* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.
Description
LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN TRAUMA MUSKULUEKELETAL
DISUSUN OLEH : DEDE ROHMAN S NIM : 2021207209
PROGRAM STUDI PROFESI NERS FAKULTAS KESEHATAN UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PRINGSEWU 2021 1
LAPORAN PENDAHULUAN KEGAWATDARURATAN TRAUMA MUSKULUEKELETAL A. Pengertian Sistem musculoskeletal merupakan sistem yang terdiri dari otot, tulang, tendon, ligament kartilago, facia dan brusae serta persendian. Trauma ini sering terjadi pada pasien yang dating ke unit gawat daruratan dengan berbagai keluhan dan merasa sakit, dalam pemeriksaan terdapat memiliki ketegangan pada tendon ataukesleo (ligament), fraktur, cidera muskulo lainnya dan dislokasi. (Alsheihly and Alsheikhly). Trauma merupakan keadaan ketika mengalami cedera sehingga mengakibatkan trauma yang disebabkan sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas, olahraga, industri, dan pekerjaan rumah tangga. Trauma musculoskeletal kondisi dimana seorang mengalami
cedera atau
trauma pada
system muskoloskeletal
yang
mengakibatkan disfungsi di bagian struktur di sekitarnya dan pada bagian yang dilindungi dan penyangganya (Wijaya, 2019, p. 204) B. Etiologi Faktur dapat terjadi karena beberapa penyebab antara lain Helmi (2012) adalah : 1. Frakturakibatperistiwa traumatic Disebabkan trauma yang tiba-tiba mengenai tulang yang sangar keras 2. Fakturpatologis Disebabkan adanya kelainan tulang keliana, patologis di dalam tulang 3. Fraktur stress Disebabkan oleh trauma yang terus menerus
2
C. Klasifikasi Klasifikasi trauma muskoloskeletal dibagi menjadi 3 yaitu : 1. Trauma jaringan lunak Jaringan lunak merupakan semua jaringan yang ada pada tubuh kecuali tulang. Trauma ini mencangkup otot, pembuluh darah, kulit, tedon, ligament, dan saraf. Trauma ini dibedakan dari yang ringan seperti lutut tergores, hingga kritis yaitu mencakup perdarahan internal, yang melibatkan kulit dan otot-otot. 2. Faktur Patah tulang mengakibatkan gangguan tulang parsial atau total. Faktur diklasifikasi menjadi 2 yaitu : a. Faktur tertutup adalah dimana tulang patah penetrasi kulit atau koneksi dengan permukaan luar b. Faktur terbuka adalah dimana luka pada kulit atau jaringan ikat di atasnya ada paparan dari patah tulang. 3. Dislokasi Dislokasi adalah perpindahan dari tulang pada sendi yang mengakibatkan tidak normalnya ligament sekitar sendi. Ketika ada pemisahan abnormal pada sendi dimana dua atau lebih tulang bertemu. Gejala dislokasi yaitu : a. Gerak terbatas bahkan hilang b. Nyeri saat bergerak c. Mati rasa di sekitar area d. Parathesia dan perasaan geli di bagian badan D. Patofisiologi Fraktur terjadi ketika interupsi dari kontinuitas tulang, biasanya disertai cidera jaringan sekitar ligament, otot, tendon, pembuluh darah, dan persyarafan. Tulang yang sudah rusak mengakibatkan periosteum pembuluh darah pada korteks dan sumsum tulang, proses penyembuhan untuk
3
memperbaiki cidera dan tahap awal pembentukan tulang. Berbeda dengan jaringan lainnya, tulang mengalami regenerasi tanpa menimbukan bekas luka. E. Manifestasi Klinis 1. Fraktur a. Deformitas Pembengkakkan dari perdarahan lokal dapat menyebabkan deformitas pada lokasi fraktur. Deformitas merupakan perubahan bentuk, pergerakan tulang menjadi memendek di karena kuatnya tarikan otototot ekstermitas. (Joyce M Black, 2014) b. Nyeri Nyeri biasanya terus menerus akan menigkat jika fraktur tidak diimobilisasi. (Brunner, 2001) c. Pembengkakkan atau edema Edema terjadi akibat akumulasi cairan serosa pada lokasi fraktur serta ekstravasasi cairan serosa pada lokasi fraktur ekstravasi darah ke jaringan sekitar. d. Hematom atau memar Memar biasanya terjadi di karena perdarahan subkutan pada lokasi fraktur. e. Kehilangan fungsi dan kelainan gerak. (Joyce M Black, 2014) 2. Strain a. Nyeri b. Kelemahan otot c. Pada sprain parah, otot atau tendon mengalami ruptur secara parsial atau komplet bahkan dapat menyebabkan kelumpuhan pasien akibat hilangya fungsi otot. (Joyce M Black, 2014) 3. Sprain a. Adanya robekan pada ligamen b. Nyeri c. Hematoma atau memar. (Joyce M Black, 2014)
4
F. Komplikasi Komplikasi yang dapat timbul dari
trauma musculoskeletal adalah
sindrom kompartemen akut yaitu peningkatan tekanan jaringan intrastitial yang berkepanjangan menyebabkan gangguan perfusi dan kerusakan jaringan. Terkait dengan peningkatan premeabilitas pembuluh darah dan kebocoran plasma ke ruangan itraseluler menyebabkan tekanan lebih lanjut pada otot dan saraf. G. Pemeriksaan Penunjang 1. X-ray menentukan lokasi atau luasnya fraktur 2. Scan tulang : mempelihatkan fraktur lebih jelas, mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak 3. Arteriogram : dilakukan untuk memastikan ada tidaknya kerusakan vaskuler pada perdarahan; penigkatan lekosit sebagai respon terhadap peradangan 4. Kretinin : trauma otot menigkatkan beban kretinin untuk kliens ginjal 5. Profil koagulas : perubahan dapat terjadi pada kehilangan darah, transfusi darah atau cedera. (Amin Huda Nurarif, 2015) H. Penatalaksanaan 1. Fraktur a. Imobilisasi Imobilisasi bisa dilakukan dengan metode eksternal dan internal, mempertahankan dan mengembalikan fungsi status neurovaskuler selalu dipantau diantaranya, nyeri, peredaran darah, perabaan dan gerakan. Perkiraan waktu untuk imobilisasi yang dibutuhkan untuk penyatuan
tulang
yang
mengalami
bulan. (Amin Huda Nurarif, 2015).
5
fraktur
adalah
sekitar
3
Alat imobilisasi yang sering digunakan, antara lain : 1) Bidai Bidai adalah alat yang biasa dipakai untuk mempertahankan posisi atau fiksasi tulang yang patah. Tujuan pemasangan bidai yaitu untuk mencegah pergerakan/pergeseran tulang yang patah. Adapun Syarat pemasangan bidai yang dapat mempertahankan posisi 2 sendi tulang didekat tulang yang patah dan pemasangan bidai ini tidak boleh terlalu kencang atau ketat, di karena akan merusak jaringan pada tubuh. (Yanti Ruly Hutabarat, 2016) 2) Gips Gips merupakan alat fiksasi untuk penyembuhan tulang. Gips memiliki sifat yaitu dapat menyerap air,
bila itu terjadi akan
timbul reaksi eksoterm dan gips akan menjadi keras. b. Reduksi Langkah pertama dalam penanganan fraktur yang bergeser adalah reduksi. Reduksi fraktur berarti mengembalikan fragmen tulang pada kesejajarannya dan rotasi. Reduksi adalah manipulasi tulang untuk mengembalikan kelerusan, posisi dan panjang dengan mengembalikan fragmen tulang sedekat mungkin serta tidak semua fraktur harus direduksi. (Joyce M Black, 2014). Reduksi terbagi atas dua bagian, yaitu : 1) Reduksi tertutup reduksi tertutup dilakukan untuk mengembalikan fragmen tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual. Reduksi tertutup harus segera dilakukan agar dapat menimalkan efek deformitas dari cedera tersebut. (Brunner, 2001) 2) Reduksi terbuka Reduksi terbuka adalah prosedur bedah dimana fragmen fraktur di luruskan/disejajarkan. Reduksi terbuka sering kali dikombinasikan
6
dengan fiksasi internal untuk fraktur femur dan sendi. Alat fiksasi internal dalam bentuk pin, sekrup, plat, kawat, paku atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragmen tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang. (Brunner, 2001) c. Traksi Traksi merupakan pemberian gaya tarik yang di lakukan terhadap bagian tubuh yang cedera, sementara kontratraksi akan menarik ke arah yang berlawanan. Traksi digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya trasi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. (Brunner, 2001) 2. Strain a. Istirahan, kompres dengan air dingin dan elevasi (RICE) untuk 24-48 jam pertama b. Perbaikan bedah mungkin diperlukan jika robekan terjadi pada hubungan tendon-tulang c. Pemasangan balut tekan d. Selama penyembuhan (4-6 minggu) gerakan dari cedera harus diminimalkan. (Joyce M Black, 2014) 3. Sprain a. Istirahat
akan
mencegah
cedera
tambahan
dan
mempercepat
penyembuhan b. Meninggikan bagian yang sakit akan mengontrol pembengkakan c. Kompres air dingin, diberikan secara intermiten 20-30 menit selama 24-48 jam pertama setelah cedera. Kompres air dingin dapat mengurangi perdarahan dan edema (Jangan berlebihan nanti akan mengakibatkan kerusakan kulit). (Brunner, 2001)
7
Konsep Keperawatan A. Pengkajian 1. Anamnesis Pengkajian ini sangatlah penting untuk mengetahui apakah penderita mengalami cedera dibagian ekstremitas atau tidak dan mekanisme traumapun bisa menyebabakan cedera dibagian ektremitas yang tampak tidak jelas pada pemeriksaan awal. Anamesa ini dilakukan pada saat korban sadar dan apabila korban tidak memiliki riwayat trauma maka dapat dikatakan korban mengalami fraktur patologis. Jika penolong cukup banyak, anamesa dapat dilakukan bersamaan dengan primary survey. Apabila penolong terbatas tidak dianjurkan untuk melakukan anamesa sebelum penolong memeriksa adanya gangguan airway, breathing, dan sirkulasi serta mengatasinya.Pada saat pengkajian Trauma harus diperjelas: Kapan terjadinya trauma, Trauma berada dibagian mana, Jenis trauma, Arah trauma, Berat ringanya trauma, dan ekstremitas yang bersangkutan atau bagian tubuh pasien yang terkena trauma.Kemudian periksa kembali bagian trauma ditempat lain secara sistemik mulai dari kepala, muka, leher, dada dan perut. Berikut bagian-bagian cedera yang dapat menyebabkan trauma yaitu : a. Cedera dibagian kaki pada saat jatuh dari ketinggian sehingga menyebabkan fraktur lumbal. b. Cedera dibagian lutut pada saat posisi duduk dapat disertai cedera dibagian sendi panggul begitupun sebaliknya. c. Cedera dibagian engkel dapat disertai cedera dibagian fibula proksimal. d. Cedera dibagian bahu harus dilakukan dengan teliti karena cedera dibagian ini dapat menyebabkan cedera pada bagian leher dan dada. e. Biasanya ketika penderita mengalami fraktur pelvis, maka penderita akan mengalami kehilangan banyak darah dan ketika didiagnosis
8
penolong harus memikirkan kemungkinan terjadinya syok dan pemberian terapi yang tepat untuk diberikan. 2. Pemeriksaan Umum Pada saat pemeriksaan survei primer , pemeriksaan yang kita lakukan harus terfokus, apakah ada fraktur dibagian tulang pelvis serta tulang besar lainya dan kita juga perlu mengontrol perdarahan. Pada saat pemeriksaan sekunder yang perlu dilakukan adalah: a. Inspeksi (look): Raut wajah penderita, Lihat kulit, Jaringan lunak, Cara berjalan, duduk, tidur, Tulang dan Sendi. Mencari deformitas, memar, pembengkakan dan luka terbuka. b. Palpasi (Feel): Suhu kulit dingin atau panas, adakah spasame otot, denyut nadi teraba atau tidak, nyeri tekan saat disentuh dan rasakan area yang cedera untuk memeriksa adakah deformitas. c. Kekuatan otot (Power): Grade 0,1,2,3,4,5 (Lumpuh S/D Normal) d. Pergerakan (Move): Penilaian dilakukan untuk mengetahui adanya Range Of Motion (ROM), Pergerakan sendi: Adduksi, Ekstensi, Fleksi, dan lain-lain. Apabila terjadinya fraktur tidak boleh dilakukan sebelum diberikan fiksasi yang tepat. e. Pengkajian ini dilakukan menggunakan 5 P: 1) Pain (PQRST) 2) Pulse 3) Polor (Warna) 4) Paralisis 5) Parasetesia Kemudian mencari adanya kemungkinan komplikasi umum seperti syok pada Fraktur pelvis, Fraktur multiple, Fraktur terbuka: Tandatanda sepsis pada Fraktur terbuka yang mengalami infeksi. (Pirton.L, 2015) B. Pemeriksaan Fisik
9
Pemeriksaan fisik terbagi menjadi dua, yaitu pemeriksaan umum untuk mendapatkan gambaran umum dan pemerksaan lokal. (Zairin, 2016) 1. Gambaran Umum a. Keadaan Umum: Mencatat baik atau buruknya tanda-tanda keadaan penderita seperti: 1) Kesadaran
Penderita
:
Sopor,
apatis,
komah,
gelisah,
komposmentis tergantung dari keadaan pasien. 2) Keadaan penyakit, kesakitan: Ringan, sedang, berat, akut, berat dan kasus fraktur biasanya akut. b. Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk c. Pemeriksaan dari kepala ke ujung jari tangan/kaki 2. Keadaan Lokal : a. Look: Perhatikan apa yang dapat dilihat, antara lain adanya suatu deformitas, jejas, terlihat adanya tulang yang keluar dari jaringan lunak, sikatrik, benjolan, warna kulit, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa serta posisi dan bentuk dari ekstermitas. Adanya luka kulit, perubahan warna dibagian distal luka meningkatkan kecurigaan adanya fraktur terbuka. diinsturuksikan untuk menggerakan bagian distal lesi, bandingkan dengan sisi yang sehat. b. Feel : Sangat penting memperhatikan respon pasien pada saat melakukan palpasi. Adanya respon nyeri atau suatu ketidaknyamanan dari pasien sangat menentukan kedalam dalam melakukan palpasi. Ada beberapa hal yang harus diperiksa, yaitu, fluktuasi pada pembengkakan , nyeri tekan, suhu disekitar trauma, catat letak kelainan (1/3 Proksimal, tengah, atau distal) dan Krepitasi. Jika ada benjolan perlu dideskripsikan
permukaanya,
konsistensinya,
permukaanya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.
10
pergerakannya,
c. Move: Menilai adanya gerakan abnormal (ROM). Mencatat gerakan untuk mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Pemeriksaan ini di lakukan untuk menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan pasif dan aktif. C. Pemeriksaan Diagnostik 1. Pemeriksaan radiologi Pemeriksaan ini sebagai penunjang pada diagnosis fraktur, pemeriksaan yang penting adalah menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambar
3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang
sulit, maka diperlukan
2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam
keadaan ini diperlukan proyeksi tambahan (khusus) dan adanya indikasi untuk memperlihatkan patologi yang dicari karena adanya super posisi, permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksa penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan dalam membaca gambaran radiologi adalah sebagai berikut (Zairin, 2016) : a. Anatomi (misal, proksimal tibia ) b. Articular (misal, intra-vsekstra-artikular ) c. Aligment (misalnya, first plane) d. Apeks (fragmen distal fraktur) e. Apposition 2. CT scan biasanya dilakukan pada beberapa kondisi fraktur yang mana pemeriksaan radiografi tidak mencapai kebutuhan diagnosis. 3. Pemeriksaan Laboratorium Untuk mengetahui lebih jauh kelainan yang terjadi seperti berikut : a. Alkalin fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.
11
b. Kalsium serum dan fosfor serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang c. Enzim otot seperti kreatinin kinase, laktat dehydrogenase (LDH-5), aspartat amino transferase (AST), aldolase meningkat pada tahap penyembuhan tulang. 4. Pemeriksaan lainnya a. Pemeriksaanmikroorganismekulturdantessensitivitas b. Biopsy tulangdanotot c. Elektromiografi d. Indium imaging e. MRI D. Diagnosis Keperawatan 1. Nyeri akut berhubungan dengan agen-agen yang menyebabkan cedera fisik (Cedera jaringan lunak) 2. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler dan muskuloskeletal, nyeri post operasi. 3. Kerusakan intergritas kulit berhubungan dengan imobilisasi fisik, medikasi, bedah perbaikan, perubahan pigmentasi, dan perubahan sensasi. (Pirton.L, 2015) E. Intervensi 1. Nyeri akut b.d agen cedera fisik (mis. Amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat, prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan) a. Tujuan : pain level, pain control and comfort level b. Kriteria hasil : 1) Mampu
mengontrol
nyeri
(tahu
penyebab
nyeri,
mampu
menggunakan tehnik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri dan mencari bantuan)
12
2) Melaporkan
bahwa
nyeri
berkurang
dengan
menggunakan
manajemen nyeri 3) Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, frekuensi dan tanda nyeri) 4) Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang c. Intervensi Pain management 1) Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif termaksud lokasi, karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas dan faktor presipitas 2) Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan 3) Gunakan
tehnik
komunikasi
terapeutik
untuk
mengetahui
pengalaman nyeri pasien 4) Kaji kultur yang mempengaruhi respon nyeri 5) Bantu pasien dan keluarga untuk mencari dan menemukan dukungan 6) Kontrol lingkungan yang dapat mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan dan kebisingan 7) Kurangi faktor presipitasi nyeri 8) Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi, nonfarmakologi dan interpersonal) 9) Kaji tipe dan sumber nyeri untuk menentukan intervensi 10) Ajarkan tentang tehnik nonfarmakologi 11) Berikan analgesik untuk mengurangi nyeri 12) Evaluasi ketidakefektifan kontrol nyeri 13) Tingkatkan istirahat 14) Kolaborasi dengan dokter jika ada keluhan dan tindakan nyeri tidak berhasil 15) Monitor penerimaan pasien tentang manajemen nyeri d. Analgesik manajemen 1) Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri sebelum pemberian obat
13
2) Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi 3) Cek riwayat alergi 4) Pilih analgesik yang diperlukan atau kombinasi dari analgesik ketika pemberian lebih dari satu 5) Tentukan pilihan analgesik tergantung tipe dan beratnya nyeri 6) Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian dan dosis optimal 7) Pilih rute secara IV, IM, untuk pengobatan nyeri secara teratur 8) Monitor vital sign sebelum dan sesudah pemberian analgesik pertama kali 9) Berikan analgesik tepat waktu terutama saat nyeri hebat 10) Evaluasi efektifitas analgesik, tanda dan gejala. (Amin Huda Nurarif, 2015) 2. Gangguan mobilitas fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang, penurunan kekuatan otot, gangguan muskuloskeletal dan nyeri a. Tujuan : Joint movement (active), mobility level, self care (Adls) b. Kriteria hasil : 1) Klien meningkatkan dalam aktivitas fisik 2) Mengerti tujuan dan peningkatan mobilitas 3) Memverbalisasikan perasaan dalam meningkatkan kekuatan dan kemampuan berpindah 4) Memperagakan penggunaan alat c. Intervensi : 1) Monitoring vital sign sebelum atau sesudah latihan dan lihat respon pasie saat latihan 2) Konsultasikan dengan terapi fisik tentang rencana ambulasi sesuai dengan kebutuhan 3) Bantu pasien untuk menggunakan tongkat saat berjalan dan cegah terhadap cedera 4) Ajarkan pasien atau tenaga kesehatan lain tentang tehnik ambulasi 5) Kaji kemampuan pasien dalam mobilisasi
14
6) Latih pasien dalam pemenuhan kebutuhan Adls secara mandiri sesuai kemampuan 7) Dampingi dan bantu pasien saat mobilisasi dan bantu penuhi kebutuhan pasien 8) Berikan alat bantu jika klien memerlukan 9) Ajarkan pasien bagaimana merubah posisi dan berikan bantuan jika diperlukan. (Amin Huda Nurarif, 2015) 3. Kerusakan integritas kulit b.d tekanan pada tulang, gangguan turgor kulit dan fraktur terbuka a. Tujuan : Tissue integrity (skin and mucous), membranes and hemodyalis akses b. Kriteria hasil : 1) Integritas kulit yang baik bisa dipertahankan (sensasi, elastisitas, temperatur, hidrasi dan pigmentasi) tidak ada luka atau lesi pada kulit dan perfusi jaringan baik 2) Menunjukan pemahaman dalam proses perbaikan kulit dan mencegah terjadinya cedera berulang 3) Mampu melindungi kulit dan mempertahankan kelembapan kulit dan perawatan alami c. Intervensi : Pressure management 1) Anjurkan pasien untuk menggunakan pakaian yang longgar 2) Hindari kerutan pada tempat tidur 3) Jaga kebersihan kulit agar tetap bersih dan kering 4) Mobilisasi pasien (ubah posisi pasien) setiap dua jam sekali 5) Monitor aktivitas dan mobilisasi pasien 6) Monitor status nutrisi pasien 7) Memandikan pasien dengan sabun dan air hangat d. Insision site care
15
1) Membersihkan, memantau dan menigkatkan proses penyembuhan pada kulit luka yang ditutup dengan jahitan, klip atau straples 2) Monitor proses kesembuhan area insisi 3) Monitor tanda dan gejala infeksi pada area insisi 4) Bersihkan area sekitar jahitan atau staples, menggunakan lidi kapas steril dan gunakan preparat antiseptic sesuai program 5) Ganti balutan pada interval waktu yang sesuai atau biarkan luka tetap terbuka (tidak dibalut) sesuai program.
16
DAFTAR PUSTAKA
Alsheihly, A. S. and Alsheikhly, M. S. (2018) ‘Musculosceletal Ijuri: Type and Management. Jakarta: Salemba Medika. Burner dan Sudarth. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medical-Bedah. Jakarta; EGC. Helmi, Zairin Noor. 2012. Buku Ajar Gangguan Muskulokeletal. Jakarta : Salemba Medika. Herdman Heather T dan Shigemi Kamitsuru. 2015. Nanda Internasional Defining The Knowledge Of Nursing Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015- 2017. Edisi 10. Jakarta: EGC. Lumbantoruan, P., & Nazmudin. 2015. BTCLS dan Disaster Management. Tanggerang Selatan: Medhatama Restyan. M Black Joyce dan Jane Hokanson Hawks. 2014. Keperawatan Medical Bedah Manajemen Klinis Untuk Hasil Yang Diharapkan. Jakarta; CV Pentasada Media Edukasi. Nuririf Huda Amin dan Hardi Kusuma. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa Medis dan Nanda Nic-Noc. Jilid 2.Jogjakarta; Medication Jogja. Sheehy. (2018). Keperawatan Gawat Darurat Dan Berencana. Singapura: Elsevier. Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia Definisi Indikatator Diagnostik. Edisi 1. Jakarta Selatan; Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia. Wijaya, Saferi Andra. (2019). Kegawatdaruratan Dasar. Jakarta: CV. Trans Info Media. Yanti Ruly Hutabarat dan Chandra syah Putra. 2016. Asuhan Keperawatan Kegawatdaruratan. Bogor; IN MEDIA. Noor, Zairin. 2016. Buku Ajar Gangguan Muskulokeletal. Jakarta : Salemba Medika.
17
18