* The preview only shows a few pages of manuals at random. You can get the complete content by filling out the form below.
Description
Review Jurnal SUMBER DAN TRASNPOR BAHAN TOKSIIKAN PADA SISTEM PERAIRAN
Disusun oleh Indri adelia kulle (05161911021
Program studi manajemen sumber daya perairan Fakultas perikanan dan ilmu kelautan Tahun ajaran 2020/2021
1.1 Pendahuluan Ancaman yang sekarang kita hadapi tentang sampah bagi keberlanjutan sumber daya hayati saat ini yaitu sampah plastik.plastik adalah istilah umum bagi polimer seperti material yang terdiri dari rantai panjang karbon dan elemen lain,oksigen, nitrogen, klorin atau belerang yang mudah dibuat dengan berbagai bentuk dan ukuran.beberapa upaya telah dilakukan oleh pemerintah daerah baik pusat dalam memgelola sampah ini. Salah satunya adalah pemerintahan provinsi DKI jakarta yang memilih cakupan wilayah dari darat hingga perairan kepulauan seribu.sampah plastic dapat berimplikasi terhadap ekosistem di sekitar pesisi pantai DKI Jakarta, salah satunya adalah menutup tuntas-tuntas mangrove saat air surut, sehingga apabila berlanjut dapat menghambat pertumbuhan mangrove. Bahan dasar plastic (monomer) secara sambung menyambung (Setyablogku, 2012). Plastik aditif
juga
diperlukan
mengandung zat nonplastik yang disebut aditif. Zat
untuk
memperbaiki
aditif untuk plastik diantaranya berfungsi penyerap
sinar
ultraviolet
dan
sifat
plastik
sebagai
antilekat
itu sendiri. Bahan
pewarna,
antioksidan,
(Setyablogku, 2012). Plastik
merupakan sebuah bahan yang mudah dibentuk menjadi berbagai jenis material. Plastik dibentuk dari ikatan polimer organik maupun anorganik, seperti karbon, silikon, hidrogen, oksigen dan klorida (Shah et al., 2008). Keunggulan plastik adalah sifatnya yang kuat, anti korosi dan ersisten. Selain itu juga plastik termasuk
material
yang
ekonomis
sehingga
banyak
digunakan
untuk
berbagai aktivitas manusia. Terdapat 5 (lima) jenis utama plastik yang paling banyak digunakan dan diproduksi secara massal, yaitu 1. polyethylene
terephthalate
(PET)
2. high-density polyethylene (HDPE) 3. polyvinyl chloride (PVC) 4. low-density polyethylene (LDPE)dan polypropylene (PP) (Association of European Plastics Manufacturers, 2011). Penggunaan plastik dalam kehidupan sehari-hari mengalami
peningkatan
karena sifat keunggulannya tersebut. Menurut Kemenperin (2013), sekitar 1,9
juta ton plastik diproduksi selama tahun 2013 di Indonesia dengan rata-rata produksi 1,65 juta ton/tahun. Penggunaan pestisida merupakan salah satu sumber pencemar yang potensial bagi sumberdaya dan lingkungan perairan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran pestisida pada lahan perikanan budidaya di Sukabumi, Jawa Barat. Penelitian diawali dengan penentuan lokasi, dilanjutkan dengan pengambilan contoh (air, sedimen, biota air), preparasi, identifikasi, dan analisis data, serta pelaporan. Analisis contoh menggunakan alat Gas Chromatograph (GC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada lahan perikanan air tawar di daerah Sukabumi terdapat residu pestisida dari golongan organoklorin, organofosfat, piretroid, dan karbamat dengan konsentrasi di bawah Batas Maksimal Residu (BMR). Jenis dan konsentrasi residu pestisida tersebut yang terbesar terdapat pada ikan, kemudian di dalam tanah dan yang terakhir adalah dalam air. Perairan yang tercemar oleh residu pestisida apabila telah mencapai konsentrasi tertentu akan sangat berpengaruh terhadap lingkungan dan organisme akuatik yang hidup di dalamnya. Ikan yang hidup dalam lingkungan perairan yang tercemar pestisida akan menyerap bahan aktif pestisida tersebut dan tersimpan dalam tubuh, karena ikan merupakan akumulator yang baik bagi berbagai jenis pestisida terutama yang bersifat lipofilik (mudah terikat dalam jaringan lemak). Dalam kondisi perairan yang subletal, kandungan residu pestisida dalam tubuh ikan yang terbentuk melalui proses bioakumulasi akan semakin tinggi dengan meningkatnya konsentrasi dan bertambahnya waktu pemaparan hingga mencapai kondisi steady state. Selain itu, pengaruh lanjut dari bioakumulasi pestisida pada konsentrasi tertentu secara signifikan dapat menurunkan laju pertumbuhan dan berdampak terhadap kondisi hematologis ikan (Taufik, 2005). Hal lain yang perlu lebih diwaspadai adalah terjadinya biomagnifikasi, yaitu kontaminasi dan akumulasi residu pestisida di dalam tubuh mahluk hidup melalui rantai makanan. Artinya, semakin tinggi kedudukan mahluk hidup dalam rantai makanan maka akan semakin berpotensi untuk terkontaminasi dan mengakumulasi residu pestisida dalam tubuh termasuk manusia yang menempati posisi puncak dalam rantai makanan.
1.2 Tujuan Penulisan 1) Bertujuan untuk memberikan informasi berdasarkan pengamatan dilingkungan dampak dan berapa banyak Sampah plastik di daerah Jakarta yang berdampak buruk bagi lingkungan dan sumber daya hayati dan merupakan ancaman hayati
saat ini. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah daerah baik pusat dan daerah dalam mengelola sampah ini. 2) Bertujuan untuk mengetahui bagaiamana dampak terhadap Pecemaran peptisida di pada perairan perikanan.
2.1 Pembahasan Sumber Dan Distribusi Sampah Plastik Di Sungai Dan Laut Menurut NOAA (2013), sampah laut atau marine debris merupakan benda padat yang memiliki sifat persisten, yang diproduksi atau diproses oleh manusia secara langsung atau tidak langsung, dengan sengaja atau tidak sengaja dibuang atau ditinggalkan di dalam lingkungan laut. Sampah laut terdiri berbagai jenis plastik, kain, busa, styrofoam, kaca, keramik, logam, kertas, karet, dan kayu. Beberapa ukuran yang digunakan untuk mengklasifikasikan marine debris, yaitu megadebris (> 100 mm), makrodebris (> 20-100mm), mesodebris (> 5-20 mm), dan mikrodebris (0.3-5 mm). Partikel plastik di lingkungan perairan dapat berasal dari: (1) penghancuran alami sampah-sampah plastik baik oleh aksi mekanis gelombang dan foto-oksidasi darisinar matahari, (2) pembuangan langsung produk industri (preproduction nurdles), (3) serabut dari kain sintetik (fleece fabrics), (4) ban kendaraan mobil dan motor yang aus, serta peluruhan bahan-bahan yang digunakan dalamproduk-produk pembersih/kosmetik.Masuknya bahan-bahan toksik ini dapat menimbulkan dampak buruk terhadap hewan laut dan diduga kuat melalui proses ingesti dari partikel-partikel renik yang diikuti dengan proses Bioakumulasi menurut alur rantai makanan yang lebih tinggi (higher level food chain) yang berarti bahwa biota yang berada pada posisi yang lebih tinggi dalam rantai makanan ini akan lebih terpapar pada konsentrasi bahan toksik yang lebih tinggi. Laporan tentang akumulasi limbah plastik yang melayang-layang di sistem arus lautan (gyres) sangat melimpah. Hal ini semakin meningkatkan kekhawatiran yang kemudian memicu timbulnya kesadaran akan bahaya yang dapat ditimbulkan oleh pencemaran partikel plastik di lautan (Rochman et al., 2014). Implikasi Sampah Plastik Pada Perairan Dan Ekosistem Dki JakartaKawasan Pesisisr DKI Jakarta
saat ini selain mengalami tekanan lingkungan akibat akumulasi limbah baik limbah industri, limbah domestik, dan limbah lainnya yang bersumber dari darat dan laut juga mengalami tekanan akibat pencemaran sampah plastik. Menurut Hastuti (2014), pada ekosistem mangrove diPantai Indah Kapuk tercatat plastik tipe makrodebris dominan sekitar 77,7% dari total makrodebris adalah plastik, diikuti oleh styrofoam (18,1%) dan ketebalan makrodebris mencapai 180 m. Selain ekosistem mangrove di Pantai Indah Kapuk, ekosistem mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke mengalami hal yang sama, yaitu terjadi akumulasi sampah sehingga mengganggu pertumbuhan ekosistem mangrove. Kondisi pencemaran sampah di sekitar ekosistem mangrove dan perairan Muara Angke termasuk kategori cukup berat. Terdapat
jenis sampah yang cukup berat terutama sampah yang tidak bisa terurai (nondegradable), seperti plastik, styrofoam, sandal/karet, kaca dan kaleng telah mendominasi kawasan ekosistem mangrove dan perairan di Muara Angke. Kondisi ini dapat menyebabkan aliran pasang surut terganggu oleh adanya tumpukan sampah di sekitar kawasan mangrove, padahal aliran tersebut berperan sangat penting dalam mekanisme aliran nutrisi dan keseimbangan kadar salinitas yang dibutuhkan untuk pertumbuhan mangrove. Gangguan tersebut sepertinya telah terjadi, kondisi pohon mangrove terlihat kurang subur dengan kerapatan yang cukup rendah. Hal ini sejalan dengan hasil simulasi angkutan sampah plastik mikro yang dilakukan oleh Jasmin et al. (2019) bahwa sampah plastik makro yang terangkut dari sungai
Gambar 2. Nasib Sampah Plastik di Laut (Sumber: www.ec.gc.ca).
Gambar 3. Kondisi Sampah Pada Perairan dan Ekosistem Mangrove di Pesisir DKI Jakarta (Foto Dokumentasi lapangan )
Sungai yang bermuara di Teluk Jakarta, akan terjebak di pesisir utara Jakarta. Berdasarkan hasil penelitian Abrar & Ricoh (2005) jumlah sampah di pulau pada Kepulauan Seribu telah mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 jumlah sampah di Pulau Pari mencapai 449,4 dan merupakan jumlah tertinggi dibandingkan 7 pulau lainnya yaitu Pulau Untung Jawa, Lancang Besar, Damar Kecil, Ayer, Tidung Kecil, dan Damar Besar. Selain berdampak pada ekosistem mangrove, pencemaran sampah laut ini juga berdampak pada ekosistem terumbu karang di Pulau Pramuka dan sekitarnya. Jenis sampah laut yang paling banyak ditemukan adalah sampah plastik di kedalaman 3m di Pulau Pramuka dan Pulau PanggangTerdapat hubungan yang linear antara jumlah sampah dengan tutupan karang terdapat di kedalaman 3m di Pulau Pramuka, Pulau Panggang, dan Pulau Air dan 10m di Pulau Pramuka (Assuyuti et al., 2018). Kepulauan Seribu adalah rentan terhadap pasokan sampah plastik baik mikro dan makro dari Selat Karimata dan Laut Jawa, akibat angkutan arus monsun (Handyman et al., 2019). Arus monsun ini bergerak dari barat menuju ke timur pada periode bulan Desember hingga Februari, dan bergerak sebaliknya dari timur ke arah barat saat angina musim timur pada periode Juni hingga Agustus (Siregar et al, 2017). Menurut penelitian University of Georgia faktor pemicu tingginya pencemaran plastik di laut Gambar 4. Kondisi Sampah di Hutan Mangrove di Suaka Margasatwa Muara Angke yang menutupi Permukaan Perairannya (Dokumentasi Lapangan, 2016)22 JURNAL RISET JAKARTA, Vol. 12, No 1, JULI 2019, Hal. 17-23 di Indonesia sampah plastik yang tidak terkelola di daratan (mismanaged plastic waste) yang mencapai sekitar 83%. Tapi data ini masih harus diverifikasi, karena sampai saat ini Indonesia belum mempunyai data tentang hal tersebut. Upaya meningkatkan pengelolaan sampah terintegrasi dari hulu sampai ke hilir diperlukan untuk mengatasi permasalahan ini. Permasalahan sampah yang menjadi tantangan bagi Indonesia dengan upaya meningkatkan pengelolaan sampah yang secara efektif. Strategi dan rencana jangka pendek, menengah dan panjang termasuk Langkah-langkah pengaturan yang dilaksanakan oleh pemerintah diperlukan untuk mengurangi jumlah sampah plastik. Kebijakan nasional mengenai penanganan sampah sebenarnya sudah ada di Indonesia, yaitu Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah dan Peraturan Pemerintah Nomor 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Sampah Rumah Tangga. Penggunaan Pestisida Dewasa ini penggunaan pestisida dalam aktivitas pertanian, terutama tanaman padi di lahan sawah, bagi petani di Daerah Sukabumi, Jawa Barat telah menjadi “suatu keharusan” karena merupakan salah satu usaha dalam intensifikasi pertanian. Langkah ini dinilai cukup efektif dan ekonomis dalam mengendalikan jasad pengganggu tanaman bahkan untuk melindungi produk pertanian yang disimpan. Dari hasil wawancara dengan instansi terkait seperti Dinas Pertanian, Dinas Peternakan dan Perikanan, serta Petugas
Penyuluh Lapangan maupun petani, diketahui bahwa terdapat beberapa jenis pestisida yang biasa digunakan untuk melindungi tanaman dan komoditas pertanian dari hama pengganggu antara lain: insektisida (serangga), herbisida (rumput/tanaman pengganggu), fungisida (jamur), moluskisida (siput/keong) bahkan rodentisida (binatang pengerat). Intensitas penggunaan pestisida oleh petani cukup tinggi yang dilakukan sejak awal musim tanam, pada masa pemeliharaan/perawatan sampai menjelang panen. Intensitas tersebut akan semakin meningkat apabila terjadi serangan hama, bahkan tidak jarang untuk meningkatkan efektivitasnya petani mengkombinasikan beberapa macam pestisida. Sifat penting yang dimiliki suatu bahan aktif pestisida adalah daya racun atau toksisitas. Meskipun bahan kimia tersebut hanya dimaksudkan untuk mematikan suatu jenis hama tertentu tetapi pada hakekatnya bersifat racun untuk semua mahluk hidup. Hampir semua jenis pestisida tidak bersifat selektif dan mempunyai spektrum yang luas sebagai racun sehingga merupakan salah satu sumber pencemaran yang potensial khususnya bagi sumberdaya dan lingkungan perairan perikanan. Pencemaran Pestisida Pestisida yang paling ideal adalah bersifat khusus yang dapat digunakan secara selektif terhadap hama sasaran saja, namun di seluruh dunia belum dijumpai pestisida yang demikian. Kebanyakan pestisida yang ada sebetulnya tidak bersifat selektif karena pestisida digunakan pada suatu ekosistem yang rumit dan kompleks maka setiap pemakaian pestisida dapat membunuh organisme bukan sasaran atau paling tidak mengganggu kehidupannya (Kadarsan, 1977). Oleh karena itu, penggunaan pestisida seharusnya dilakukan sebagai tindakan terakhir apabila sudah tidak ada lagi cara lain yang lebih aman, sehingga kita akan terhindar dari dampak negatifnya serta dapat memperlakukan alam dengan lebih bijaksana. Residu pada Air Perairan bertindak sebagai suatu tempat penampungan utama bagi residu pestisida yang persisten. Masuknya pestisida ke dalam perairan melalui berbagai jalur, antara lain: pemakaian langsung untuk membasmi hama tanaman, buangan limbah perkotaan dan industri, limpasan dari areal persawahan, pencucian melalui tanah, penimbunan aerosol dan partikulat, curah hujan dan penyerapan dari fase uap pada antar fase udara-air. Masalah ini perlu mendapat perhatian serius karena residu pestisida (insektisida) ada yang bersifat karsinogenik yang tentunya dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Penyebaran pencemaran dalam lingkungan perairan sangat dipengaruhi oleh sejumlah proses pengangkutan interaktif seperti penguapan, presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran. Proses penguapan berdampak pada turunnya kepekatan dalam air, sedangkan yang lainnya termasuk presipitasi dari udara, pencucian, dan aliran akan meningkatkan kepekatan (Haque et al., 1980). pengaruh subletal pestisida terhadap ikan meliputi: (1) perubahan adaptasi terhadap rangsang alamiah (2) perubahan fisiologis dan biokimia efek subletal pestisida dalam perairan juga akan berpengaruh terhadap organ tubuh ikan seperti hati. Dengan adanya bahan aktif pestisida dalam air yang masuk ke dalam tubuh akan menyebabkan pembengkakan pada hepatosit yang merupakan pertanda terjadinya degradasi lemak, selain itu hepatosit juga mengalami piknosis, karioreksis, dan kalriolisis.
Hal lain yang perlu diwaspadai akibat tercemarnya air oleh pestisida, karena ikan yang terpapar dalam air yang tercemar oleh pestisida dalam konsentrasi subletal akan menyerap bahan aktif tersebut melalui permukaan tubuh, membran insang, dan difusi kutikular. Penyerapan akan berlangsung secara terus-menerus sampai tercapai keadaan steady state yaitu kondisi di mana jumlah bahan uji yang diserap dan didepurasi persatuan waktu seimbang pada suatu konsentrasi bahan dalam air (Nagel & Loskill, 1991). Interaksi antara proses lingkungan dan sifat fisikakimiawi pencemaran menentukan penyebarannya, intensitas, dan pengaruhnya terhadap kehidupan mahluk hidup (Connel & Miller, 1995). Pengambilan pestisida oleh hewan dapat terjadi secara langsung dari lingkungan fisik atau dari penyerapan gastrointestinal. Untuk organisme air, kontaminasi pestisida dapat disebabkan oleh: (1) (2) (3) (4)
masuk bersama makanan yang terkontaminasi pengambilan dari air yang melewati membran insang . difusi kutikular penyerapan langsung dari sedimen (Livingstone, 1977).
Secara kualitatif maupun kuantitatif, residu beberapa bahan aktif pestisida yang terdapat dalam daging ikan lebih tinggi dibanding residu yang terdapat dalam air dan tanah. Hal ini dapat terjadi karena ikan merupakan akumulator yang baik terutama bagi bahan aktif yang bersifat lipofilik sehingga sangat mudah terikat dalam jaringan lemak ikan. Menurut Edward (1976), rata-rata kenaikan residu pestisida dalam hewan akuatik mempunyai korelasi dengan aktivitas metabolisme, bobot badan, luas permukaan tubuh, dan rantai makanannya. Sedangkan Kusnoputranto (1995) mengemukakan bahwa penyerapan residu pestisida tergantung dari besarnya residu, sifat fisika-kimia, sifat bioakumulatif dan toksisitasnya, maka keracunan yang ditimbulkannyapun dapat bersifat letal maupun subletal.
3.1 . Penutup Kesimpulan Saat ini Indonesia masih memerlukan kajian dan analisis lapangan terkait jumlah sampah, terutama sampah plastik di laut, dalam rangka solusi masalah sampah laut di Indonesia untuk mendukung target tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB) atau Sustainable Development Goals (SDGs) tahun 2030. Selain itu, baseline data sampah laut Indonesia diperlukan untuk mendukung target penurunan 70% sampah ke laut pada tahun 2025, sesuai Perpres No. 83 tahun 2018 tentang penanganan sampah laut. DKI Jakarta sebagai Ibukota negara, yang memiliki program smart city, dapat berperan penting sebagai panutan bagi kota-kota lain dalam hal pengelolaan sampah kota, maupun sampah di pesisir. Implementasinya pun tidaklah mulai dari nol, terbukti dengan pasukan oranye hingga di Kepulauan Seribu. 1. Residu pestisida yang terdapat dalam air terdiri atas golongan: organoklorin dan karbamat; sedangkan dalam tanah dan daging ikan : organoklorin, organofosfat piretroid dan karbamat. 2. Masuknya pestisida ke dalam lingkungan budidaya perikanan antara lain diakibatkan oleh aktivitas pertanian, terutama budidaya tanaman padi di lahan sawah yang terdapat di sepanjang daerah aliran sungai.
Daftar Pustaka Abrar, M., & Ricoh, M. S. (2005). Struktur, Kelimpahan, dan Sebaran Sampah Anorganik di Perairan Kepulauan Seribu, Jakarta, Dampak dan Bentuk Pemanfaatannya. Assuyuti, Y. M,, Zikrillah, R.B., Tanzil, M.A., Banata, A., & Utami, P.(2018). Distribusi dan Jenis Sampah Laut serta Hubungannya terhadapEkosistemTerumbuKarang Pulau Pramuka, Panggang, Air, dan Kotok Besar diKepulauan Seribu Jakarta, Majalah Ilmiah Biologi Biosfera : A Scientific Journal, 35(2): 91-102, DOI: 10.20884/1.mib.2018.35.2.707 Handyman, D. I. W., Purba, N. P., Pranowo, W. S., Harahap, S. A., Dante, I. F., & Yuliadi, L. P. S. (2019). Microplastics Patch Based on Hydrodynamic Modeling in The North Indramayu, Java Sea. Polish Journal of Environmental Studies, 29(1): 1-8. DOI: 10.15244/pjoes/81704. Hastuti, A. R. (2014). Distribusi Sampah Laut di Ekosistem Mangrove Pantai Indah Kapuk, Skripsi. IPB. Jasmin, H. H., Purba, N. P., Harahap, S. A., Pranowo, W. S., Syamsudin, M. L., & Faizal, I. (2019). The Model of Macro Debris Transport Before Reclamation and in Existing Condition in Jakarta Bay. Jurnal Ilmu & Teknologi Kelautan Tropis 11(1): 131140. DOI: http://dx.doi.org/10.29244/ jitkt.v11i1.24777. Kementerian Perindustrian. (2013). Berita Industri: Semester I, Konsumsi Plastik 1,9 Juta Ton. http:// www.kemenperin.go.id/artikel/6262/SemesterI,-Konsumsi-Plastik-1,9Juta-Ton [diakses 01 Agustus 2019] [NOAA] National Oceanic and Atmospheric Administration. (2013). Programmatic Environmental Assessment (PEA) for the NOAA Marine Debris Program (MDP). Maryland (US): NOAA. 168 p. Purba, N. P. Shah, A. A., Hasan, F., Hameed, A., & Ahmed, S. (2008). Biological degradation of plastics: a comprehensive review. Biotechnol. Adv. 26, 246e265. Siregar, S. N., Sari, L. P., Purba, N. P.. Pranowo, W. S., & Syamsuddin. M. L. (2017). Pertukaran massa air di Laut Jawa terhadap periodisitas monsun dan Arlindo pada tahun 2015. J. Depik 6(1): 44- 59. DOI: 10.13170/depik.6.1.5523. Connel, D.W. & Miller, G.J. 1995. Kimia dan ekotoksikologi pencemaran. Penerbit Univ. Indonesia, Jakarta, hlm. 331-341. Edwards, C.A. 1976. Persistent pesticides in the environment. CRC Press . Ohio, 170 pp. Haque, R., Falco, J., Cohen, S., & Riordan, C. 1980. Role of transport and fate studies in the exposure assessment and screening of toxic chemicals. In R. Haque (eds) dynamic, Exposure, and Hazard Assessment of Toxic Chemicals. Ann Arbor Science, Ann Arbor, Michigan, p. 47-67.
Kanazawa, J. 1979. Measurement of the bioconcentration factor of pesticides by freshwater fish and their corelation with physiochemical properties or acute toxicities. National Institute of Agricultural Sciences. Japan, 12: 417-424.