol.7. Hal. 154-161. Hadi, A. H. (2018). Pengembangan Teori Akuntansi Syariah Di Indonesia. Jurnal Akuntansi Multiparadigma Universitas Widyatama. Volume 9, Nomor 1 Hal. 106-123. Himawati, Susana dan Agung Subono (2009). Praktik Akuntansi dan Perkembangan Akuntansi Di Indonesia. ISSN:1979-6889. Ibrahim Ridwan dan Tri Handayani, (2009). Penerapan Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan Nomor 45 Pada Baitul Mal Provinsi Nangroe Aceh Darussalam. Jurnal Telaah & Riset Akuntansi Universitas Syiah Kuala.Vol.2. Hal. 183-197. Latifah Eny, dkk. (2016). Kajian Kesesuaian Perlakuan AKuntansi Mudharabah dengan PSAK No. 105 Pada Koperasi Syariah Lamongan. Ekuilibrium: JUrnal Ilmiah Bidang Ilmu Ekonomi Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur. Volume 11, No 2, September 2016. Mawarid, H. (2014). Analisis Penerapan Standar Akuntansi Keuangan (SAK) Nomor 105 Tentang Pembiayaan Mudharabah Pada Laporan Keuangan Koperasi Jasa Keuangan Syariah Kalbar Madani Pontianak. Jurnal Audit dan Akuntansi Fakultas Ekonomi Universitas Tanjung Pura. Vol. 3 No. 2. Hal. 27-42. Mursyid Fadillah, (2018). Kebijakan Regulasi Baitul Maal wa Tamwil (BMT) Di Indonesia. Nurani. Vol. 18, Desember. Hal. 9-30. Murtiyani, S. (2009). The Historical Fact and Development Concept of Shariah Accounting. Mukaddimah STIE Hamfara, Vol. XV, No. 26. Rustiana, S. H. (2016). The Development Of Syariah Accounting In Indonesia. International Kournal of Business University of Muhammadiyah Jakarta, Economic and Law. Vol.9, Issue 5. Seibel, H. D. (2008). Islamic Microfinance in Indonesia: The Challenge of Institutional Diversity, Regulation, and Supervision. Sojourn: Journal of Social Issues in Southeast Asia 23(1), 86-103. ISEAS–Yusof Ishak Institute. Retrieved May 17, 2019, from Project MUSE database. Triyuwono Iwan (2013). So, What is Syaria Accounting. Jurnal Ekonomi, Manajemen, Akuntansi Islam Universitas Brawijaya. Volume 1 Nomor 1 -74.