ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
VIABILITAS BIJI SENGON PENYIMPANAN 6 BULAN DAN 23 TAHUN Seed viability of sengon after 6 months and 23 years storage Liliana Baskorowati, Dedi Setiadi, Mohammad Anis Fauzi 1,
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Email:
[email protected]
Abstrak:
Sengon yang banyak dikembangkan oleh masyarakat di Jawa karena cepat tumbuh dan mempunyai pangsa pasar kayu yang bagus. Hal tersebut menyebabkan permintaan akan bibit sengon di masyarakat sangat tinggi. Pembibitan sengon selama ini dilakukan melalui penyemaian biji yang didapat dari tanaman-tamanan sengon disekitarnya. Untuk menunjang penyediaan bibit, maka penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui viabilitas biji sengon setelah penyimpanan yang lama (23 tahun) dan penyimpanan selama 6 bulan. Penelitian dilakukan di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan pada bulan Januari sampai Maret 2017. Benih sengon yang digunakan adalah benih sengon yang dieksplorasi dari 5 provenan (daerah asal) di Wamena dan Jawa untuk uji umur 6 bulan; serta 5 provenan dari Wamena untuk uji umur 23 tahun oleh tim peneliti sengon B2P2PBPTH. Benih sengon tersebut disimpan di dalam plastik tertutup yang dimasukkan ke dalam botol plastik dan disimpan dalam DCS (Dry Cold Storage) dengan suhu -5oC. Pengujian viabilitas benih dilakukan dengan menabur benih masing masing 25 biji menggunakan petridish, dan jumlah benih yang berekecambah diamati pada hari ke 2. 5 dan 7. Pertumbuhan tinggi semai umur 1 bulan dicatat, untuk mengetahui laju pertumbuhannya. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa perkecambahan maksimal terjadi pada hari ke 7 dan tidak terjadi penambahan kecambah pada hari ke 9. Kemampuan kecambah sengon dengan lama simpan 6 bulan menunjukkan perbedaan yang nyata antar provenan dengan nilai F hitung = 3.391 dan P (sig) = 0.000; sedangkan yang dengan lama simpan 23 tahun tidak berbeda secara nyata antar provenan. Rerata persen kecambah untuk benih dengan penyimpanan 6 bulan : 81,99% sedangkan dengan penyimpanan 23 tahun : 60,31%. Analisis data pengukuran tinggi semai sengon umur 1 bulan dari benih yang disimpan selama 6 bulan menunjukan perbedaan yang sangat nyata antar provenan; semai sengon dari Elagiama mencapai rerata tinggi 8.67 cm; pertumbuhan tinggi terendah adalah semai yang berasal dari Wonosobo (5.98 cm). Variasi pertumbuhan semai sengon umur 1 bulan antar provenan Wamena juga ditunjukkan dari benih sengon yang sudah disimpan selama 23 tahun. Secara umum benih yang masih baru (disimpan 6 bulan) mempunyai kemampuan tumbuh yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang sudah lama tersimpan (23 tahun). Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa biji sengon dapat disimpan di DCS dalam waktu yang lama, meskipun terjadi penurunan viabilitas.
Kata Kunci:
sengon, viabilitas, penyimpanan, dry cold storage, pertumbuhan, semai
1.
PENDAHULUAN
Sengon (Falcataria moluccana (Miq.) Barney & J.W. Grimes) merupakan salah satu jenis tanaman kehutanan yang diminati oleh masyarakat karena memiliki nilai ekomoni yang cukup tinggi sehingga banyak dikembangkan oleh masyarakat di Indonesia. Pada umumya, sengon dikembangkan masyarakat dalam bentuk hutan rakyat sebagai penaung pada tanaman perkebunan, maupun tanaman monokultur karena pertumbuhannya sangat cepat-mencapai 7 m dalam setahun (Wiryadiputra, 2007; Anggraeni & Lelana, 2011). Selain itu, tanaman sengon mampu beradaptasi pada berbagai kondisi tanah, mempunyai karakter silvikultur yang baik, serta batangnya dapat digunakan sebagai bahan industri panel dan berbagai industri pertukangan (Krisnawati et al., 2011). Daun pohon sengon sangat disukai ternak sehingga dimanfaatkan oleh petani sebagai
62
pakan ternak. Manfaat kayu sengon sangat banyak, menurut Krisnawati et al., (2011); Iskandar (2006) kayu ini umumnya digunakan sebagai bahan konstruksi ringan; bahan perabotan dan kabinet; serta bahan kemasan ringan. Lebih lanjut disebutkan bahwa sengon juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan kayu lapis, papan partikel dan kayu lamina. Dikarenakan kayu sengon mempunyai manfaat yang nayak menyebabkan kayu sengon mempunyai nilai jual yang tinggi dengan harga 1 m kubik sengon mencapai Rp. 650.000,-/ m3 sd Rp. 850.000 ketika dipanen pada umur 5–6 tahun, (Siregar et al., 2010; Mulyana & Asmarahman, 2012). Kebutuhan kayu sengon tiap tahunnya mencapai 500 ribu m3 dan sampai saat ini belum bisa terpenuhi. Sebagai contoh pemenuhan kayu sengon untuk industri di Jawa Barat hanya 15,6% dari kapasitas produksi yang seharusnya
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
yaitu 653.460 m3, sehingga pangsa pasar kayu masih terbuka luas (Pasaribu & Roliadi, 2006). Hal tersebut membuat masyarakat berduyunduyun menanam pohon sengon dilahan-lahan mereka, yang umumnya dikembangkan di hutan rakyat. Peningkatan produksi kayu sengon rakyat terjadi di Kabupaten Wonosobo dan Temanggung hingga tahun 2007; pada tahun 2005 produksinya mencapai 11.769,34 m3 dan meningkat menjadi 759.653,70 m3 pada tahun 2006 (Hakim et al., 2009; BPS, 2006). Peningkatan tersebut selain karena pangsa pasar yang jelas juga dikarenakan kemudahan menanam jenis sengon, tidak memiliki persyaratan tumbuh yang rumit, memiliki daur panen pendek (5–8 tahun) dan dapat ditanam tumpang sari dengan tanaman pertanian yang lain. Namun demikian beberapa tahun terakhir terdapat kendala yang sering dihadapi dalam mengembangkan sengon, yaitu serangan penyakit karat tumor yang disebabkan oleh jamur karat dari jenis Uromycladium falcatarium (Dongsa-ard et al., 2015). Hal tersebut menyebabkann penurunan produksi kayu sengon di Kabupaten Wonosobo sebesar 165.529 m3 pada tahun 2008 (Hakim et al., 2009). Penyakit karat tumor sangat merugikan masyarakat karena menyebabkan patah pohonnya jika penyakit tersebut menyerang bagian batang. Usaha pengendalian penyakit karat tumor telah dilakukan (Wibowo, 2012; Rahayu, 2014; Krisnawati et al., 2011). Lebih lajut dikatakan oleh Rahayu (2014) salah satu alternatif cara pengendalian yang dianggap sesuai dalam rangka menekan penyakit karat tumor adalah menggunakan benih yang berasal dari sumber benih terseleksi, yaitu sumber benih yang terbukti memiliki sifat genetik tahan terhadap penyakit karat tumor. Beberapa penelitian telah dilakukan terkait pengujian sumber benih sengon untuk mengetahui responnya terhadap penyakit karat tumor. Uji resistensi terhadap penyakit karat tumor pada sengon umur 3 tahun di Kediri menunjukkan pohon dari Wamena, Papua, lebih toleran terhadap penyakit karat tumor dibandingkan dengan pohon yang berasal dari Candiroto, Kediri, dan Lombok Baskorowati et al. (2012). Pohon dari Wamena memiliki nilai luas serangan dan intensitas penyakit yang paling kecil dibandingkan lainnya. Rahayu et al. (2009) juga mengemukakan hasil penelitiannya terkait inokulasi buatan jamur U. tepperianum pada semai sengon umur 6 minggu di
persemaian, diketahui semai yang berasal dari Wamena lebih resisten terhadap penyakit karat tumor jika dibandingkan dengan Kediri, Timor Timur, Morotai, 2S/75 (berasal dari Sabah) dan Walang Gintang. Hasil penelitian lain pada tingkat semai juga menjukkan bahwa semai dari sumber benih Wamena (distrik Elagaima dan Siba) lebih toleran terhadap penyakit karat tumor dibandingkan sumber benih dari Jawa (Candiroto, Kediri dan Wonosobo) yang ditunjukkan dengan tidak adanya serangan penyakit (intensitas serangan dan luas serangan 0%) pada semai asal Wamena (Baskorowati & Nurrohmah, 2011). Semai dari Wamena mampu merespon dengan baik adanya infeksi oleh patogen jamur karat dan ditunjukkan dengan gradien laju perkembangan penyakit yang justru semakin menurun, dan akhirnya setelah 2 bulan pengamatan tidak lagi berpengaruh merusak pada semai tersebut. Hal tersebut sejalan dengan hasil penelitian awal Charomaini & Ismail (2008) pada pertumbuhan uji lapangan umur 6 bulan, juga menyebutkan bahwa individu-individu yang berasal dari provenans Papua seperti Waga-waga, Wamena, Hubikosi, dan Maulina Bawah lebih tahan terhadap serangan penyakit karat tumor. Penggembangan sumber benih sengon yang toleran telah dilakukan oleh Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta sejak tahun 2010. Pembangunan sumber benih dengan menggunakan benih yang berasal dari berbagai populasi di Wamena Papua telah dilakukan di Jampang-Sukabumi; Jembrana-Bali Barat dan Kepahiyang-Sukabumi (BBPPBPTH, 2015). Namun demikian, sumber benih tersebut belum berbunga dan berbuah sampai saat ini, sehingga pemenuhan masyarakat akan kebutuhan benih sengon yang toleran terhadap karat tumor belum tersedia. Hal tersebut menyebabkan pemenuhan kebutuhan benih masih dipenuhi dari tegakan yang sudah ada; yang tidak diketahui asalusulnya. Meskipun sengon berbunga sepanjang tahun dan berbuah pada bulan Juni-November (umumnya pada akhir musim kemarau); namun panen baru dapat dilakukan pada bulan JuliAgustus (Rudjiman, 1994; Krisnawati et al., 2011). Kekurangan pemenuhan benih yang baru dipanen menyebabkan pemenuhan kebutuhan benih dilakukan menggunakan benih yang sudah lama disimpan. Hal tersebut perlu mendapat perhatian, mengingat benih yang disimpan lama umumnya akan mengalami penurunan viabilitas (Achmad et al., 2012).
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
63
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
Menghadapi keadaan tersebut diperlukan kajian bagaimana dengan viabilitas (kemampuan berkecambah) biji sengon yang sudah disimpan selama 23 tahun. Informasi akan kemampuan berkecambah serta pertumbuhannya di tingkat persemaian benih sengon yang sudah tersimpan lama akan menjadi sangat berarti untuk masyarakat.
2. METODE PENELITIAN 2.1. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Benih serta di persemaian Balai Penelitian dan Penggembangan Bioteknologi dan Pemuliaan Tanaman Hutan Yogyakarta. Penelitian dilakukan pada bulan Januari s/d Maret 2017. Benih sengon yang digunakan adalah benih sengon yang dieksplorasi dari 5 provenan (daerah asal) di Wamena dan Jawa untuk uji umur 6 bulan; serta 5 provenan dari Wamena untuk uji umur 23 tahun oleh tim peneliti sengon B2P2PBPTH. Asal usul benih disajikan pada Tabel 1. Benih tersebut telah disortasi, ekstrasi, dan disimpan dalam botol plastik yang kedap udara dan dimasukkan dalam Dry Cold Storage dengan suhu -5oC. Tabel 1. Asal usul (provenan) benih sengon pada uji viabilitas benih sengon setelah penyimpanan 6 bulan dan 23 tahun. No Provenan Latitute Lama simpan 6 bulan 1 Elagaima, Hobikosi 138o51o36.2’’E 2 Siba, Hobikosi 138o51o14.7’’E 3 Candiroto, Jawa Tengah 110o03o56.6’’E 4 Wonosobo, Jawa Tengah 109o55o07.3’’E 5 Kediri, Jawa Tengah 112o12o55.7’’E Lama simpan 23 tahun 1 Hobikosi, Wamena 138o10’E 2 Muai, Wamena 138o91’E 3 Mualiama Bawah, Wamena 138o72’E 4 Pyramid, Wamena 138o74’E 5 Waga-waga, Wamena 138o59’E
2.2. Alat dan Bahan Penelitian Bahan-bahan yang digunakan untuk perkecambahan adalah benih sengon, kantong perkecambahan, kertas saring whatman, cawan petri, aquades; sedangkan bahan untuk dipersemaian berupa tanah, pasir, sekam (perbandingan 1:1:1) yang sudah dimasukkan dalam polybag sedang.
64
2.3. Pengambilan Sampel Benih sengon dari 10 provenan, dengan total jumlah sampel 200 dimasukkan dalam kantong perkecambahan. Pemberian nomer sampel dilakukan dengan menggunakan pensil untuk menghindari terhapusnya tulisan karena air; kemudian untuk mematahkan dormansinya benih sengon direndam air yang mendidih selama 2 jam. Benih dalam kantong perkecambahan kemudian ditiriskan dan ditunggu sampai benar-benar dingin dan tiris. Petridish yang sudah disterilkan dengan autoclave, dilapisi kertas saring whatman serta diberi aquadest digunakan sebagai media kecambah (Gambar 1). Pengamatan terhadap perkecambahn dilakukan pada hari ke 3, 5 dan 7 setelah penaburan dengan mencatat jumlah kecambah normal yang tumbuh. Kriteria kecambah normal adalah telah munculnya sepasang daun dan bebas dari serangan hama. Jumlah benih yang berkecambah dicatat untuk mengetahui kemampuan kecambah. Penyapihan kecambah dilakukan setelah hari ke 7, dimana sudah tidak ada benih yang berkecambah normal lagi. Hasil kecambah yang normal dipindahkan ke polybag dengan media yang sudah disiapkan dengan jumlah ulangan 5 dan setiap ulangan 10 bibit. Pengukuran pertumbuhan tinggi semai, jumlah yang hidup serta jumlah daun semai dilakukan ketika semai umur 1 bulan.
Gambar 1. Perkecambahan sengon pada hari ke 5 Analis varian dilakukan untuk mengetahui variasi kemampuan berkecambah antar provenan yang diuji; serta untuk mengetahui adakah perbedaan pertumbuhan tinggi antar provenan.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1. Perkecambahan sengon Hasil analisis varians dari kecambah benih sengon umur 6 bulan penyimpanan menunjukkan perbedaan yang nyata antar
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
provenan dengan nilai F hitung = 3.391 dan P (sig) =0.000. Dilihat dari Grafik 1, sengon yang berasal dari Candiroto mempunyai rerata kecambah tertinggi (100%) diikuti dengan sengon dari Siba Wamena (89%). Sedangkan rerata kecambah terendah adalah sengon dari Elagaima-Wamena (70%) dan Kediri Jawa Timur (71%).
Grafik 1. Rerata perkecambahan sengon dan standar error lama penyimpanan 6 bulan. Sedangkan hasil analisis varians persen kecambah sengon umur penyimpanan 23 tahun, tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antar provenan dengan nilai F hitung = 29.83 dan P (sig) =0.1364. Grafik 2 memperlihatkan bahwa benih sengon yang sudah disimpan selama 23 tahun mempunyai kemampuan berkecambah diatas 50%. Tidak adanya perbedaan yang nyata kemampuan berkecambah antar provenan menunjukkan bahwa asal-usul benih tidak berpengaruh pada viabilitas benih ketika disimpan dalam kondisi penyimpanan yang sama.
Jika dilihat dari Grafik 3, diketahui bahwa lama penyimpanan akan menurunkan viabilitas benih. Hal ini dikarenakan selama proses penyimpanan, benih akan mengalami deteriorasi yang mengakibatkan turunnya kualitas benih. Penyimpanan benih menjadi faktor utama untuk menjaga kualitas benih tetap baik. Menurut Kuswanto (2003) ada beberapa faktor yang harus diperhatikan dalam penyimpanan benih : (a). Sifat genetis dari setiap species berbeda dan sifat ini akan mempengaruhi kekerasan kulit benih dan permiabilitas kulit benih. Benih dengan kulit yang keras dan permiabilitas rendah (Leguminosae) dapat disimpan lebih lama. Perbedaan juga bias terjadi antar varietas bahkan antar seed lot. Hal ini dapat terjadi Karena sifat ketahanan benih adalah individual meskipun dipanen dalam waktu yang sama; (b). Kemasakan benih dan ukuran benih sebelum panen. Jika benih diunduh pada saat benih masak secara fisiologis maka akan lebih tahan ketika disimpan karena belum mengalami proses deteriorasi; (c). Dormansi benih, benih yang disimpan dalam kondisi dorman akan lebih tahan lama; (d). Kadar air benih yang rendah akan mempengaruhi lamanya penyimpanan benih; (e). Kondisi tempat penyimpanan, dimana semakin rendah suhu tempat penyimpanan benih maka akan semakin lama bertahan.
Grafik 3. Rerata perkecambahan sengon dan standar error. Grafik 2. Rerata perkecambahan sengon dan standar error lama penyimpanan 23 tahun.
Dari penelitian ini viabilitas benih yang lama kemungkinan disebabkan oleh penyimpanan
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
65
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
dan perlakuan sebelum penyimpanan yang tepat sehingga deteriorasi benih lambat terjadi. Penyimpanan benih dilakukan setelah benih dijemur dan dibersihkan dari kotoran, sehingga kelembapan dan kandungan air rendah. Suhu yang rendah di dalam dry cold storage (-5oC) juga menyebabkan semakin lambatnya laju deteriorasi sehingga benih dapat semakin lama disimpan. Permukaan kulit biji sengon yang agak keras menyebabkan permiabilitas yang rendah, yang menyebabkan benih sengon dapat disimpan dalam waktu lama. Sebagai contoh untuk melunakkan kulit benih sengon untuk meningkatkan permiabilitas maka perlu tindakan perendaman dalam air mendidih.
3.2.
Tinggi semai sengon
Analisis data pengukuran tinggi semai sengon umur 1 bulan dari benih yang disimpan selama 6 bulan menunjukan perbedaan yang sangat nyata antar provenan dengan nilai F hitung = 2.706 dan P (sig) = 0.0001. Dari Grafik 4 terlihat bahwa semai sengon yang berasal dari Elagiama mencapai rerata tinggi 8.67 cm; sedangkan pertumbuhan tinggi terendah adalah semai yang berasal dari Wonosobo (5.98 cm). Jika dilihat dari viabilitas benih yang telah disampaikan di Grafik 2, terlihat bahwa benih dengan viabilitas yang paling bagus belum tentu mempunyai pertumbuhan yang terbaik.
mempunyai variasi genetik yang lebih rendah dari pada sengon yang dari Papua (Sheido & Widyatmoko, 1993). Sedangkan Suharyanto et al., 2002 juga menambahkan bahwa hubungan kekerabatan populasi sengon di Jawa hampir seragam, yang menunjukkan rendahnya variasi genetik antar populasi. Variasi pertumbuhan semai sengon umur 1 bulan antar provenan Wamena juga ditunjukkan dari benih sengon yang sudah disimpan selama 23 tahun; dengan nilai F hitung=3.88 dan P (sig)=0.0001. Variasi pertumbuhan semai pada umumnya dipengaruhi oleh faktor genetik maupun lingkungan. Hal ini memperlihatkan bahwa variasi genetik yang besar antar populasi alam di Wamena, menyebabkan perbedaan yang nyata juga dalam pertumbuhan antar provenan. Lebih lanjut, faktor lingkungan juga memegang peranan yang sangat penting terhadap kemampuan tumbuh semai. Perbedaan lingkungan tempat asal dengan lingkungan persemaian di B2P2BPTH Yogyakarta juga mempengaruhi terjadinya variasi pertumbuhan tinggi semai. Perbedaan intensitas cahaya matahari juga sangat mempengaruhi pertumbuhan semai.
Grafik 5. Rerata tinggi semai sengon umur 1 bulan dan standar error dari beberapa provenan sengon dengan lama penyimpanan 23 tahun. Grafik 4. Rerata tinggi semai sengon umur 1 bulan dan standar error dari beberapa provenan sengon dengan lama penyimpanan 6 bulan. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa sengon yang berasal dari Wamena (Elagaima dan Siba) mempunyai rerata tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi daripada semai sengon yang berasal dari Jawa (Wonosobo, Candiroto, Kediri). Hal ini dikarenakan sengon yang berasal dari Jawa 66
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
Sehingga masyarakat luas dapat melakukan pemanenan benih kapan saja, dan dapat menggunakan benih sampai dengan umur penyimpanan 23 tahun; dengan syarat penyimpanan benih dalam DCS. Namun demikian disarankan penggunaan benih yang masih baru dipanen jika memungkinkan.
Grafik 6. Rerata tinggi semai sengon umur 1 bulan dan standar error. Secara umum benih yang masih baru (disimpan 6 bulan) mempunyai kemampuan tumbuh tinggi semai yang lebih baik dibandingkan dengan benih yang sudah lama tersimpan. Hal ini disebabkan karena penurunan viabilitas benih juga akan mempengaruhi kemampuan pertumbuhan. Semakin lama benih disimpan, semakin berkurang zat-zat terkandung dalam biji yang dibutuhkan untuk pertumbuhan.
4. SIMPULAN, REKOMENDASI.
SARAN,
DAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kemampuan berkecambah benih sengon yang disimpan dalam DCS 6 bulan berbeda nyata antar provenan; namun benih sengon yang disimpan selama 23 tahun tidak menunjukan variasi kemampuan berkecambah antar provenan. Secara umum, lama penyimpanan benih mempengaruhi viabilitas sengon. Benih yang disimpan selama 6 bulan mempunyai daya kecambah 81.99%; sedangkan benih yang disimpan selama 23 tahun mempunyai daya kecambah 60,33%. Pertumbuhan sengon menunjukkan variasi tinggi semai antar semua provenan, meskipun semai yang dari benih dengan lama simpan 6 bulan mengalami pertumbuhan yang lebih cepat dibandingkan dengan yang disimpan 23 tahun. Hal tersebut dikarenakan deteriorasi kemampuan benih untuk berkecambah akibat penyimpanan yang terlalu lama. Meskipun demikian, dalam keadaan tertentu penggunaan sengon dengan benih yang sudah lama disimpan masih menjanjikan tumbuh dengan baik.
5. DAFTAR PUSTAKA Achmad., Widajati, E., Vityaningsih, S.S., 2012. Kuantitas dan kualitas kecambah sengon pada beberapa tingkat viabilitas benih dan inokulasi Rhizoctonia sp. Jurnal Silvikultur Tropika, 1(3): 49-56. Anggraeni, I., Lelana, N.E. 2011. Penyakit Karat Tumor pada Sengon. Jakarta: Manggala Wanabakti. Baskorowati, L., & Nurrohmah, S.H. 2011. Variasi Ketahanan Terhadap penyakit Karat Tumor Pada Sengon Tingkat Semai. Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 5(3):129-138. Baskorowati, L., Susanto, M., Charomaeni. 2012. Genetic Variability in Resistance of Falcataria moluccana (Miq.) Barneby & J. W. Grimes to Gall Rust Disease. Journal of Forestry Research, 9(1):1-9. BBPPBPTH, 2015. Laporan Tahunan Pemuliaan dan Bioteknologi Sengon Toleran Karat Tumor. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik. 2014. Laporan Bulanan Data Sosial Ekonomi. Jakarta (ID): Badan Pusat Statistik. Charomaini, M., & Ismail, B. 2008. Indikasi Awal Ketahanan Sengon (Falcataria moluccana) Provenan Papua terhadap Jamur Uromycladium tepperianum Penyebab Penyakit Karat Tumor (Gall Rust). Jurnal Pemuliaan Tanaman Hutan, 2(2): 31-39. Dongsa-ard, C., McTaggart, A.R., Geering, A.D.W. 2015. Uromycladium falcatarium sp. Nov., the cause of gall rust on Paraserianthes falcataria in south-east Asia. Australasian Plant Pathology 44(1): 25-30. Hakim, I., Indartik., Suyandari, E.Y. 2009. Analisis tataniaga dan pasar kayu sengon di Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan 6: 99-115. Iskandar MI. 2006. Pemanfaatan kayu hutan rakyat sengon untuk kayu rakitan. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, 183195.
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
67
ISSN: 2527-533X Liliana Baskorowati, dkk. Viabilitas Biji Sengon Penyimpanan 6 Bulan dan 23 Tahun
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen, Ecology, Silvicuture and Productivity. CIFOR. Bogor. Kuswanto, H. 2003. Teknologi Pemrosesan Pengemasan dan Penyimpanan Benih. Kanisius. Yogyakarta Mulyana, D., & Asmarahman, C., 2012. Untung besar dari bertanam sengon. PT Agromedia Pustaka, Jakarta. Pasaribu, R.A., & Roliadi, H. 2006. Kajian potensi kayu pertukangan dari hutan rakyat pada beberapa kabupaten di Jawa Barat. Prosiding Seminar Hasil Litbang Hasil Hutan, 35-48. Rahayu, S., Lee, S., Aini, A. S., Shaleh, G. 2009. Responses of Falcataria moluccana seedlings of Different Seed Sources to Inoculation with Uromycladium tepperianum. Sivae Genetica, 58:62-67 Rahayu, S. 2014. Strategi Pengelolaan Penyakit Tanaman Hutan di Indonesia: Penyakit Karat Tumor pada Tanaman Sengon (Falcataria moluccana). Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
68
Rudjiman. 1994. Dendrologi. Yayasan Pembina Fakultas Kehutanan UGM, Yogyakarta. Seido, K., & Widyatmoko, A.Y.P.B.C. 1993. Genetic Variation at Four Allozyme Loci in Paraserianthes falcataria at Wamena in Irian Jaya. Forest Tree Improvement Project Technical Report. Yogyakarta. Siregar, I.Z., Yunanto, T., Ratnasari, J. 2010. Kayu Sengon: Prospek Bisnis, Budidaya, Panen, dan Pascapanen. Jakarta: Penebar Swadaya. Suharyanto, Rimbawanto, A., Isoda, K. 2002. Genetic Diversity and Relationship Analysis on Paraserianthes falcataria Revealed by RAPD Marker. In A. Rimbawanto and M. Susanto (eds.). Proceedings International Seminar “Advances in Genetic Improvement of Tropical Tree Species”. Centre for Forest Biotechnology and Tree Improvement. Yogyakarta. Indonesia. Wibowo, M.A. 2012. Pengaruh fungisida metil tiofanat terhadap perkecambahan benih dan perkembangan karat tumor pada semai sengon. [skripsi]. Yogyakarta, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada.
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
ISSN: 2527-533X
DAFTAR PERTANYAAN PEMAKALAH SNPBS
JUDUL : Intensitas Serangan Tungau Parasit Terhadap Larva Nyamuk Aedes Sp. Pada Daerah Endemis Demam Berdarah Dengue (DBD) DI Kabupaten Karanganyar. PENANYA DAN PERTANYAAN A. Mokhamad Nur Zaman 1. Bagaimana cara menentukan lineatur nyamuk parasit ? 2. Bagaimana memperoleh inforasi mengenai DBD di desa Karanganyar? B. Dwi Setyo Astuti 1. Apa odro dari Tungau ? C. Nur Hidayati 1. Bagaimana aplikasi tungau dalam menginfeksi ? JUDUL : Hama Yang Menyerang Tanaman Kaliandra (Caliandra callothyrsus) PENANYA DAN PERTANYAAN A. Bambang Heru Budianto 1. Bagaimana cara mengambil kesimpulan penyerangan hama terhadap kaliandra dari inventaris hama? 2. Bagimana cara membedakan penyebab kerusakan kaliandra akibat penyerangan hama satu dengan yang lain ? JUDUL : Inventarisasi Keanekaragaman Anggota Ordo Odonata Di Cagar Alam Nusakambangan Timur dan Sekitarnya Pulau Nusakambangan Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah PENANA DAN PERTANYAAN A. Bambang Heru Budianto 1. Bagiamana cara interisasi keanekaragaman anggota ordo odonata di cagar alam nusakambangan timur ? 2. Apakah capung yang sudah dewasa masih dapat dijadikan sebagai Bioindokator?
Seminar Nasional Pendidikan Biologi dan Saintek II
69