JURNAL PRAKTIKUM FARTER IV

  • Uploaded by: Arisanthi Maharani
  • Size: 119.2 KB
  • Type: PDF
  • Words: 1,707
  • Pages: 8
Report this file Bookmark

* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.

The preview is currently being created... Please pause for a moment!

Description

15

PRAKTIKUM IV PENYAKIT ASMA I.

TUJUAN PRAKTIKUM 1. Mengetahui Definisi Asma. 2. Mengetahui Pathogenesis Asma. 3. Mengetahui Klasifikasi Asma. 4. Mengetahui Tatalaksana Asma. 5. Dapat menyelesaikan kasus terkait Asma secara mandiri dengan menggunakan metode SOAP.

II.

DASAR TEORI II.1

Definis Asma Asma adalah gangguan pada bronkus dan trakhea yang

memiliki reaksi berlebihan terhadap stimulus tertentu dan bersifat reversibel. Definisi asma juga disebutkan oleh Reeves dalam buku Padila yang menyatakan bahwa asma adalah obstruksi pada bronkus yang mengalami inflamasi dan memiliki respon yang sensitif serta bersifat reversible (Padila, 2015). Asma merupakan penyakit kronis yang mengganggu jalan napas akibat adanya inflamasi dan pembengkakan dinding dalam saluran napas sehingga menjadi sangat sensitif terhadap masuknya benda asing yang menimbulkan reaksi berlebihan. Akibatnya saluran nafas menyempit dan jumlah udara yang masuk dalam paru-paru berkurang. Hal ini menyebabkan timbulnya napas berbunyi (wheezing), batuk-batuk, dada sesak, dan gangguan bernapas terutama pada malam hari dan dini hari (Soedarto. 2012). Asma adalah gangguan pada saluran bronkhial dengan ciri bronkospasme periodic (kontraksi spasme pada spasme saluran pernafasan). Bronkus mengalami inflamsi atau peradangan dan hiperresponsif

sehingga

saluran

nafas

menyempit

dan

menimbulkan kesulitan dalam bernafas. Asma adalah penyakit obtruksi saluran pernafasan yang bersifat reversible dan berbeda dari obstruksi saluran pernafasan lain seperti pada penyakit

Efektifitas Latihan Nafas..., Dodi Rohman, Fikes UMP, 2015

16

bronchitis yang bersifat irreversible dan berkelanjutan (Saktya, 2018). II.2

Pathogenesis Asma Penyakit asma merupakan penyakit inflamasi saluran nafas,

ditandai dengan bronkokonstriksi, inflamasi dan respon yang berlebihan pada rangsangan (hyperresponssiveness). Selain itu terjadi penurunan kecepatan aliran udara akibat dari penyempitan bronkus. Akibatnya penderita menjadi kesulitan untuk bernafas. Selain itu, terjadi peningkatan mucus secara berlebihan. Asma yang disebabkan oleh menghirup alergen, biasanya tejadi pada anak – anak yang memiliki keluarga dengan riwayat penyakit alergi (baik eksim, ultikaria, atau hay fever). Asma juga dapat terjadi akibat udara dingin, obat – obatan, stres dan olahraga yang terlalu berat. Meskipun ada beberapa cara untuk menimbulkan proses inflamasi, karakteristik asma pada umumnya sama yaitu terjadi infiltrasi eosinofil dan limfosit serta terjadi pengelupasan mukosa. Kejadian ini bahkan dijumpai pada penderita asma ringan. Pada pasien yang meninggal dunia karena serangan asma, secara histologis terlihat adanya sumbatan (plug) yang terdiri dari mukus glikoprotein dan eksudat protein plasma yang memperangkat debris yang berisi sel – sel epitelial yang berkelupas dan sel inflamasi. Selain itu, terlihat adanya penebalan lapisan subepitelial saluran nafas. Respon inflamasi ini terjadi di sepanjang jalan nafas, dari trakea sampai ujung bronkiolus. Hal ini juga menyebabkan terjadi hyperplasia dari kelenjar sel goblet yang menyebabkan

hipersekresi

mukus

secara

berlebihan

yang

kemudian turun sehingga menyumbat saluran nafas. Sel utama yang terus berkontribusi pada rangkaian ini diantaranya sel mast, limfosit dan eosinofhil. Pada kasus asma alergi, bronkospasme terjadi akibat meningkatnya

responsitivitas

otot

bronkus

akibat

adanya

rangsangan dari luar yang disebut alergen. Rangsangan ini

Efektifitas Latihan Nafas..., Dodi Rohman, Fikes UMP, 2015

17

kemudian memicu pelepasan berbagai senyawa endogen dari sel mast yang merupakan mediator inflamasi, yaitu histamin, leukotrien merupakan bronkokonstriktor yang paten, sedangkan faktor kemotak keosinopil bekerja menarik secara kimiawi sel eosinofil ke tempat tejadinya peradangan yaitu pada bronkus (Masriadi, 2016). II.3

Klasifikasi Asma Menurut GINA, Tahun 2011 Klasifikasi asma berdasarkan

tingkat keparahnya dibagi menjadi empat yaitu : a. Step 1 (Intermitten) Gejala perhari ≤ 2X dalam seminggu. Nilai PEF normal dalam kondisi serangan asma. Exacerbasi: Bisa berjalan ketika bernapas, bisa mengucapkan kalimat penuh. Respiratory Rate (RR) meningkat. Biasanya tidak ada gejala retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≤ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau <20 %. b. Step 2 (Mild intermitten) Gejala perhari ≥ 2X dalam seminggu, tapi tidak 1X sehari. Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Membaik ketika duduk, bisa mengucapkan kalimat frase, RR meningkat, kadang- kadang menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 2X dalam sebulan. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≥ 80% atau 20% – 30%. c. Steep 3 (Moderate persistent) Gejala perhari bisa setiap hari, Serangan asma diakibatkan oleh aktivitas. Exaserbasi: Duduk tegak ketika bernapas, hanya dapat mengucapkan kata per kata, RR 30x/menit, Biasanya menggunakan retraksi iga ketika bernapas. Gejala malam ≥ 1X dalam seminggu. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF 60% - 80% atau > 30%.

Efektifitas Latihan Nafas..., Dodi Rohman, Fikes UMP, 2015

d. Step 4 (Severe persistent) Gejala perhari, Sering dan Aktivitas fisik terbatas. Eksacerbasi: Abnormal pergerakan thoracoabdominal. Gejala malam Sering. Fungsi paru PEF atau PEV1 Variabel PEF ≤ 60% atau > 30%. Diambil dari GINA (2005). Global Strategy for Asthma Management and Prevention, www.ginasthma.com; Lewis, Heitkemper, Dirksen (2000). MedicalSurgical Nursing. St. Louis, Missouri: Mosby ; Wong (2003). Nursing Care of Infants and Children. St. Louis, Missauri:Mos. Brunner & suddarth (2002) menyampaikan asma sering di rincikan sebagai alergik, idiopatik, nonalergik atau gabungan, yaitu : a. Asma alergik Disebabkana oleh alergen atau alergen-alergen yang dikenal (misal: serbuk sari, binatang, amarah dan jamur ) kebanyakan alergen terdapat di udara dan musiman. Pasien dengan asma alergik biasanya mempunyai riwayat keluarga yang alergik dan riwayat masa lalu ekzema atau rhinitis alergik, pejanan terhadap alergen pencetus asma. b. Asma idiopatik atau nonalergik Asma idiopatik atau nonalergik tidak ada hubungan dengan alergen spesifik faktor-faktor, seperti comand cold, infeksi traktus respiratorius, latihan, emosi, dan polutan lingkungan yang dapat mencetuskan rangsangan. Agen farmakologis seperti aspirin dan

alergen anti inflamasi non steroid lainya, pewarna rambut dan agen sulfit (pengawet makanan juga menjadi faktor). Serangan asma idiopatik atau nonalergik menjadi lebih berat dan sering sejalan dengan berlalunya waktu dapat berkembang menjadi bronkitis kronis dan empizema. c. Asma gabungan Adalah asma yang paling umum. Asma ini mempunyai karakteristik dari bentuk alergik maupun bentuk idiopatik atau nonalergik. II.4

Tatalaksana Asma

a. Pengendalian asma Manajemen pengendalian asma terdiri dari 6 (enam) tahapan yaitu sebagai berikut: 1. Pengetahuan Memberikan pengetahuan kepada penderita asma tentang keadaan penyakitnya dan mekanisme pengobatan yang akan dijalaninya kedepan (GINA, 2005). 2. Monitor Memonitor asma secara teratur kepada tim medis yang menangani penyakit asma. Memonitor perkembangan gejala, hal- hal apa saja yang mungkin terjadi terhadap penderita asma dengan kondisi gejala yang dialaminya beserta memonitor perkembangan fungsi paru (GINA, 2005). 3. Menghindari Faktor Resiko Hal yang paling mungkin dilakukan penderita asma dalam mengurangi gejala asma adalah menhindari faktor pencetus yang dapat meningkatkan gejala asma. Faktor resiko ini dapat berupa makanan, obat-obatan, polusi, dan sebagainya (GINA, 2005). b. Pengobatan Medis Jangka Panjang Pengobatan

jangka

panjang

terhadap

penderita

asma,

dilakukan

berdasarkan tingkat keparahan terhadap gejala asma tersebut. Pada penderita asma intermitten, tidak ada pengobatan jangka panjang. Pada penderita asma mild intermitten, menggunakan pilihan obat glukokortikosteroid inhalasi dan

didukung oleh Teofilin, kromones, atau leukotrien. Dan untuk asma moderate persisten, menggunakan pilihan obat β-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau leukotrien. Untuk asma severe persisten, β2- agonist inhalasi dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral (GINA, 2005). Berikut penjelasan tentang obat-obat pengontrol asma (Controller): 1. Glukokortikosteroid Inhalasi Jenis obat ini digunakan selama satu bulan atau lebih untuk mengurangi gejala inflamasi asma. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru, mengurangi hiperresponsive dan mengurangi gejala asma dan meningkatkan kualitas hidup (GINA, 2005). Obat ini dapat menimbulkan kandidiasis orofaringeal, menimbulkan iritasi pada bagian saluran napas atas dan dapat memberikan efek sistemik, menekan kerja adrenal atau mengurangi aktivitas osteoblast (GINA, 2005). 2. Glukokortikosteroid Oral Mekanisme kerja obat dan fungsi obat ini sama dengan obat kortikosteroid inhalasil. Obat ini dapat menimbulkan hipertensi, diabetes, penekanan kerja hipothalamus-pituitary dan adrenal, katarak, glukoma, obaesitas dan kelemahan (GINA, 2005). 3. Kromones (Sodium Cromogycate dan Nedocromyl Sodium Obat ini dapat menurunkan jumlah eosin bronchial pada gejala asma. Obat ini dapat menurunkan gejala dan menurunkan reaksi hiperresponsive pada 2-agonist inhalsi dikombinasikan dengan glukokortikoid inhalasi, teofiline atau leukotrien.

Untuk

asma

severe

persisten,

β2-agonist

inhalasi

dikombinasikan dengan glukokortikosteroid inhalasi, teofiline dan leukotrien atau menggunakan obat β2 agonist oral (GINA, 2005). imun nonspecific. Obat ini dapat menimbulkan batuk-batuk pada saat pemakaian dengan bentuk formulasi powder (GINA, 2005). 4. Β2-Agioinst Inhalasi Obat in berfungsi sebagai bronkodilator selama 12 jam setelah pemakaian. Obat ini dapat mengurangi gejala asma pada waktu malam, meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menimbulkan

tremor pada bagian musculoskeletal, menstimulasi kerja cardiovascular dan hipokalemia (GINA, 2005). 5. B2-Agonist Oral Obat ini sebagai bronkodilator dan dapat mengontrol gejala asma pada waktu malam. Obat ini dapat menimbulkan anxietas, meningkatkan kerja jantung, dan menimbulkan tremor pada bagian muskuloskeletal (GINA, 2005). 6. Teofiline Obat ini digunakan untuk menghilangkan gejala atau pencegahan asma bronkial dengan merelaksasi secara langsung otot polos bronki dan pembuluh darah pulmonal. Obat ini dapat menyebabkan efek samping berupa mual, muntah, diare, sakit kepala, insomnia dan iritabilitas. Pada level yang lebih dari 35 mcg/mL menyebabkan hperglisemia, hipotensi, aritmia jantung, takikardi, kerusakan otak dan kematian (Depkes RI, 2007). 7. Leukotriens Obat ini berfungsi sebagai anti inflamasi. Obat ini berfungsi untuk mengurangi gejala termasuk batuk, meningkatkan fungsi paru dan menurunkan gejala asma (GINA, 2005). Berikut penjelasan tentang obat-obat meringankan (Reliever) asma: 1. β2 Agoinst Inhalasi Obat ini bekerja sebagai bronkodilator. Obat ini digunakan untuk mengontrol gejala asma, variabilitas peak flow, hiperresponsive jalan napas. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005). 2. Β2- Agionst Oral Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat menstimulasi kerja jantung, tremor otot skeletal dan hipokalemia (GINA, 2005). 3. Antikolinergic Obat ini sebagai bronkodilator. Obat ini dapat meningkatkan fungsi paru. Obat ini dapat menyebabkan mulut kering dan pengeluaran mucus (GINA, 2005). c. Metode Pengobatan Alternative Metode pengobatan alternative ini sebagian besar masih dalam penelitian. Buteyko merupakan salah satu pengobatan alternative yang terbukti dapat menurunkan ventilasi alveolar terhadap hiperventilasi paru penderita asma,

selain itu memperbaiki gejala yang ditimbulkan asma. Buteyko ini merupakan tehnik bernapas yang dirancang khusus untuk penderita asma dengan prinsip latihan tehnik bernapas dangkal (GINA, 2005). Slow deep breathing adalah metode bernapas yang frekuensi bernapas kurang dari 10 kali permenit dengan fase ekshalasi yang panjang (Breathesy, 2007). Slow deep breathing adalah gabungan dari metode nafas dalam (deep breathing) dan napas lambat sehingga dalam pelaksanaan latihan pasien melakukan nafas dalam dengan frekuensi kurang dari atau sama dengan 10 kali permenit. Latihan napas dalam dan lambat secara teratur akan meningkatkan respons saraf parasimpatis dan penurunan aktivitas saraf simpatik, meningkatkan fungsi pernafasan dan kardiovaskuler, mengurangi efek stres, dan meningkatkan kesehatan fisik dan mental (GINA, 2005). Penelitian Telles dan Desiraju (1991) menunjukkan bahwa pengaturan pernapasan dalam dan lambat menyebabkan penurunan secara signifikan konsumsi oksigen. Teknik pernapasan dengan pola yang teratur juga dapat dilakukan untuk relaksasi, manajemen stres, kontrol psikofisiologis dan meningkatkan fungsi organ (GINA, 2005). III.

KASUS

Similar documents

JURNAL PRAKTIKUM FARTER IV

Arisanthi Maharani - 119.2 KB

Arte de Acampar IV

Ewing Ariel - Guias Mayores Jaasai - 227.8 KB

Discurso Egreso IV 2020 1

Carlos Enrique Villavicencio Beltran - 165.9 KB

IV BI ARTE

Julio Ernesto Vela Mozombite - 101.8 KB

Penuntun Praktikum TF Steril 2018-converted

Jimin's Telescope - 687 KB

TAREA IV DE BIOLOGIA Y SU LABORATORIO

gladys castillo - 88.5 KB

Add IV Primer - 25 September 2021 Final

urang maknyus - 17.8 MB

A Arte de Orar IV

Elilde Vavá Caetano - 119.7 KB

planificare clasa a Iv-a

Nicoleta Magala - 145.3 KB

Act 1-Historia IV - Copia

Ismael Vazquez - 51.2 KB

jurnal Zaini

Mas joo - 266.3 KB

© 2024 VDOCS.RO. Our members: VDOCS.TIPS [GLOBAL] | VDOCS.CZ [CZ] | VDOCS.MX [ES] | VDOCS.PL [PL] | VDOCS.RO [RO]