ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM DALAM MENJATUHKAN PUTUSAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI BUPATI LAMPUNG SELATAN (STUDI PUTUSAN NO. 113 K/ PID.SUS/2020) Nadira Meutia Hukum Pidana. Fakultas Hukum, Universitas Lampung E-Mail :
[email protected] Abstrak : Korupsi adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak-hak dari pihak-pihak lain, secara salah menggunakan jabatannya atau karakternya untuk mendapatkan suatu keuntungan untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain, bersamaan dengan kewajibannya dan hak-hak dari pihak lain. korupsi di Indonesia bukanlah hal baru lagi, dalam persoalan hukum dan ekonomi suatu negara, karena pada dasarnya masalah korupsi telah ada sejak ribuan tahun lalu, baik di negara maju maupun negara berkembang. Terkait dengan korupsi saat ini banyak sekali pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, hal ini sangat disayangkan karena korupsi merupakan hal yang sangat merugikan negara dan dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perilaku pejabat di daerah hingga melakukan tindak pidana korupsi sungguh cukup meresahkan karena sangat menggangu sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga wajar apabila perilaku koruptor merupakan salah satu masalah besar yang selalu mendapat sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat, tidak hanya keprihatinan nasional, bahkan juga menjadi keprihatinan dunia internasional. Kata kunci : Korupsi, Pertimbangan Hakim, Kepala Daerah Pendahuluan Sudah sejak tahun lima puluhan korupsi telah dipandang sebagai penyakit masyarakat yang menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pembangunan nasional. Oleh karena itu, semua pidak sepakah bahwa korupsi harus diberantas, yakni dengan usaha-usaha yang menyeluruh dan terpadu, baik secara preventive mauapun refresif, sehingga masalah korupsi dapat segera ditanggulangi atau diatasi dengan efektif dan efisien. 1 Sarana represif yaitu Andi Hamzah, Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta, 1991, Hlm 34. 1
2 tidak dapat dipisahkan ataupun dilepaskan dari tindakan-tindakan lain, seperti perbaikan ekonomi, pembinaan aparatur negara, pengawasan dan sebagainya, yang merupakan sarana preventif dalam menanggulangi dan mengatasi korupsi. Korupsi terlihat seolah-olah merupakan hal yang wajar dan telah mendarah daging dengan sifat manusia contoh kecilnya saja
yang tidak pernah merasa puas, seperti contohnya
banyaknya kasus korupsi yang dilakukan oleh kepala daerah yang ada di Indonesia ini menjadi bukti bahwa seorang yang menguasai dan memegang kekuasan atas suatu wilayah tertentu, dengan banyaknya peluang yang dimiliki oleh penguasa itu diperolah dengan mengataskan namakan pelaksanaan birokrasi pemerintah, walaupun demikian bukan berarti tindak pidana korupsi itu dapat dibiarkn terus berkembang begitu saja, saat ini sudah banyak cara yang dilakukan untuk dapat menanggulangi dan setidaknya meminimalisasikan tindak pidana korupsi. Terkait dengan korupsi saat ini banyak sekali pejabat daerah yang melakukan tindak pidana korupsi, hal ini sangat disayangkan karena korupsi merupakan hal yang sangat merugikan negara dan dinilai tidak mendukung program pemerintah dalam memberantas korupsi. Perilaku pejabat di daerah hingga melakukan tindak pidana korupsi sungguh cukup meresahkan karena sangat menggangu sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga wajar apabila perilaku koruptor merupakan salah satu masalah besar yang selalu mendapat sorotan dan sekaligus keprihatinan masyarakat, tidak hanya keprihatinan nasional, bahkan juga menjadi keprihatinan dunia internasional. Korupsi yang dilakukan oleh oleh pejabat daerah juga di bahas dalam resousi PBB tentang ‘Corruption in Government” yang diterima Konggres PBB ke-8 mengenai “The Prevention of Crime and the Treatment of Offender” di Havana (Cuba), antara lain dinyatakan bahwa; Korupsi di kalangan pejabat publik (corrupt activies of public official) dapat menghancurkan efektifitas potensial dari semua jenis program pemerintah (can destroy the potential effectiveness of all types of goverenment programmes); dapat mengganggu/menghambat pembangunan (hinder development), dan menimbulkan korban individual maupun kelompok masyarakat (victimize individuals and groups).2 Oleh karena itu, sangat dibutuhkan Langkah-langkah untuk melakukan upaya pencegahan dan penaggulangan terhadap tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pejabat atau 2
Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanhan Hukum Pidana, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998, hlm 69.
3 penyelenggara negara sebagai yang menjalankan sistem pemerintahan, sehingga dapat menjalankan tugas dan perannya dengan benar sehingga mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan dapat terbebas dari korupsi, kolusi dan nepotsime.3 Pada amar putusannya, Hakim menyatakan bahwa Terdakwa Zainudin Hasan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Korupsi” sebagaimana diatur dalam Pasal 12 huruf a, Pasal 12 huruf I, Pasal 12B Undang-Undang No. 31 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 Jo Pasal 65 ayat (1) KUHP, Dan Pasal 3 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 65 Ayat (1) KUHP dalam dan menjatuhi pidana terhadap terdakwa dengan pidana penjara 12 (dua belas) tahun dan denda Rp. 500 (lima ratus) juta subsider 6 (enam) bulan kurungan. Selain itu, majelis hakim juga menjatuhkan vonis pidana uang pengganti sebesar Rp66.772.092.145 subsider 2 tahun penjara. Pada 10 Februari 2020 KPK mengeksekusi terpidana korupsi Bupati nonaktif Lampung Selatan Zainudin Hasan. Zainudin dieksekusi setelah Mahkamah Agung (MA) menolak kasasi yang dia ajukan. Zainudin dieksekusi ke Lapas Bandar Lampung. Zainudin akan menjalani masa hukuman penjara 12 (dua belas) tahun. Tindak pidana korupsi dalam sistem peradilan kita kadang kala menimbulkan gejolak dalam masyarakat. Gejolak itu muncul disaat putusan hakim yang sangat jauh dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang sudah ada. Meskipun tindak pidana korupsi sudah banyak terjadi di Indonesia maupun di Lampung keputusan pidana yang dijatuhkan terkadang berbeda antara terpidana yang satu dengan lainnya walaupun dengan kasus yang sama dengan dasar pemidanaan yang sama pula.
3
Jurnal Konstitusi, Puskasi FH Universitas Widyagama Malang, Vol. IV, No. 1 Juni 2011
4 Pembahasan Pengertian Korupsi Henry Campbell Black mengartikan korupsi sebagai ”an act done with an intent to give some advantage inconsistent with official duty and the rights of other” yang artinya adalah suatu perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk memberikan suatu keuntungan yang tidak sesuai dengan kewajiban resmi dan hak hak dari pihak lain. 4 Arti harfiah dari kata itu adalah kebusukan, keburukan, kebejatan, ketidak jujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam Kamus Bahasa Indonesia kata ‘korupsi’ di artikan sebagai perbuatan yang buruk seperti penggelapan uang , penerimaan uang sogok dan sebagainya.5 Rumusan pengertian mengenai korupsi tersebut di atas terlihat bahwa korupsi pada umumnya merupakan kejahatan yang dilakukan oleh kalangan menengah ke atas, atau yang dinamakan dengan White Collar Crime yaitu kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang yang berkelebihan kekayaan dan dipandang “terhormat”, karena mempunyai kedudukan penting baik dalam pemerintahan atau di dunia perekonomian. 6 Dasar Hukum Tindak Pidana Korupsi Pemberantasan korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan menanggulangi korupsi (melalui upaya koordinasi, supervise, monitor, penyidikan, penyelidikan, penntutan dan pemeriksaan siding pengadilan) dengan peran serta masyarakat, berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku ( UU No. 30 Tahun 2002 Pasal 1 butir 3 ) telah dibentuk komisi yang khusus menangani korupsi, yaitu Komisi Pemberantasan Korupsi. Adapun dasar hukum terkait tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut :7 Henry Camble Black, Black's Law Dictionary, Sixth Edition, St. Paul Min, West Publising Co., hlm.176 Andi Hamzah, Pemberantasan Korupsi:Melalui Hukum Pidana Nasional dan Internasional, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 4-5 6 Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1977, hlm.102 7 aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/dasar-hukum-pemberantasan-korupsi diakses pada tanggal 25 Juni 2020 pukul : 03.21 4 5
5 a.
Peraturan pemerintah untuk pemberantasan korupsi yang berlaku di Indonesia adalah Undang-undang No. 20 Tahun 2001 yang sering disebut UU Tipikor. UU Tipikor tersebut ditetapkan oleh pemerintah pusat pada 21 November 2001 dan berlaku sejak tanggal penetapan tersebut. Dengan ditetapkannya UU No. 20 Tahun 2001, pemerintah mencabut UU. 73 Tahun 1958 tentang Menyatakan Berlakunya UU No. 1 Tahun 1946 Republik Indonesia tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia dan Mengubah Kitab Undang-undang Hukum Pidana. UU No. 20 Tahun 2001 juga memuat perubahan atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Dalam UU Tipikor tercantum hukuman dan denda bagi pelaku korupsi atau yang disebut koruptor. Di Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor, koruptor mendapat hukuman dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun serta denda minimal Rp 200 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Dalam Pasal 3 UU Tipikor, pelaku korupsi dan menyalahgunakan kewenangan, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda minimal Rp 50 juta dan maksimal Rp 1 miliar. Sedangkan orang yang dengan sengaja mencegah secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi juga dapat dipidana. Di Pasal 21 UU Tipikor, pelaku akan dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 12 tahun dan atau denda minimal Rp 150 juta dan maksimal Rp 600 juta.
b. Menurut Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang
6 Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bentuk sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana penjara dan pidana denda, tergantung bobot dan kualifikasi tindak pidana korupsi yang dilakukan. Selain dari sanksi pidana berupa pidana penjara dan pidana denda pelaku tindak pidana korupsi juga dapat dijatuhi pidana tambahan berupa penutupan perusahaan, perampasan barang, pembayaran uang pengganti, pencabutan hak dan penghapusan keuntungan, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 17 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UndangUndang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang menentukan “Selain dapat dijatuhi pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 5 sampai dengan Pasal 14, terdakwa dapat dijatuhi pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18”. c.
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK)
d.
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
e.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang
f.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN
g.
Ketetapan MPR No.X/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan Hakim adalah pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-Undang untuk mengadili (Pasal 1 butir 8 KUHAP). Sedangkan istilah hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan atau Mahkamah; Hakim juga berarti pengadilan, jika orang berkata
7 “perkaranya telah diserahkan kepada Hakim”. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselengaranya negara hukum Republik Indonesia (Pasal 24 UUD 1945 dan Pasal 1 UUD No.48 Tahun 2009). Berhakim berarti minta diadili perkaranya; menghakimi artinya berlaku sebagai hakim terhadap seseorang; kehakiman artinya urusan hukum dan pengadilan, adakalanya hakim dipakai terhadap seseorang budiman, ahli, dan orang yang bijaksana. Fungsi hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan, dimana dalam perkara pidana, hal itu tidak terlepas dari sistem pembuktian negatif, yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik.8 Seorang hakim dalam hal menjatuhkan pidana kepada terdakwa tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: (a) Keterangan Saksi; (b) Keterangan Ahli; (c) Surat; (d) Petunjuk; (e) Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184 KUHAP).9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat (2): “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”.
Ahmad Rifai, Penemuan Hukum Oleh Hakim Dalam Perspektif Hukum Progresif, Sinar Grafika, Jakarta, 2010, hlm. 104 – hlm. 103 9 Satjipto Rahardjo, Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum, Jakarta, 1998, hlm. 11 8
8 Hakim sebagai pelaksana dari kekuasaan kehakiman mempunyai kewenangan di dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan hal ini dilakukan oleh hakim melalui putusannya baik putusan yang ringan maupun putusan yang berat. Hakim dalam menjatuhkan putusan harus mempertimbangkan banyak hal, baik yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksa, tingkat perbuatan dan kesalahan yang dilakukan pelaku, pihak korban, keluarganya dan rasa keadilan masyarakat. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menjelaskan tentang dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan dalam Pasal 8 ayat (2): “Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan jahat dari terdakwa”. Hakim Pengadilan Negeri mengambil suatu keputusan dalam sidang pengadilan, mempertimbangkan beberapa aspek, yaitu: 10 a.
Kesalahan pelaku tindak pidana Hal ini merupakan syarat utama untuk dapat dipidananya seseorang. Kesalahan disini mempunyai arti seluas-luasnya, yaitu dapat dicelanya pelaku tindak pidana tersebut. Kesengajaan dan niat pelaku tindak pidana harus ditentukan secara normatif dan tidak secara fisik. Untuk menentukan adanya kesengajaan dan niat harus dilihat dari peristiwa demi peristiwa, yang harus memegang ukuran normatif dari kesengajaan dan niat adalah hakim.
b.
Motif dan tujuan dilakukannya suatu tindak pidana Kasus tindak pidana mengandung unsur bahwa perbuatan tersebut mempunyai motif dan tujuan untuk dengan sengaja melawan hukum.
c.
Cara melakukan tindak pidana Pelaku melakukan perbuatan tersebut ada unsur yang direncanakan terlebih dahulu untuk melakukan tindak pidana tersebut. Memang terdapat unsur niat didalamnya yaitu keinginan si pelaku untuk melawan hukum.
10
Barda Nawawi Arief, Op. Cit, hlm. 77
9 d.
Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi Riwayat hidup dan keadaan sosial ekonomi pelaku tindak pidana juga sangat mempengaruhi putusan hakim yaitu memperingan hukuman bagi pelaku, misalnya belum pernah melakukan perbuatan tindak pidana apapun, berasal dari keluarga baik-baik, tergolong dari masyarakat yang berpenghasilan sedang-sedang saja (kalangan kelas bawah).
e.
Sikap batin pelaku tindak pidana Hal ini dapat diidentifikasikan dengan melihat pada rasa bersalah, rasa penyesalan dan berjanji tidak akan mengulangi perbuatan tersebut. Pelaku juga memberikan ganti rugi atau uang santunan pada keluarga korban dan melakukan perdamaian secara kekeluargaan.
f.
Sikap dan tindakan pelaku sesudah melakukan tindak pidana Pelaku dalam dimintai keterangan atas kejadian tersebut, ia menjelaskan tidak berbelit-belit, ia menerima dan mengakui kesalahannya, karena hakim melihat pelaku berlaku sopan dan mau bertanggungjawab, juga mengakui semua perbuatannya dengan cara berterus terang dan berkata jujur.
g.
Pengaruh pidana terhadap masa depan pelaku Pidana juga mempunyai tujuan yaitu selain membuat jera kepada pelaku tindak pidana, juga untuk mempengaruhi pelaku agar tidak mengulangi perbuatannya tersebut, membebaskan rasa bersalah pada pelaku, memasyarakatkan pelaku dengan mengadakan pembinaan, sehingga menjadikannya orang yang lebih baik dan berguna.
h.
Pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku Dalam suatu tindak pidana masyarakat menilai bahwa tindakan pelaku adalah suatu perbuatan tercela, jadi wajar saja kepada pelaku untuk dijatuhi hukuman, agar pelaku mendapatkan ganjarannya dan menjadikan pelajaran untuk tidak melakukan perbuatan yang dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Hal tersebut
10 dinyatakan bahwa ketentuan ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum.
Teori Dasar Pertimbangan Hakim Saat kita membahas tentang putusan pengadilan maka tidak dapat lepas dari kedudukan seorang hakim dalam mengadili suatu perkara dan pertimbangan-pertimbangan putusan hukum hakim yang digunakan hakim dalam suatu perkara yang di adili. Menurut Menurut Wiryono Kusumo, Pertimbangan atau yang sering disebut juga considerans merupakan dasar putusan Hakim atau argumentasi Hakim dalam memutuskan suatu perkara. Jika argumen hukum itu tidak benar dan tidak sepantasnya (proper), maka orang kemudian dapat menilai bahwa putusan itu tidak benar dan tidak adil.11 Kemudian menurut Sudikno Mertokusumo, secara sederhana putusan hakim mencakup irahirah dan kepala putusan, pertimbangan, dan amar. Dari cakupan itu, yang dipandang sebagai dasar putusan adalah pertimbangan. Alasan-alasan yang kuat dalam pertimbangan sebagai dasar putusan membuat putusan sang hakim menjadi objektif dan berwibawa.12 Putusan hakim yang baik, dan sempurna hendaknya putusan tersebut dapat diuji dengan 4 kriteria dasar pertanyaan (the four way test) berupa : a.
Benarkah putusanku ini?
b.
Jujurkah aku dalam mengambil keputusan?
c.
Adilkah bagi pihak-pihak putusan?
d.
Bermanfaatkah putusanku ini?13
Walaupun kenyataannya berbanding terbalik dari sifat/sikap seseorang Hakim yang baik, kerangka landasan berfikir/bertindak dan melalui empat buah titik pertanyaan tersebut di atas, S.M. Amin, Hukum Acara Pengadilan Negeri, Pradnya Paramita, Jakarta, 2009, hlm. 41 Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta, 2005, hlm. 22 13 Lilik Mulyadi. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya. 2007. Hal 136. 11 12
11 maka hakim ternyata seorang manusia biasa yang tidak luput dari kelalaian, kekeliruan/kekhilafan (rechterlijk dwaling), rasa rutinitas, kekurang hati-hatian, dan kesalahan. Praktik peradilan menunjukkan adanya aspek-aspek tertentu yang luput dan kerap tidak diperhatikan hakim dalam membuat keputusan. Selanjutnya menurut Sudarto putusan hakim merupakan puncak dari perkara pidana, sehingga hakim harus mempertimbangkan aspek-aspek lainnya selain dari aspek yuridis, sehingga putusan hakim tersebut lengkap mencerminkan nilai-nilai sosiologis, filosofis, dan yuridis, sebagai berikut: 1) Pertimbangan yuridis Pertimbangan yuridis maksudnya adalah hakim mendasarkan putusannya pada ketentuan peraturan perundang-undangan secara formil. Hakim secara yuridis, tidak boleh menjatuhkan pidana tersebut kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah, sehingga hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya (Pasal 183 KUHAP). Alat bukti sah yang dimaksud adalah: a.
Keterangan Saksi;
b.
Keterangan Ahli;
c.
Surat;
d.
Petunjuk;
e.
Keterangan Terdakwa atau hal yang secara umum sudah diketahui sehingga tidak perlu dibuktikan (Pasal 184).
Selain itu dipertimbangkan pula bahwa perbuatan terdakwa melawan hukum formil dan memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan. 2) Pertimbangan
filosofis
Pertimbangan
filosofis
maksudnya
hakim
mempertimbangkan bahwa pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa merupakan
12 upaya untuk memperbaiki perilaku terdakwa melalui proses pemidanaan. Hal ini bermakna bahwa filosofi pemidanaan adalah pembinaan terhadap pelaku kejahatan sehingga setelah terpidana keluar dari lembaga pemasyarakatan, akan dapat memperbaiki dirinya dan tidak melakukan kejahatan lagi. 3) Pertimbangan sosiologis Pertimbangan sosoiologis maksudnya hakim dalam menjatuhkan pidana didasarkan pada latar belakang sosial terdakwa dan memperhatikan bahwa pidana yang dijatuhkan mempunyai manfaat bagi masyarakat.14 Teori Rasa Keadilan Masyarakat Keadilan secara umum diartikan sebagai perbuatan atau perlakuan yang adil. Sementara adil adalah tidak berat sebelah, tidak memihak dan berpihak kepada yang benar. Keadilan menurut kajian filsafat adalah apabila dipenuhi dua prinsip, yaitu : pertama tidak merugikan seseorang dan kedua, perlakuan kepada tiap-tiap manusia apa yang menjadi haknya. Jika kedua prinsip ini dapat dipenuhi barulah itu dikatakan adil.15 Keadilan hukum bagi masyarakat tidak sekedar keadilan yang bersifat formal-prosedural, keadilan yang didasarkan pada aturan- aturan normatif yang rigid yang jauh dari moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan. Lawan dari keadilan formal-prosedural adalah keadilan substantif, yakni keadilan yang ukurannya bukan kuantitatif sebagaimana yang muncul dalam keadilan formal, tetapi keadilan kualitatif yang didasarkan pada moralitas publik dan nilainilai kemanusiaan dan mampu mermberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi masyarakat.
16
Teori mengenai keadilan sangatlah erat kaitannya dengan penulisan skripsi ini. Dengan adanya rasa keadilan yang dikedepankan, maka Hakim dapat menjalankan tugas tidak berat sebelah, sehingga tidak akan merugikan salah satu pihak yang dalam hal tentang korupsi yang dirugikan dan harus lah diberikan keadilan adalah masyarakat. Sudarto. Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni,Bandung, 1986, hlm.67. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta. 1983, hlm. 22 hlm. 46 16 Jurnal, Umar Solahudin" hukum dan keadilam masyarakat", Vol. 9, No. 1, Juni 2016, hlm. 43 14
15
13 Mengenai rasa keadilan masyarakat harus berkenaan dengan salah satunya adalah Keadilan Substantif yang dimaknai keadilan harus diberikan sesuai dengan aturan-aturan hukum substantif, dengan tanpa melihat kesalahan-kesalahan prosedural yang tidak berpengaruh pada hak-hak substantif penggugat. Ini berarti bahwa apa yang secara formal-prosedural benar bisa saja disalahkan secara materil dan substansi nya melanggar keadilan. Demikian sebaliknya, apa yang secara formal salah bisa saja dibenarkan jika secara materil dan substansinya sudah cukup adil (hakim dapat menoleransi pelanggaran prosedural asalkan tidak melanggar substansi keadilan). Dengan kata lain, keadilan substantif bukan berarti hakim harus selalu mengabaikan bunyi undang-undang. Melainkan, dengan keadilan substantif berarti hakim bisa mengabaikan undang-undang yang tidak memberi rasa keadilan, tetapi tetap berpedoman pada formal-prosedural undang-undang yang sudah memberi rasa keadilan sekaligus menjamin kepastian hukum. Artinya hakim dituntut untuk memiliki keberanian mengambil keputusan yang berbeda dengan ketentuan normatif undang-undang, sehingga keadilan substansial selalu saja sulit diwujudkan melalui putusan hakim pengadilan, karena hakim dan lembaga pengadilan hanya akan memberikan keadilan formal.17 Kesimpulan Nilai keadilan dalam putusan hakim pada perkara tindak pidana korupsi pada hakikatnya untuk mencegah terjadinya perlakuan yang tidak seimbang atau memihak, namun secara faktual kurang diwujudkan sehingga putusan hakim dirasakan oleh pencari keadilan sebagai putusan yang tidak mengandung nilai-nilai keadilan, tetapi semata-mata hanya lebih condong penghukuman dan melanggar hak dari pelaku tindak pidana.Putusan hakim pada perkara pidana korupsi yang mencerminkan nilai keadilan ditentukan dengan kriteria, jika putusan hakim dilakukan dengan secara professional, dan didukung dengan integritas moral hakim yang tinggi, maka putusan hakim sudah dipandang mengandung nilai-nilai keadilan.Faktorfaktor yang mempengaruhi putusan hakim, sehingga kurang mencerminkan nilai keadilan 17
Sudikno Mertokusumo. Teori Hukum. Cahaya Atma Pustaka. Jakarta. 2012. hlm. 105-106.
14 pada perkara tindak pidana korupsi disebabkan karena kualitas hakim, kemandirian hakim dan adanya intervensi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Untuk mewujudkan adanya nilai keadilan dalam putusan pidana diperlukan adanya independensi dan akuntabilitas hakim Pengadilan Tipikor dalam memeriksa dan mengadili perkara tindak pidana korupsi. Daftar Pustaka Hamzah, Andi. 1991. Korupsi di Indonesia Masalah dan Pemecahannya. PT. Gramedia Pustaka Tama, Jakarta Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, Edisi VI, West Publishing , St. Paul, 1990 Jurnal Konstitusi, Puskasi FH Universitas Widyagama Malang, Vol. IV, No. 1 Juni 2011 Mertokusumo, Sudikno. 2005. Mengenal Hukum : Suatu Pengantar, Yogyakarta, liberty. Mulyadi, Lilik. 2007. Kekuasaan Kehakiman. Bina Ilmu. Surabaya Nawawi Arief, Barda. 1998. Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembanhan Hukum Pidana, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti. Rifai, Ahmad. 2010. Penemuan Hukum oleh Hakim dalam Persfektif Hukum Progresif, Jakarta, Sinar Grafika. Rahardjo, Satjipto. 1998. Bunga Rampai Permasalahan Dalam Sistem Peradilan Pidana, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum. S.M., Amin. 2009. Hukum Acara Pengadilan Negeri, Jakarta, Pradnya Paramita Sudarto, 1977. Hukum dan Hukum Pidana, Bandung. Soekanto, Soerjono. 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta. UI Pres. aclc.kpk.go.id/materi/berpikir-kritis-terhadap-korupsi/infografis/dasar-hukum pemberantasan-korupsi diakses pada tanggal 25 Juni 2020 pukul : 03.21
15