* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.
Description
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Kanker Serviks Kanker serviks adalah perubahan neoplastik yang terjadi pada serviks atau leher rahim secara alamiah yang bersifat fatal (Price & Wilson, 2006). Suatu perubahan neoplastik yang dimaksudkan adalah tumbuhnya sel-sel abnormal pada jaringan serviks (Rini 2009, hlm.6). Sebagian besar tipe kanker serviks yang ditemukan adalah karsinoma sel skuamosa (90%) dan sisanya adalah adenokarsinoma (10%). Tipe lain yang jarang ditemukan adalah karsinoma sel terang, karsinoma sel adenoskuamosa, sarkoma, limfoma maligna, dan melanoma maligna (Price & Wilson, 2006). Lokasi serviks uteri tersusun pada sepertiga inferior uterus yang sempit, silindris, panjang 2,5cm pada perempuan dewasa yang tidak hamil. Regio serviks tempat canalis endocervicalis yang membuka kedalam vagina disebut ostium externum. Canalis cervicalis uteri yang menuju rongga vagina dan ke arah atas menuju cavitas uteri disebut ostium uteri internum (Drake et al, 2014). Anatomi serviks normal dan kanker serviks dapat dilihat pada gambar 1.
Sumber: Pierre et al
Sumber: Pierre et al
Gambar 1 Perbedaan Antara Serviks Normal dan Kanker Serviks
5
6
Serviks dibagi menjadi 2 lapisan yaitu ektoserviks dan endoserviks. Lapisan mukosa ektoserviks disebut sebagai portio serviks dan memiliki epitel gepeng berlapis. Lapisan mukosa endoserviks adalah epitel selapis silindris yang banyak mengandung kelenjar penghasil mukus, lamina propria yang tebal dan sering melebar (Mescher, 2011). Serviks uteri mempunyai suatu taut khas yang disebut sebagai zona transformasi yang merupakan perubahan mendadak epitel kolumnar selapis menjadi epitel kolumnar berlapis yang merupakan tempat perkembangan dari penyakit kanker serviks bila terpajan oleh virus HPV (Mescher, 2011). Anatomi dan histologi taut skuamokolumnar dapat dilihat pada gambar 2.
Sumber: Pierre et al
Gambar 2 Taut Skuamokolumnar
Sumber: Kumar et al
Gambar 3 Histopatologi Kanker Serviks
7
Faktor penyebab dari penyakit kanker serviks adalah Human Papilloma Virus (HPV) sub tipe onkogenik (Norwitz, 2008). Human Papilloma Virus (HPV) termasuk kedalam famili Papovaviridae. HPV memiliki struktur ikosahedral dengan diameter 55nm. HPV mengandung 90% protein dan 10% DNA yang termasuk
jenis
Double-Stranded
DNA.
Berdasarkan
virulensinya,
HPV
dikategorikan menjadi risiko tinggi (tipe 16 dan 18), risiko menengah (tipe 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52), dan risiko rendah (tipe 6 dan 11) (Brooks et al, 2004). Virus ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual (Sexually Transmitted Disease) (Sulistiowati, 2014). Virus HPV termasuk agen kausatif primer dengan serotipe 16,18,31,45 yang menjadi penyebab 80% terjadinya kanker serviks (Norwitz, 2008). Penyebab utama kanker serviks yaitu HPV dengan serotipe 16 dan 18 yang memiliki gen pengkode protein untuk menghambat aktivitas gen penekan tumor TP53 dan RB1 di sel epitel sasaran setelah virus terintregrasi ke genom sel pejamu serta mengaktifkan gen terkait siklus sel, seperti siklin E sehingga terjadi proliferasi sel yang tidak terkendali (Kumar, 2007). Kanker serviks berawal dari infeksi virus HPV yang dapat ditularkan melalui hubungan seksual yang menginfeksi jaringan serviks. Serviks dijadikan tempat perkembangan virus HPV karena memiliki protein yang dapat mendukung perkembangan sehingga menyebabkan proliferasi abnormal yang terus menerus pada taut skuamokolumnar. Proliferasi abnormal menyebabkan terbentuknya lesi prakanker (karsinoma prainvasif) yang disebut sebagai neoplasia intraepitelial servikal (NIS) dan disebut juga sebagai displasia serviks serta karsinoma in situ yang dibagi menjadi dua, yaitu low-grade squamous intraepithelial lesions (LSIL) dan high-grade squamous intraepithelial lesions (HSIL). Berdasarkan derajatnya, NIS juga diklasifikasikan menjadi NIS 1, NIS 2, NIS 3 (Wright, 2015). Derajat kanker serviks dapat dilihat pada Tabel 1 dan Histopatologi kanker serviks dapat dilihat pada Gambar 3. Displasia serviks terbentuk dalam waktu yang cukup lama, virus akan menginvasi kedalam stroma serviks dan membentuk kanker serviks invasif yang selanjutnya bermetastasis ke jaringan lain secara hematogen dan limfogen. Kanker serviks invasif dapat menginvasi dinding vagina, ligamentum kardinale, dan
8
rongga endometrium (Price & Wilson, 2006). Perjalanan penyakit kanker serviks dapat dilihat pada Gambar 4.
Sumber: National Cancer Institue, 2014
Gambar 4 Perjalanan Penyakit Kanker Serviks Tabel 1 Derajat Kanker Serviks Derajat Displasia
Neoplasia Intraepithelial Serviks (NIS)
Sistem Bethesda
Displasia Ringan
NIS I
LSIL
Displasia Sedang
NIS II
Displasia Berat Karsinoma In-situ
NIS III
HSIL
Sumber: Wright, 2015
Karsinoma pra invasif tidak memiliki gejala (asimptomatik), sementara karsinoma invasif dapat menyebabkan perdarahan vagina dan pengeluaran sekret yang berbau. Namun perdarahan dan sekret vagina yang berbau tersebut tidak muncul pada saat awal penyakit. Perdarahan yang sering terjadi yaitu perdarahan pasca coitus atau pasca menopause. Gejala lainnya muncul dengan manifestasi nyeri punggung bagian bawah, nyeri tungkai akibat penekanan saraf lumbosakralis oleh tumor, frekuensi berkemih yang mendesak dan sering, hematuria, perdarahan rektum (Price & Wilson, 2006). Lesi pada penderita serviks yang dapat ditemukan berbentuk eksofitik, silindris atau ulseratif (Norwitz, 2008). Klasifikasi lesi kanker serviks dapat dilihat pada Tabel 2. Gejala tambahan dari kanker serviks meliputi nyeri daerah pelvik, fatigue, penurunan
9
nafsu makan, berat badan menurun, dan pembengkakan kaki. Manifestasi pada stadium lanjut terdapat obstruksi ureter, oligouria atau anuria akibat desakan tumor yang sudah sampai ke daerah pelvik dari medial ke lateral (WHO, 2016). Tabel 2 Klasifikasi Lesi Kanker Serviks Klasifikasi Sitologi Bethesda, 2015 Lesi Skuamosa A. Sel Skuamosa Atipikal (ASC) Sel Skuamosa Atipikal yang tidak di tentukan secara signifikan (ASC-US) Sel Skuamosa Atipikal yang tidak termasuk Lesi Skuamosa Intraepitelial derajat tinggi (ASC-H) B. Lesi Skuamosa Intraepitelial (SIL) Lesi Skuamosa Intraepitelial derajat rendah (LSIL) Lesi Skuamosa Intraepitelial derajat tinggi (HSIL) - Dengan kecurigaan sudah terjadi invasi C. Karsinoma Sel Skuamosa Lesi Glandular A. Atipikal Sel Endoservikal Sel Endometrial Sel Glandular B. Atipikal Sel Endoservikal, Tanda Neoplastik Sel Glandular, Tanda Neoplastik C. Adenokarsinoma endoservikal in-situ (AIS) D. Adenokarsinoma Endoservikal Endometrial Extrauterine
Klasifikasi Histopatologis WHO, 2014 Prekursor dan Sel Tumor Skuamosa A. Lesi Skuamosa Intraepitelial Lesi Skuamosa Intraepitelial derajat rendah (LSIL) Lesi Skuamosa Intraepitelial derajat tinggi (HSIL) B. Karsinoma Sel Skuamosa
Prekursor dan Sel Tumor Glandular A. Adenokarsinoma in-situ B. Adenocarcinoma
Tumor Epitelial Lain A. Karsinoma Adenoskuamosa B. Karsinoma Basal Adenoid C. Karsinoma Kistik Adenoid D. Karsinoma yang tidak berdiferensiasi Tumor Neuroendokrin A. Tumor Neuroendokrin derajat rendah B. Tumor Neuroendokrin derajat tinggi Sumber: Komite Penanggulangan Kanker Nasional, 2016
10
2.1.1
Faktor Penyebab Kanker Serviks Faktor-faktor penyebab kanker serviks , yaitu:
a.
Usia saat pertama kali berhubungan seksual Kanker serviks berhubungan dengan usia muda saat pertama kali berhubungan seksual (Norwitz, 2008). Yuniar et al (2009, hlm.113) menyatakan bahwa usia pertama kali berhubungan seksual dengan periode kurang dari 20 dan lebih dari 35 tahun menjadi faktor dominan yang menyebabkan kanker serviks. Peningkatan risiko infeksi HPV di masa remaja lebih rentan berkaitan dengan faktor biologis serviks yang belum matang (Louie et al 2009, hlm.1191). Menurut Mulatsih (2008), usia muda saat pertama kali berhubungan seksual berhubungan dengan faktor biologis serviks yang belum seluruhnya tertutup oleh sel skuamosa, sehingga mudah mengalami luka dan iritasi dari zat kimia yang berasal dari sperma pasangan seksual sehingga mudah terinfeksi virus HPV.
b. Usia saat kehamilan pertama Kanker serviks juga berhubungan dengan usia saat kehamilan pertama. Menurut American Cancer Society, 2010 dalam Kamau (2011, hlm.154), risiko tinggi penyakit kanker serviks terjadi pada usia saat kehamilan pertama dibawah 20 tahun, karena pada usia muda terjadi perubahan hormonal yang menyebabkan wanita lebih rentan terinfeksi HPV. Menurut Louie et al (2009, hlm.1191), usia muda saat kehamilan pertama berkaitan dengan faktor biologis serviks yang belum matang dan peningkatan hormonal yang berperan untuk stimulasi estrogen yang berkaitan dengan pH vagina yang lebih asam. Hal ini berkaitan dengan kejadian metaplasia skuamosa yang terjadi pada endotel endoserviks dari epitel kolumnar menjadi sel skuamosa. c.
Paritas Paritas adalah jumlah kehamilan seorang wanita yang melahirkan bayi hidup pada setiap kehamilan (Oxford Concise Medical Dictionary, 2010). Wanita yang memiliki jumlah anak lebih dari 2 orang atau jarak persalinan satu anak ke anak yang lain terlalu dekat dapat menjadi
11
risiko terjadinya penyakit kanker serviks. Mayrita et al (2014) menyatakan bahwa terdapat hubungan antara paritas dengan kejadian kanker serviks. Menurut Mayrita et al (2014) dan Hwang et al (2009, hlm.104), paritas yang tinggi menyebabkan trauma pada jalan lahir sehingga terjadi perlukaan menahun dan dapat menimbulkan infeksi genitalia sehingga menyebabkan abnormalitas sel epitel mulut rahim dimana zona transformasi serviks adalah tempat replikasi dan diferensiasi bagi pertumbuhan HPV yang dapat berkembang menjadi keganasan serta pengaruh hormon progesteron saat kehamilan yang mendukung infeksi HPV semakin mudah untuk berkembang. d.
Hubungan seksual multipartner Kejadian kanker serviks juga berkaitan dengan hubungan seksual multipartner. Hubungan seksual multipartner berisiko tiga kali lipat membentuk lesi di sel serviks dan menjadi tempat masuknya virus HPV ke dalam sel serviks yang ditularkan secara seksual. Virus ini yang akan menyebabkan terjadinya kanker serviks (Jolly et al 2017, hlm.2).
e.
Riwayat penyakit menular lainnya Wanita dengan riwayat penyakit menular lain seperti infeksi herpes genitalis, infeksi klamidia, gonorrhea, sifilis menahun berisiko meningkatkan kejadian penyakit kanker serviks (Kartikawati, 2013). Wanita yang sudah terdiagnosis dengan berbagai penyakit seksual berisiko dua kali lipat membentuk lesi di sel serviks yang dapat menyebabkan perlukaan di bagian serviks sehingga virus HPV dapat menginfeksi bagian serviks (Jolly et al 2017, hlm.2).
f.
Sosial ekonomi rendah Sosial ekonomi rendah berkaitan dengan ketidakmampuan pasien untuk melakukan deteksi dini melalui pemeriksaan seperti Tes Pap Smear atau Tes IVA (Inspeksi Visual Asam Asetat) secara rutin.
g.
Tingkat pendidikan yang rendah Faktor ini berkaitan dengan pengetahuan masyarakat mengenai penyakit dan juga kebersihan diri. Pendidikan yang rendah menyebabkan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit, gejala, pencegahan, serta
12
komplikasi kanker serviks (Kaur et al 2016, hlm.1511). Minimnya informasi mengenai penyakit kanker serviks membuat masyarakat kurang mengerti mengenai faktor risiko yang dapat menyebabkan kanker serviks (Rochmah, 2011). h.
Riwayat genetik Riwayat genetik berperan penting terhadap terjadinya penyakit kanker serviks. Pasien yang memiliki riwayat genetik kanker serviks berisiko 23 kali lebih besar mengalami kanker serviks. Hal ini berkaitan dengan kemampuan tubuh untuk melawan infeksi oleh virus HPV (Rini 2009, hlm.11). Respon yang terjadi adalah sistem imun host yang responsif dan interaksi gen onkoprotein HPV E6 dan E7. Protein virus seperti onkoprotein E6 dan E7 berperan dalam menurunkan gen penekan tumor seperti, p53 dan Rb yang membuat protein virus mengalami peningkatan fungsi dalam siklus sel dan menyebabkan transformasi sel yang berlebihan. Imun bawaan dan respon imun adaptif akan merespon progresi dan regresi dalam infeksi virus HPV yang menyebabkan terbentuknya sitokin pro inflamasi seperti IL-1B dan TNF alfa yang berperan dalam proses karsinogenesis dan mengontrol infeksi virus HPV. Polimorfisme gen Human Leukocyte Antigen (HLA)
juga
berperan dalam patogenesis kanker serviks melalui kontrol pengendalian imun terhadap infeksi virus HPV (Chen et al 2011, hlm.157, Kumar, 2007). i.
Riwayat merokok Wanita yang merokok berisiko dua kali lipat mengalami kanker serviks. Menurut Xue et al (2014, hlm.1140), Moutinho (2011, hlm.2) dan Murray 2006 dalam Fitria et al (2013, hlm.114), rokok berperan dalam proses karsinogenesis yang dapat meningkatkan kejadian penyakit kanker serviks. Tembakau mengandung beberapa bahan kimia yang beragam, termasuk nikotin dan zat-zat karsinogen. Nikotin termasuk zat adiktif serta zat non-karsinogenik yang dapat memfasilitasi angiogenesis dengan menstimulasi vascular endothelial growth factor (VEGF) dan mengaktivasi jalur pertumbuhan, migrasi dan invasi sel kanker serta
13
inhibisi efek apoptosis sel. Asap rokok mengandung bahan radikal bebas dan sejumlah konstituen dalam rokok dan metabolitnya seperti oksida nitrat,
peroksinitrit,
hidrogen
peroksida,
superoksida,
campuran
hidroquinon, semiquinon, kuinon, Benzo(a)pyrene (BaP), turunan nikotin berupa nitrosamin seperti 4-(methylnitrosamino)-1-(3-pyridyl)1-butanone
(NNK) dan N'-nitrosonornicotine
(NNN), polisiklik
aromatik hidrokarbon (PAHs), amina aromatik, aldehid, fenol, hidrokarbon volatil, senyawa nitro, senyawa organik dan inorganik lain. Zat tersebut yang akan merangsang proses karsinogenesis dengan meningkatkan regulasi dalam amplifikasi gen yang menyebabkan mutasi DNA sehingga terjadi perubahan basa-basa nitrogen DNA. Perubahan tersebut menyebabkan pertumbuhan tumor menjadi tidak terkendali yang dimediasi dan di aktivasi melalui reseptor asetilkolin nikotin (nAChRs) dan reseptor beta adrenergik (beta-AdrRs) melalui jalur transduksi sinyal. Zat ini dapat menyebabkan kerusakan DNA pada leher rahim (Ozgul, 2009). Menurut Ardahan (2016, hlm.10) dan Moutinho (2011, hlm.2), rokok dapat menurunkan daya tahan serviks sehingga serviks mudah untuk terinfeksi mikroorganisme termasuk HPV karena pada perokok terjadi abnormalitas dari sistem imun sistemik dan perifer. Abnormalitas tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara produksi sistem sitokin pro dan anti-inflamasi, peningkatan sel sitotoksik/limfosit T supressor, hilangnya T helper, dan menurunnya jumlah sel natural killer yang dapat menurunkan jumlah sel Langerhans di sel serviks pada perokok. Menurut Fujita et al (2008, hlm.299), perokok aktif yang memiliki risiko terkena penyakit kanker serviks seiring dengan usia saat pertama kali merokok kurang dari 20 tahun, kebiasaan merokok lebih dari 6 tahun dan intensitas merokok lebih dari 10 batang perhari. 2.1.2
Diagnosis Deteksi dini penyakit kanker serviks dilakukan melalui Tes Pap Smear, Tes Inspeksi Visual Asam Astetat (IVA), Inspeksi Visual dengan
14
Tes Lugol Iodine (VILI), atau Tes DNA HPV. Tes Pap smear digunakan sebagai uji penapisan untuk mendeteksi perubahan neoplastik yang ditindaklanjuti dengan biopsi untuk mendapatkan jaringan yang digunakan dalam pemeriksaan sitologis (Price & Wilson, 2006). Kanker serviks di evaluasi menggunakan pemeriksaan penunjang berupa tindakan inspeksi atau palpasi, kolposkopi, biopsi serviks, sistoskopi, keadaan biokimia (fungsi hati dan ginjal), rektoskopi, Ultrasonography (USG). Stadium kanker serviks bisa di evaluasi menggunakan pemeriksaan penunjang berupa tindakan Blass Nier Overzicht-Intravenous Pyelography (BNOIVP), foto toraks dan bone scan, Computerized Tomography Scan (CT Scan) atau Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Positron Emission Tomography (PET Scan) (Price & Wilson, 2006). 2.2 Kanker Payudara a. Pengertian Kanker Payudara Kanker payudara atau Carcinoma mamae merupakan kanker ganas pada payudara atau salah satu payudara. Kanker ini adalah suatu penyakit neoplasma ganas yang berasal dari parenchyma (bagian organ yang produktif). Kanker bisa mulai tumbuh di dalam kelenjar susu, saluran susu, jaringan lemak maupun jaringan ikat pada payudara. Kanker payudara disebabkan oleh adanya kerusakan pada materi genetik sel yang kemudian bersentuhan dengan bahan kimia yang mempercepat pembiakan sel yang diperlukan untuk berkembang menjadi sel kanker yang lebih ganas (Rozi Abdullah, 2012) b. Etiologi Penyebab kanker belum diketahui dengan pasti, tapi sering dikaitkan dengan faktor lingkungan (polusi, bahan kimia, virus) dan makanan yang mengandung bahan karsinogen. Karsinogenesis atau perkembangan kanker terjadi dalam dua tahap, yaitu tahap inisiasi dan promosi. Inisiasi adalah awal terjadinya perubahan sel yang disebabkan oleh interaksi bahan-bahan kimia, radiasi, dan virus dengan DNA dalam sel. Perubahan ini terjadi sangat cepat, tapi sel yang telah berubah ini tidak aktif selama waktu yang
15
tidak dapat ditentukan, tahap berikutnya yaitu aktifnya sel-sel kanker yang menjadi matang, berkembang, dan kemudian menyebar dengan cepat. Tahap inisiasi hingga manifestasi klinis dapat terjadi dalam waktu 5-20 tahun (Almatsier, 2008). Ada banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan kemungkinan perkembangan kanker payudara, tetapi belum diketahui dengan tepat pengaruh beberapa faktor resiko tersebut dalam menyebabkan sel menjadi kanker. Sel payudara yang normal menjadi kanker karena perubahan (mutasi) DNA. DNA adalah substansi kimia yang ada didalam setiap sel-sel tubuh manusia yang membentuk gen. Gen memiliki instruksi tentang fungsi sel-sel tubuh manusia. Beberapa gen mengontrol ketika selsel manusia tumbuh, membelah, dan mati (apoptosis). Artinya, mutasi setiap sel pada tubuh seseorang dapat meningkatkan resiko perkembangan kanker. Mutasi yang menyebabkan berkembangnya kanker payudara dapat berupa: mutasi protoonkogen menjadi onkogen, mutasi gen supresor tumor, mutasi gen yang diturunkan, dan mutasi gen yang didapat (Kumar et al., 2013). Gen yang mempercepat pembelahan sel disebut onkogen, sedangkan gen yang secara normal membantu pertumbuhan sel disebut proto- onkogen. Apabila proto-onkogen mengalami mutasi atau terlalu banyak jumlahnya, akan mengakibatkan onkogen menjadi permanen teraktivasi pada keadaan yang tidak seharusnya. Hasilnya, sel tumbuh diluar kendali sehingga dapat menimbulkan kanker (Karp, 2010) c. Faktor Risiko Beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko kanker payudara terbagi atas faktor termodifikasi dan faktor yang tidak termodifikasi. Faktor yang tidak termodifikasi diantaranya usia, riwayat keluarga, menarke dini, menopause yang terlambat, dan riwayat menderita lesi jinak maupun ganas pada payudara. Faktor yang termodifikasi diantaranya termasuk obesitas setelah menopause, penggunaan kombinasi hormon estrogen dan pro gestin pada saat menopause, konsumsi alkohol, menyusui, terapi hormon, merokok, dan radiasi (American Cancer Society, 2015) 2.2.1
Deteksi Dini/Skrining Kanker Payudara
16
Ada dua komponen deteksi dini yaitu skrining dan edukasi tentang penemuan dini (early diagnosis). Upaya deteksi dini Kanker Payudara adalah upaya untuk mendeteksi dan mengidentifikasi secara dini adanya Kanker Payudara, sehingga diharapkan dapat diterapi dengan teknik yang dampak fisiknya kecil dan punya peluang lebih besar untuk sembuh. Upaya ini sangat penting, sebab apabila Kanker Payudara dapat dideteksi pada stadium dini dan diterapi secara tepat maka tingkat kesembuhan yang cukup tinggi (8090%). Skrining pada Kanker Payudara yang dilakukan oleh petugas kesehatan dapat dilakukan dengan berbagai cara : a. Pemeriksaan Payudara Sendiri (SADARI) -
Berdiri di depan cermin dengan lengan menjuntai ke bawah. Perhatikan apakah ada benjolan/perubahan bentuk dan ukuran payudara
-
Angkat kedua lengan sampai berada di belakang kepala, ulangi pemeriksaan disisi samping tubuh
-
Tekan kuat tangan di pinggul, gerakkan lengan serta siku ke depan
sambal
mengangkat
bahu.
Gerakan
ini
akan
menegangkan otot payudara dan membuat benjolan lebih mudah terlihat -
Angkat lengan, raba payudara dengan telunjuk, jari tengah dan jari manis lengan satunya. Lakukan gerakan memutar ke atas, bawah/gerakan dari tengah ke luar untuk meraba adanya benjolan
-
Pencet pelan-pelan putting payudara. Perhatikan apakah keluar cairan yang tidak normal
-
Berbaring dengan tangan kiri di bawah kepala. Letakkan bantal kecil di bawah bahu kanan. Raba seluruh permukaan payudara dengan gerakan memutar dari tengah ke luar/atas bawah. Ulangi pemeriksaan pada payudara kanan.
b. Pemeriksaan (SADANIS)
Payudara
Klinis
Oleh Tenaga
Medis
Terlatih
17
-
Pada perempuan sejak pertama mengalami haid dianjurkan melaksanakan SADARI, sedangkan pada perempuan yang lebih tua dianjurkan SADANIS yang dilakukan setiap tiga tahun sekali.
-
Untuk perempuan yang mendapatkan kelainan pada saat SADARI dianjurkan dilaksanakan SADANIS sehingga dapat lebih dipastikan apakah ada kemungkinan keganasan.
-
Pada perempuan berusia di atas 40 tahun, dilakukan SADANIS setiap tahun
c. Pemeriksaan Ultrasonography (USG) -
Apabila pada pemeriksaan SADANIS terdapat benjolan dibutuhkan pemeriksaan lanjutan dengan USG maupun Mammografi.
-
USG dilakukan terutama untuk membuktikan adanya massa kistik dan solid/padat yang mengarah pada keganasan, dan pada perempuan di bawah usia 40 tahun
c. Pemeriksaan Skrining Mammografi -
Dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan secara berkala, yaitu pada perempuan usia 40 – 50 tahun setiap 2 tahun sekali dan setiap 1 tahun sekali pada perempuan di atas 50 tahun kecuali yang mempunyai faktor risiko.
-
Dilakukan pada perempuan yang bergejala maupun pada perempuan yang tidak bergejala (opportunistic screening dan organized screening).
-
Dengan kemampuan dan kapasitas tenaga kesehatan di Puskesmas, apabila ditemukan tumor pada payudara, petugas kesehatan harus merujuk ke pelayanan dengan fasilitas dan kemampuan
yang
lebih
tinggi
seperti
rumah
sakit
kabupaten/kota untuk mendapatkan konfirmasi diagnosis dan tindak lanjut yang dibutuhkan oleh pasien tersebut.
18